jadwal sholat

Selasa, 11 November 2014

tafsir surah An-Nisa :3-4 dan 129 tentang poligami


BAB I
PENDAHULUAN
Sebagian dari masyarakat kita kurang atau tidak setuju dengan poligami dan mereka menentang praktik poligami yang ada sekarang ini, karena efek negatifnya sangat besar bagi keluarga dan banyak menyakiti kaum perempuan. Namun, sebagian yang lain menyetujui poligami dengan alasan-alasan tertentu. Kelompok terakhir ini beralasan bahwa meskipun poligami memiliki banyak resiko, tetapi bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, khususnya Islam.

Terlepas dari pendapat pro dan kontra tentang poligami, yang jelas masalah poligami menjadi masalah yang menarik untuk didiskusikan. Praktik poligami semakin lama semakin banyak di tengah-tengah masyarakat kita. Dalam praktiknya, masih banyak di antara kaum poligam belum memenuhi ketentuan yang ada, baik secara hukum Negara maupun hukum agama. Dalam makalah ini kami mencoba membahas mengenai tafsir Surah An-Nisa ayat 3-4 dan 129 yang membahas masalah poligami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.









BAB II
PEMBAHASAN
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ   (#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ  
“dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa 3-4)
Sabab Nuzul
Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah r.a. berkata, “Ada seorang gadis yatim di bawah asuhan walinya. Ia berserikat dengan walinya dalam masalah hartanya, walinya itu tertarik kepada harta dan kecantikan gadis tersebut. Akhimva ia bermaksud menikahinya, tanpa memberikan mahar yang layak.” Maka turunlah ayat ini.
Adapun Tafsirnya
Allah menjelaskan seandainya kamu tidak dapat berlaku adil atau tak dapat menahan diri dari makan harta anak yatim itu, bila kamu menikahinya, maka janganlah kamu menikahinya dengan tujuan menghabiskan hartanya, melainkan nikahkanlah ia dengan orang lain. Dan kamu pilililah perempuan lain yang kamu senangi satu, dua, tiga, atau empat, dengan konsekuensi kamu memperlakukan istri-istri kamu itu dengan adil dalam pembagian waktu bermalam (giliran). nafkah, perumahan serta hal-hal yang berbentuk materi lainnya. İslam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Tetapi pada dasamya satu istri lebih baik, seperti dalam lanjutan ayat itu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada. dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang.

