jadwal sholat

Selasa, 11 November 2014

makalah hadis ahad


 PENDAHULUAN

Hadits adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur'an, sejarah perjalanan Hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Hadis merupakan sumber hukum Islam ke-dua setelah Al-Qur’an karena, hadis diriwayatkan oleh para perawi dengan sangat hati-hati dan teliti.
Pembagian hadis dari berdasarkan kuantitas rawi ada dua yaitu Mutawatir dan Ahad. Dalam makalah kami ini, kami mencoba membahas tentang klasifikasi  hadis Ahad ditinjau dari segi kualitas Riwayat.










PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini.
ما لا يجتمع فيه شروط التواتر
“Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.”[1]
Adapun yang dimaksud hadis ahad menurut istilah banyak ulama, antara lain sebagai berikut:
ما لم تبلغ نقلته فى الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سواء كان المخبر واحدا و اثنين او ثلاثا او اربعة او خمسة او الى غير ذلك من الاعداد التى لا تشعر بأن الخبر دخل بها فى خبر المتواتر
“Hadis yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlahhadis mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua, tiga,empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yangtidak memberi pengertian bahwa hadis itu denganbilangan tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir.”[2]
Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, hadis selain hadis mutawatir, atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumber- nya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i dan yaqin.[3]
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang, teapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.[4]
Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddiqi, hadis ahad didefinisikan sebagai “khabar yang jumlah perawinya tidak sampai sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.[5]
Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah. Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad memakai hadis ahad a syarat-syarat periwayatan yang sahih terpenuhi.[6] Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya, dan amaliahnya tidak menyalahi hadis yang diriwayatkan. adapun Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli Madinah.[7]
Golongan qadariyah, rafidah, dan sebagian ahlu zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Sementara itu, Al-Juba’i dari golongan Mu'tazillah menetapkan tidak wajib beramal, kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang. Sementara, ulama yang lain mengatakan tidak wajib beramal, kecuali hadis diriwayatkan oleh empat orang dan diterima dari empat orang pula.[8]
Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadis ahad sebagai dasar beramal, Ibnu Qayyim mengatakan, "Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Alquran. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan yang terdapat dalam Alquran. Kedua, menjelaskan maksud Alquran. Ketiga, menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam Alquran." Alternatif ketiga itu merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. yang wajib ditaati. Lebih dari itu, ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah Alquran, as-sunnah, dan ijma’."[9]
B.     Klasifikasi Hadis Ahad
Jumlah rawi dari masing-masing thabaqah, mungkin satu orang, dua orang, tiga orang, atau malah lebih banyak, namun tidak sampai pada tingkat mutawatir.[10]Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadis ahad ini dapat dibagi dalam tiga macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib.[11]
1.      Hadis Masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu' (sesuatu yang sudah tersebar dan populer).[12] Adapun menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
مارواه الثلاثة ولم يصل درجةالتواتر
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, tetapi bilangannya tidak        mencapai derajat bilangan mutawatir.”[13]
Ada juga yang mendefinisikan hadis masyhur secara ringkas, yaitu:
ماله طرق محصورةباكثر من اثنين ولم يبلغ حدالتواتر
“Hadis yang mempunyai jalan yang terbatas, tetapi labih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis mutawatir.”[14]
Hadis ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas di kalangan masyarakat, lawan dari masyhur adalah Majhul yaitu hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang –orang yang tidak terkenal dalam kalangan ahli ilmu.[15] Ada ulama yang memasukkan seluruh hadis yang telahpopuler dalam masyarakat, sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekalibaik berstatus sahih atau dhaif ke dalam hadis masyhur.[16] Ulama Hanafiahmengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat pada keyakinan dan wajib untuk diamalkan, tetapi bagiyang menolaknya, tidak dikaitkan kafir.[17]
Hadis masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan daif. Yang dimaksud dengan hadis masyhur yang telah memenuhi ke tentuanhadis sahih, baik pada sanad maupun matan-nya, seperti hadis dari Ibnu Umar:
اذاجاء احدكم الجمعة فليغسل (رواه البخارى)
“Bagi siapa yang hendak melaksanakan salat Jum'at hendaklah ia mandi.”
Contoh lain adalah hadis dari 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash, yangmendengar langsung dari Rasulullah saw. Bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ؛ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً،فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَل
“SesungguhnyaAllah swt. Tidakakan mencabut ilmu pengetahuan dengan langsung mencabutnya dari hamba-Nya, tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut ulama, sehingga apabila tiada seorang alim yang tertinggal, manusia akan menjadikan orang-orang yang jahil sebagai pemimpin. Mereka (para pemimpin) ditanya soal-soal agama dan mereka memberikanfatwa tanpa berdasarkan pada ilmu. Karenanya mereka sesat danmenyesatkan.”[18]
Adapunyang dimaksud denganhadis masyhur hasan adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenaisanadmaupun matan-nya, seperti sabda Rasulullah saw:
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim bail laki-laki maupun perempuan.”[19]
Adapun yang dimaksud dengan hadis mashyur dhaif adalah hadis masyhur yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadis:
من عرف نفسه عرف ربه
“Barang siapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia telah mengenal Tuhannya.”[20]
2.         Macam-Macam Hadis Masyhur
Istilah masyhur yang ditetapkan pada suatu hadis, kadang-kadang bukan untuk menetapkan kriteria-kriteria hadis menurut ketentuan di atas, yakni jumlah rawi yang meriwayatkannya, tetapi diterapkan pula untuk memberikan sifat suatu hadis yang dianggap populer menurutilmu ahli  tertentu atau di kalangan masyarakat tertentu.[21] Dari tujuan inilah, ada suatu hadis bila dilihat dari bilangan rawinya tidak dapat dikatakan sebagai hadis masyhur, tetapi bila dilihat dari kepopulerannya tergolong hadis Masyhur. Dari segi yang terakhir inilah, hadis masyhurdapat digolongkan dalam beberapa bagian di bawah ini.[22]
a)      Masyhur di kalangan ini ahli hadis, seperti hadis yang menerangkan  bahwa Rasulullah saw. membaca doa kunut sesudah ruku’ selama  satu bulan penuh dan berdoa atas golongan(kabilah) ri’il dan zakwan. Hadis  ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dan riwayat Sulaiman At-Taimi dari Abi Mijlas dari Anas.
b)      Masyhur di kalangan ulama ahli hadis, ulama-ulama lain, dan di kalangan orang umum, seperti:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده (زواه البخارى و مسلم)
“Seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya.”[23]
c)    Masyhur di kalangan ulama ahli fikih, seperti:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر (رواه مسلم)
“Dari  Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw. Melarang jual beli yang dalamnya terdapat unsur tipu daya.”[24]
Contoh lain seperti:
ابغض الحلال عند الله الطلاق
“Perkara halal yang dibenci Allah ialah thalak.”[25]
d)     Masyhur di kalangan ahli ushulfiqh:
اذاحكم ا لحاكم فا جتحد ثم اصا ب فله اجران وا ذ ا حكم  الحاكم فا جتحد فا خطأ  فله  ا جر (رواه مسلم)
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian ia berjihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah,maka dia memperoleh satu pahala (pahala ijtihad).” (H.R. Muslim).[26]
Contoh lain seperti:
رفع عن أمتى الخطاء والنسيان وما استكر هوا عليهم (رواه الطبرانى عن ابن عباس)
“Terangkatlah dosa dari ummatku karena kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang mereka lakukan karena terpaksa.”[27]
e)      Masyhur di kalangan ahli sufi, seperti:
كنت كنزامحفيّا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk dan melalui mereka pun kenal kepada-Ku.”[28]
Didalam buku Ilmu Hadis karangan Munzier Suparta mengatakan bahwa hadis diatas banyak ditemukan dalam buku-buku tasawuf sebagai landasan adanya aliran tasawuf.
f )    Masyur di kalangan ulama-ulama Arab, seperti ungkapan:
"Kami (orang-orang Arab) yang paling fasih mengucapkan huruf Dhad (ض) sebab kami dari golongan orang Quraisy."[29]
g) masyhur dikalangan masyarakat awam,  contohnya:
العجلة من الشيطان
“Tergesa-gesa itu perbuatan syetan.”[30]
Masih banyak lagi hadis yang kemasyhurannya hanya di kalangan tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.
Banyak kitab yang ditulis berkaitan dengan persoalan ini, antara lain sebagai berikut.
1.      Kasyaf Al-Khifa dan Mazil Al-Ilbas oleh Ismail bin Muhammad Al- ‘Ajaluni (1162 H). Kitab ini memuat hadis-hadis shahih, hasan, dan saqim/dhaif, dan maudhu’, yang ada dan tidak ada sanadnya.[31]
2.      Al-Maqasid Al-Hasanahfi Al-Ahadis Al-Musyurah karangan Al-Hafiz Syams Ad-Din Muhammad bin Abdul Ar-Rahman As-Akhawi (w.902 H).
  1. Asna Al-Mathalib oleh Syekh Muhammad bin Sayyid Barwisi.
4.      Tamyiz At-Tayibi oleh Ibnu Ad-Daiba As-Syailani.[32]