Apabila kamu tidak dapat melakukan semua itu dengan adil, maka cııkuplah kamu nikah dengan seorang saja. atau memperlakukan sebagai istri hamba sahaya yang kamu miliki tanpa akad nikah dalam keadaan terpaksa. Kepada mereka telah cukup apabila kamu penııhi nafkah untuk kehidupannya. Hal tersebut merupakan suatu usaha yang baik agar kamu tidak terjerumus kepada perbuatan aniaya. Hamba sahaya dan perbudakan dalam pengertian ayat ini pada saat sekarang sudah tidak ada lagi karena Islam sudah berusaha memberantas dengan berbagai cara. Ketika Islam lahir perbudakan di dunia Barat dan Timur sangat subur dan menjadi institusi yang sah seperti yang dapat kita lihat dalam sejarah lama, dan dilukiskan juga dalam beberapa bagian dalam Bibel: Orang merdeka dapat menjadi budak hanya karena: tak dapat membayar utang. mencuri, sangat papa (sehingga terpaksa menjual diri), budak Yahudi dan bukan Yahudi (Gentile) statusnya berbeda dan sebagainya.
Nabi Muhammad diutus pada permulaan abad ke-7 M. Saat ia mulai berdakwah, perbudakan di sekitarnya dan di Semenanjung Arab sangat subur dan sudah merupakan hal biasa. Sikapnya terhadap perbudakan, seperti dilukiskan dalam Al-Qur’an, sangat berbeda dengan sikap masyarakat pada umumnya. Ia mengajarkan perbudakan harus dihapus dan menghadapinya dengan sangat arif. Tanpa harus mengutuk perbudakan, ia mengajarkan agar budak diperlakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan penghapusannya harus bertahap, tak dapat dengan sekaligus dan dengan cara radikal seperti dalam memberantas syirik dan paganisme. Dan tujuan akhimya ialah menghapus perbudakan samasekali. Hal ini terlihat dalam beberapa ketentuan hukum Islam, seseorang dapat menghapus dosanya dengan memerdekakan seorang budak, yang juga menjadi ketentuan orang yang saleh dan bertakwa. Rasulullah telah memberi contoh nyata dengan memerdekakan seorang budak (Zaid) dan menempatkannya menjadi anggota keluarganya, diangkat sebagai anak angkatnya dan berstatus sama dengan status keluarga Quraisy.
Memang benar, rumah tangga yang baik dan harmonis dapat diwujudkan oleh pernikahan monogami. Adanya poligami dalam rumah tangga dapat menimbulkan banyak hal yang dapat mengganggu ketenteraman rumah tangga.
Manusia dengan fitrah kejadiannya memerlukan hal-hal yang dapat menyimpangkannya dari monogami. Hal tersebut bukanlah karena dorongan seks somata, tetapi justru untuk mencapai kemaslahatan mereka sendiri yang karenanya Allah membolehkan (menurut fuqaha) atau memberi hukum keringanan (rukhsah menurut ulama tafsir) kaum laki-laki untuk melakukan poligami (beristri lebih dari satu).
Adapun sebab-sebab yang membuat seseorang berpoligami adalah sebagai berikut:
a.     Apabila dalam satu rumah tangga belum mempunyai seorang keturunan sedang istrinya menurut pemeriksaan dokter dalam keadaan mandul. padahal dari perkawinan diharapkan bisa mendapatkan keturunan, maka poligami merupakan jalan keluar yang paling baik.
b.    Bagi kaum perempuan, masa berhenti haid (monopouse) lebih cepat datangnya, sebaliknya bagi seorang pria walau telah mencapai umur tua. dan kondisi fisiknya sehat ia masih membutuhkan pemenuhan hasrat seksualnya. Dalam keadaan ini apakah dibiarkan seorang pria itu berzina? Maka di sinilah dirasakan hikmah dibolehkanya poligami tersebut.
c.     Sebagai akibat dari peperangan umpamanya jumlah kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki. Suasana ini lebih mudah menimbulkan hal-hal negatif bagi kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami. Bahkan kecenderungan jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah lelaki saat ini sudah menjadi kenyataan, kendati tidak ada peperangan.
Para suami ağar memberikan mahar berupa sesuatu yang telah mereka janjikan kepada istri mereka pada waktu akad nikah yang terkenal dengan (mahar musamma) atau sejumlah mahar yang biasa diterima oleh keluarga istri yang terkenal dengan (mahar misil) karena tidak ada ketentuan mengenai jumlah itu sebelumnya.
Pemberian mahar ini adalal merupakan tanda kasih sayang dan menjadi bukti adanya ikatan antara se.rang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membangıın rumah tangga, Namun apabila istri rela dan ikhlas, maka dalam hal ini tidak mengapa jika suami turut memanfaatkan mahar tersebut. Ayat ini menunjukkan bahua maskawin adalah disyariatkan oleh ağama. Pada masa jahiliah menikah tanpa maskawin.[1]
Adapun dalam tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy tafsirnya adalah sebagai berikut:
Sebab turun ayat
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Urwah ibn Zubair, bahvva beliau bertanya tentang ayat ini, yang oleh Aisyah dijawab, ayat ini diturunkan berkaitan dengan perempuan yatim yang diperlihara oleh walinya, tetapi kemudian harta dan kecantikan perempuan yatim itu menarik hati si wali. Tetapi si wali itu ternyata tidak berlaku adil, dia tidak mau memberi maskawin sebagaimana yang diberikan suami kepada isterinya yang setara. Ayat ini mencegah mereka berbuat demikian dan memerintahkan mereka untuk menikahi perempuan lain.
Dalam suatu riwayat diceritakan, ayat ini diturunkan mengenai seorang lelaki yang menjadi wali bagi seorang perempuan yatim dan mewarisi hartanya. Dia tidak mau menikahkan anak yatimnya itu kepada lelaki lain, karena dia ingin tetap bisa menikmati hartanya, bahkan dia menyakiti hati perempuan yatim itu.
Kalau demikian halnya, maka makna ayat ini adalah: nikahilah siapa saja perempuan yang kamu sukai, tetapi jangan menyakiti perempuan yatim yang kamu asuh itu.
Memang orang-orang Arab pada masa jahiliyah suka menikahi banyak perempuan, lalu menghabiskan harta anak-anak yatim yang berada dalam perwaliannya.
Adapun Tafsirnya
Wa in khiftum allaa tuqsi-thuu fil yataamaa fankihuu maa thaaba lakum minan nisaa-i mats-naa wa tsulaa-tsa wa rubaa’a  = Jika kamu merasa takut tidak akan mampu berbuat adil, maka janganlah kamu menikahi mereka (anak yatim). Tetapi nikahilah perempuan-perempuan lain yang kau cintai, dua, tiga atau empat.