3.      Hadis Ghairu Masyhur
Hadis ghairu masyhur ini oleh para ulama hadis dibagi menjadi Hadis Aziz. Dan Gharib.
1.      Hadis aziz
Kata "Aziz" menurut etimologi, jika diambil dari kata ", Ya'izzu" berarti "sedikit" dan jika diambil dari kata ", Ya'izzu "berarti "kuat."[33] Adapun pengertian hadis aziz menurut terminologi ialah hadis yang diriwayatkan oleh  dua Orang rawi atau lebih dalam satu thabaqatnya.[34] Definisi ini paling populer dan telah digunakan oleh Ibnu Hajar kitabnya "Al-Nukhbah" Sedang menurut Ibnu Al-Shalah dan yang lain, bahwa hadis aziz ialah hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang rawi, sebagaimana dikatakan oleh pengarang kitab Al-Baiquniyyah:
عزيزمرويّ اثنينى او ثلاثة    مشهور مرويّ فوق ما ثلا ثة
"Hadis aziz ialah hadis yang diriwayatkan oleh dua  atau tiga orang rawi, sedang hadis masyhur ialah hadis yan riwayatkan oleh lebih dari tiga orang rawi."[35]
ContohhadisAzis
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
"Bahwasanya Rasulullah saw bersabda, 'Tidak semmpurna iman salah seorang di antara kamu sekalian sehinggaaku lebih disukai olehnya daripadaorangtuanya dan anaknya.”[36]
Hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah oleh Anas bin Malik kemudian diriwayatkan kepada dua orang yaitu, qatadah dan Abdul Aziz bin suhaib, dari qatadah diriwayatkan pada dua orang, yaitu Syu’bah dan Husain al-Muallim. Dan dari Abdul Aziz diriwayatkan kepada dua orang yaitu Abdul Warits dan Ismail bin ‘Ulaiyyah, dari keempat orang rawi ini diriwayatkan pada generasi dibawahnya lebih banyak lagi yang akhirnya sampai pada Imam Bukhari dan Muslim.[37]
2.      Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa berarti jauh dari tanah air atau sukar dipahami.[38] Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang asing, sebab hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, atau disebabkan oleh adanya penambahan matan atau sanad. Hadis yang demikian disebut gharib karena keadaannya asing menurut pandangan rawi-rawi yang lain, seprti ora ng yang jauh dari tempat tinggalnya.[39]
Adapun pengertian hadis gharib menurut para ahli sebagai berikut:
1.      Ulama ahli hadis dalam hubungan ini mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut.
.هو ما ينفرد بروايته راو واحد
“Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiridalam meriwayatkannya.”[40]
2.      Ibn Hajar meberikan pengertian hadis gharib dalam kitab Nukhbatul Fikr sebagai berikut:
ما ينفرد بروايته شخص واحد فى ايّ موضع وقع التفرد به من السند
“Yaitu hadis yang sendirian saja seorang perawi dalam meriwayatkan dan kesendiriannya itu terletak dimana saja dalam sanad.”[41]
  1. Menurut H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir mendefinisikan gharib sebagai berikut
الحديث الغريب هو الحديث الذى انفرد بروايته شخص واحد فى ايّ موضع وقع التفرد من السند
“Hadis yang pada sanadnyaterdapat seorang yang menyendiridalam meriwayatkannya di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.”[42]
Hadis gharib terbagi dua, yaitu gharib muthlaq dan gharib nisbi.
a.       Gharib Muthlaq
ما ينفرد بروايته شخص واحد فى اصل سنده
Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada asal sanad.
Dikategorikan sebagai mutlak apabila penyendirian itumengenai personilnya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam suatu thabaqat. Penyendiriari hadis gharib mutlak iniharus berpangkal di tempat ashlu sanaa, yakni tabiin, bukan sahabat sebab yang menjadi tujuan membicarakan pendirian perawi dalam hadis gharib ialah untuk menetapkan apakah periwayatan dapat diterima atau ditolak. Sedangkan mengenai sahabat tidak perlu diperbincangkan, sebab telah diakui oleh jumhur ulama ahli hadis bahwa keadilan sahabat tidak perlu diragukan lagi, bahwa semua sahabat dianggap adil semuanya.[43]
Contoh hadis gharib mutlak, antara lain adalah:
انّما الا عما ل بالنّيات
Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niatnya (H.R. Bukhari dan Muslim).[44]
Dari contoh hadis gharib tersebut diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar, dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar sajayang meriwayatkannya. Abdullah bin Dinar adalah seorang tabi’inyang hafidz, kuat ingatannya, dan dapat dipercaya.
b.      Gharib Nisby
Gharib nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat- sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain:
a.       sifat keadilan dan kt-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi.
b.      kota atau tempat tinggal tertentu.
c.       meriwayatkannya dari orang tertentu.
Apabila penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya apakah terletak di sanad atau matan, hadis gharib terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.       Gharib pada sanad dan matan.
b.      Gharib pada sanadnya saja.
c.       Gharib pada sebagian matannya,
Cara untuk menetapkan ke-gharib-an hadis
Untuk menetapkan suatu hadis itu gharib, hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab Jami٠dan kitab Musnad, apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi syahid. Cara tersebut dinamakan i’tibar.
Menurut istilah, ilmu hadis mutabi’ adalah hadis yang mengikuti periwayatan rawi lain dari gurunya (yang terdekat), atau gurunya guru (yang terdekat itu).
Mutabi’ ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
(1). Mutabi’ tam, yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikutiperiwayatan guru (mutaba’) dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
(2). Mutabi’ qashir, yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’) yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sekali.
            Adapun syahid adalahMeriwayatkan sebuah hadis lain sesuai dengan maknanya.
Hadis syahid ada dua macam, yaitu:
(1).Syahid bi Al-Lafzhi, yaitu bila matan hadis yang diriwa­yatkan oleh sahabat yang lain sesuai redaksi dan maknanya dengan hadis fard-nya.
(2).Syahid bi Al-Ma’na, yaitu bila matan hadis yang diriwa­yatkan oleh sahabat lain itu, hanya sesuai dengan maknanya.
Kedudukan Hadis Ahad dan Pendapat Ulama tentang Hadis Ahad
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang kedudukan hadis ahad.
Pendapat tersebut antara lain:
1.    Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani, sebagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2.    Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberi faedah dhan. Oleh karena itu, hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
3.    Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4.    Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajibdiamalkan dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan
hudud, namun tidak digunakan dalam urusan aga’id (akidah).
5.    Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari hukum-hukum Al-Quran.
6.    Ahlu Zhahir (pengikut Daud Ibnu ‘Ali Al-Zhahiri) tidak membolehkan men-takhshis-kan umum ayat-ayat Al-Quran dengan hadis ahad.[45]
Hadis gharib juga dinamakan dengan hadis fard. baik menurut bahasa maupun menurut istilah, perbedaan antara keduanya hanya ditinjau dari segi pemakaiannya. Sebutan hadis gharib mutlak, sedangkan sebutan hadis gharib lebih banyak dipakai untuk hadis gharib nisbi atau fard nisbi.hadisgharib ini ada yang sahih,hasan, dan dhaif, tergantung pada kesesuaiannya dengan kriteria sahih, hasan atau dhaif-nya.[46]
Kitab-Kitab Yang Memuat Banyak Hadits Gharib
Yaitu kitab-kitab yang di dalamnya terdapat banyak hadits gharib:
a.       Musnad aJ-Bazzar.
b.      Mu’jam al-Ausath-nya at-Thabrani.
Kitab-Kitab Hadits Gharib Yang Populer :
a.       Gharaib Malik, karya ad-Daruquthni.
b.      al-Afraad, karya ad-Daruquthni.
  1. as-Sunan allati Tafarrada bikulii Sunnatin minha Ahlu Baldatun, karya Abu Daud as-Sijistani.[47]


KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah ini dapat kami simpulkan bahwa hadis Ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir.
Klasifikasi Hadis Ahad terbagi menjadi Masyhur dan Ghairu Masyhur. Hadis Masyhur adalah sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Ada yang Masyhur di kalangan ini ahli hadis, Masyhur di kalangan ulama ahli hadis, Masyhur di kalangan ahli ushul fiqh, Masyhur di kalangan ahli sufi, Masyur di kalangan ulama-ulama Arab, dan Masyhur dikalangan masyarakat awam, dan masih banyak lagi hadis yang kemasyhurannya di kalangan tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing
Hadis ghairu masyhur terbagi menjadi hadis ‘Aziz dan hadis gharib dan hadis gharib terbagi lagi menjadi gharib muthlaq dan gharib Nisby.












DAFTAR PUSTAKA
Al-Maliki, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.

Anwar , Moh., Ilmu Musthalah Hadits, Surabaya, Al-Ikhlas, 1981.


Ash Shiddieqy, TM Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta, Bulan Bintang, 1987.

B. Smeer, Zeid, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang, UIN-Malang Press, 2008.

Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalah Hadits, Bandung, Al-Ma’arif, 1974.

Ichwan , Mohammad Nor, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,  Semarang, Rasail Media Group Semrang, 2013.

Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010.


Solahuddin , M. Agus dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2008.

Thahan , Mahmud, Ilmu Hadits Praktis, Bogor,  Pustaka Thariqul Izzah, 2005.


Suparta , Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002.




[1]Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalah Hadits (Bandung:  Al-Ma’arif, 1974), h. 86.
[2]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 91.
[3]Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) Cet. Ke-III, h. 108.
[4]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 93.
[5] Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Semarang:  Rasail Media Group Semrang, 2013), h. 182-183.
[6]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 109.
[7]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 93.
[8]Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis..., h. 185.
[9]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 93.
[10]M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 134.
[11]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.43.
[12]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 94.
[13]Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), h. 22.
[14]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 111.
[15]TM Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987) Cet. Ke- 7, h. 68.
[16]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 94.
[17]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 111.
[18]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 95.
[19]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 85.
[20]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 95.
[21]M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis..., h. 134.
[22]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 96.
[23]Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005) h. 27.
[24]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 96.