Jika kamu khawatir tidak akan bisa berbuat adil setelah kamu menikahi perempuan yatim, sedangkan kamu menjadi walinya, apalagi kamu (khawatir) akan menghabiskan hartanya, maka janganlah kamu beristeri dengan perempuan yatim. Tetapi kamu juga jangan menghalangi mereka menikah. Kamu tentu akan memperoleh jalan untuk beristeri dengan perempuan-perempuan lain, seorang, dua orang, tiga, atau empat orang.
Fa in khiftum allaa ta’diluu fa waahidatan = Jika kamu takut tidak akan mampu berbuat adil di antara isteri-isterimu, maka nikahilah seorang saja.
Akan tetapi jika kamu khawatir tidak bisa berlaku adil seandainya menikahi dua orang, tiga, atau sampai empat orang isteri, maka hendaklah kamu beristeri satu orang saja. Dengan tegas ayat ini mengatakan bahwa orang yang boleh beristeri dua adalah yang percaya bahwa dirinya benar-benar dapat berlaku adil.
Au maa malakat aimaanukum = Atau nikahilah perempuan-perempuan yang kamu miliki.
Jika kamu tidak mungkin bisa berlaku adil di antara isteri-isterimu yang merdeka (bukan budak), maka cukuplah beristeri seorang saja yang merdeka. Atau nikahilah budak-budak yang kamu miliki (ini berlaku semasa zaman perbudakan belum dihapuskan).
Dzaalika adnaa allaa ta ’uuluu = Beristeri satu lebih dekat bagimu untuk tidak berlaku curang.
Mencukupkan diri beristeri satu dengan perempuan merdeka atau mencukupkan diri dengan budak-budak yang dimiliki lebih dekat kepada perilaku tidak curang. Beristeri banyak sesungguhnya tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat, dan sangat kecil kemudaratannya.
Ayat ini memberi pengertian bahwa kebolehan beristeri banyak disertai syarat dapat berlaku adil. Sedangkan berlaku adil merupakan satu hal yang sangat sulit dicapai.
Adil yang dimaksud di sini adalah: kecondongan hati. Kalau demikian halnya, memastikan adanya adil merupakan suatu hal yang sulit diwujudkan. Tidak mungkin kecintaan seseorang kepada isteri-isterinya bisa berlaku sama.
Oleh karena itu, kebolehan beristeri banyak tidak bisa diberlakukan sembarangan. Diperbolehkan secara darurat bagi orang yang percaya benar akan mampu berlaku adil dan terpelihara dari perbuatan curang.
Al-Amir Ali dalam kitab Sirrul Islam menjelaskan bahwa ulama-ulama besar Mu’tazilah berpendapat, seorang lelaki tidak boleh beristeri yang kedua selama dia masih mempunyai seorang isteri. Ulama-ulama Mu’tazilah memang sangat ketat dalam hukum pernikahan. Mereka menekankan tentang kemudaratan- kemudaratan dan kesukaran yang terjadi akibat poligami (beristeri lebih dari satu). Mereka menginsafi, di antara dasar-dasar syariat Nabi Muhammad adalah memberikan kepada alat (wasilah), hukum yang diberikan kepada tujuan. Kita melihat bahwa beristeri banyak ternyata berakibat sangat buruk, yang tidak dipandang baik oleh akal dan tidak diridhai oleh ağama. Karena itu beristeri banyak diharamkan.
Untuk itu, para pemuka hukum dan ahli-ahli fatwa hendaklah meyakini bahwa menolak bencana haruslah didahulukan atas menarik kemaslahatan; dasar- dasar ağama adalah menolak kemudaratan semua pihak, mempelajari cara memperbaki keadaan yang sangat rusak dan membuat undang-undang yang bisa menjamin kemaslahatan dan menolak kemafsadatan (kerusakan).
 Wa aatun nisaa-a shaduqaatihinna nihlah = Dan berikan kepada para perempuan itu mahamya sebagai suatu penıberian yang mesra.
Para suami memberikan maskawin (mahar) adalah sebagai tanda penghormatannya atau menjadi tanda kasih sayang dan untuk mengukuhkan tali kecintaan antara suami kepada isteri.
Fa in thibna lakum ‘an syai-in minhu nafsan fakuluuhu hanii-am marii-aa = Maka jika mereka (isteri-isteri) dengan senang hali memberikan kepadamu sebagian mahamya, maka makanlah (ambillah) dengan kegembiraan hati, serta baik akibatnya.
Jika mereka memberikan sebagian mahar yang diterimanya kepadamu dengan senang hati, maka ambillah dan nikmatilah, tidak ada dosa bagimu untuk menerima pemberian itu.
Inilah sebabnya, seorang suami dilarang mengambil harta milik si isteri, kecuali diyakini isterinya bersedia menyerahkan kepada suami dengan rela dan hati yang ikhlas, karena untuk suatu keperluan. Tetapi apabila diberikan di bawah suatu tekanan dan rasa takut, misalnya karena diancam, bagi suami tidak halal mengambil harta si isteri. Suami tidak boleh mengambil sesuatu dari hak perempuan ketika akan menceraikannya.[2]
Adapun dalam tafsir muyassar karangan ‘Aidh al-Qarni, penafsiran surah an-Nisa ayat 3-4 adalah sebagai berikut:
Apabila kalian khawatir tidak bisa berlaku adil dalam membayar mahar perempuan yatim-yaitu apabila kalian mengawini salah seorang dari mereka dan kalian tidak bisa membayar mahar untuknya sebagaimana yang kalian bayarkan untuk perempuan lain yang tidak yatim, maka kawinilah wanita- wanita lainnya. Dan apabila seseorang telah mengawini dua, tiga, atau empat orang wanita yang merdeka dan belum lebih dari jumlah tersebut maka hendak- lah ia mencukupkannya dengan jumlah tersebut. Sebab, Allah s.w.t. hanya membolehkan poligami sampai empat orang istri saja. Adapun bila seseorang merasa khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap istri-isrinya dalam memberikan tempat tinggal, nafkah atau kebutuhan-kebutuhan lainnya, dan dia merasa justru akan berbuat zalim kepada salah seorang dari mereka dikarenakan tidak bisa memenuhi hak-hak mereka secara adil maka sebaiknya dia hanya menikah dengan satu orang istri saja. Sebab, jalan ini lebih memungkinkan seseorang untuk berbuat adil. Sementara itu, bila dengan satu istri saja seseorang masih merasa belum cukup, tetapi pada sisi lain ia juga merasa takut berbuat zalim jika menikah lebih dari satu istri maka ia boleh mengawini budak-budak wanita (dari para tawanan perang)sejumlah yang ia mau. Dan hal itu lebih baik baginya dan lebih menjauhkannya dari kezaliman dan aniaya.

Seorarang Muslim harus membayar mahar kepada perempuan yang diper- istrinya dan tidak dibolehkan untuk berbuat semena-mena terhadapnya atas dasar pemberian tersebut. Sebab, sesungguhnya mahar itu merupakan hak penuh seorang istri dan juga kewajiban teringan yang harus dipenuhi oleh seorang suarni terhadapnya. Akan tetapi, bila seorang istri ingin memberikan sebagian dari mahar tersebut kepada suaminya sebagai hadiah maka si suami diperbolehkan menerimanya. Dan pemberian itu halal lagi baik untuknya.[3]
Firman Allah:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÊËÒÈ  
“dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S, an-Nisa: 129)

Firman Allah SWT
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$#
mengabarkan bahwa berbuat adil diantara istri itu tidak mungkin dilakukan, yang dimaksud adalah kecendrungan untuk lebih menyukai, berjima', dan juga memberikan perhatian. Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan kondisi manusia yang mana mereka diciptakan dalam kapasitas tidak memiliki (Kemampuan untuk mengontrol kecendrungan) hatinya kepada sebagian atas sebagian yang lain, maka oleh karena itu beliau SAW berdo'a,"Ya Allah inilah kemampuan yang aku miliki, maka janganlah Engkau mencelaku atas kemampuan yang Engkau miliki dan yang tidak aku miliki (ketidak adilanku). Kemudian Allah SWT melarang dan berkata, "Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)." Mujahid berkata, "Janganlah kalian sengaja berbuat jelek terhadap mereka, akan tetapi kalian berkewajiban untuk menyamaratakan dalam membagi dan memberi nafkah, karena hal inilah yang bisa dilakukan. Penjelasan tentang hal ini akan dibahas dalam surah Al-Ahzab dengan luas lagi, lnsya allah. Qatadah meriwayatkan dari An-Nadr bin Anas dari Basyir bin Nuhaik dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
من كانت له امرأتان فلن يعدل بينهما جاء يوم القيا مة وشقه ما ئل
“Barangsiapa mempunyai dua istri, dan tidak berbuat adil terhadap keduanya, pada hari kiamat kelak, orang tersebut akan datang dalam keadaan bahunya miring sebelah
Firman Allah كالمعلّقة  فتذروها Ï"Sehingga kamu biarkan yang lain terkatung katung,"

Artinya wanita tadi tidak dicerai dan (seakan- akan ia) tidak mempunyai suami, perkataan ini dikemukakan oleh Al-Hasan, ini sama seperti mengantung sesuatu terhadap sesuatu, sebab sesuatu itu tidak dikatakan berada di bumi dan terpancang dan juga tidak dikatakan tersangkut tetapi tidak bergelantungan, hal ini sama seperti yang terdapat dalam peribahasa orang Arab. "Relakanlah kendaraan itu tergantung. Dalam pengertian ahli bahasa terdapat istilah ta'likul fi'il, dan dalam perkataan, Ummu Zar'i tentang perkataan seorang wanita, "Suamiku mempunyai perangai yang buruk, kalau aku berbicara, aku akan di ceraikan, tapi kalau aku diam, aku digantung (dibiarkan dan tidak diperhatikan)," Qatadah berkata, "Wanita tersebut seperti orang yang dipenjara, inilah Qiraah yang dibaca oleh ubay fatadzaruuhaa kal masjuunah, Ibnu Mas'ud membaca fatadzaruuhaa ka'annahaa mu'allaqah, kata فتذروها dalam bentuk nashab karena ia jawaban dari pelarangan diatas, dan huruf al kaaf pada kata  كالمعلّقة   juga dalam bentuk nashab.[4]
Ayat ini sering dijadikan alasan oleh sementara orang yang tidak mengerti bahwa Islam tidak merestui poligami karena kalau izin berpoligami bersyarat dengan berlaku adil berdasarkan firman-Nya: ‘Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. an-Nisâ’ [3]: 4), sedang di sini dinyatakannya bahwa kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isrri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka hasilnya kata mereka adalah bahwa poligami tidak mungkin direstui. Pendapat ini tidak dapat diterima, bukan saja karena Nabi saw. dan sekian banyak sahabat beliau melakukan poligami, tetapi juga karena ayat ini tidak berhenti di tempat para penganut pendapat ini berhenti, tetapi berlanjut dengan menyatakan karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai). Penggalan ayat ini menunjukkan kebolehan poligami walau keadilan mutlak tidak dapat diwujudkan.
Seperti terbaca di atas, keadilan yang tidak dapat diwujudkan itu adalah dalam hal cinta. Bahkan, cinta atau suka pun dapat dibagi. Suka yang lahir atas dorongan perasaan dan suka yang lahir atas dorongan akal. Obat yang pahit tidak disukai oleh siapa pun. Ini berdasarkan perasaan setiap orang, tetapi obat yang sama akan disukai, dicari, dan diminum karena akal si sakit mendorongnya menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian suka atau cinta dapat berbeda. Yang tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah keadilan dalam cinta atau suka berdasarkan perasaan, sedang suka yang berdasarkan akal dapat diusahakan manusia, yakni memperlakukan istri dengan baik, membiasakan diri dengan kekurangan-kekurangannya, memandang semua aspek yang ada padanya, bukan hanya aspek keburukannya. Inilah yang dimaksud dengan janganlah kamu terlalu cenderung (kepada vang kamu cintai) dan jangan juga terlalu cenderung mengabaikan yang kamu kurang cintai.[5]
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri dalam waktu yang bersamaan. Lawan dari poligami adalah monogami. Dalam perspektif hukum Islam, poligami dibatasi sampai maksimal empat orang isteri. Ada dua ayat pokok yang dapat dijadikan acuan dilakukannya poligami, yakni QS. al-Nisa’ (4): 3-4 dan QS. al-Nisa’ (4): 129. Poligami sudah berjalan seiring perjalanan sejarah umat manusia, sehingga poligami bukanlah suatu trend baru yang muncul tiba-tiba saja.
Walaupun poligami itu dibolehkan, tetapi yang melakukannya harus memenuhi syarat yaitu berlaku adil terhadap istri-istrinya, Adapun sebab-sebab yang membuat seseorang berpoligami adalah sebagai berikut:
a.       Apabila dalam satu rumah tangga belum mempunyai seorang keturunan sedang istrinya menurut pemeriksaan dokter dalam keadaan mandul. padahal dari perkawinan diharapkan bisa mendapatkan keturunan, maka poligami merupakan jalan keluar yang paling baik.
b.      Bagi kaum perempuan, masa berhenti haid (monopouse) lebih cepat datangnya, sebaliknya bagi seorang pria walau telah mencapai umur tua. dan kondisi fisiknya sehat ia masih membutuhkan pemenuhan hasrat seksualnya. Dalam keadaan ini apakah dibiarkan seorang pria itu berzina? Maka di sinilah dirasakan hikmah dibolehkanya poligami tersebut.
c.       Sebagai akibat dari peperangan umpamanya jumlah kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki. Suasana ini lebih mudah menimbulkan hal-hal negatif bagi kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami. Bahkan kecenderungan jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah lelaki saat ini sudah menjadi kenyataan, kendati tidak ada peperangan.


DAFTAR PUSTAKA


al-Qarni , ‘Aidh, at-Tafsir al-Muyassar Jilid I, Penerjemah Tim Qisti Press, Qisty Press, Jakarta,  2007.

Al-Qurthubi, Syeikh Imam, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Terjemahan Ahmad Rijali Kadir, Pustaka Azzam, Jakarta, 2008.

ash-Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000.

Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II, Lentera Abadi, Jakarta, 2010.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Vol II, Lentera Hati, Jakarta, 2002.



[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h. 115-117.
[2] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 779-782.
[3] ‘Aidh al-Qarni, at-Tafsir al-Muyassar Jilid I, Penerjemah, Tim Qisti Press (Jakarta: Qisty Press, 2007), h. 355-356.
[4] Syeikh Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Terjemahan Ahmad Rijali Kadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 965-967.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol II, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 743-744.

9 komentar:

kokonata mengatakan...

Terima kasih atas tulisannya

kokonata mengatakan...

Terima kasih atas tulisannya

Anonim mengatakan...

Subhanallah.. yg dipaparkan diatas semuanya yg selama ini ada didalam benak dan pikiran saya..

Terima kasih :))

Saifurrahman mengatakan...

Sama-sama. Semoga bermanfaat ateikelnya kwan kawan..

Unknown mengatakan...

saya menangis membaca artikel ini...
sebab sudah tak tau lagi cara menyampaikan agar berbuat adil..
jika saya berbicara, saya akan di pukul, jika saya diam, saya akan di tinggalkan..

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

surat ani nisa ayat 129 bagi saya merupakan larangan berpoligami. "Janganlah cenderung...." bagi saya itu merupakan perintah untuk punya satu saja. Saat ayat ini diturunkan budaya poligami masih berlaku masif sehingga larangannya pun bersifat meminimalisir supaya jangan punya terlalu banyak. Al-quran fleksibel mengikuti perkembangan jaman pada dasarnya. Sehingga untuk konteks saat ini himbauan untuk adil bisa diartikan beristri satu saja. Saya laki-laki tapi saya penentang poligami. Laki-laki dan perempuan hanyalah sebatas raga. Ruh suci di dalamnya tidak mengenal jenis kelamin saat menghadap.

Unknown mengatakan...

Setuju ,ustad

Unknown mengatakan...

Maa syaa Allah...syukran ustadz

Posting Komentar

 
Copyright Saifurrahman El-Shahat 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .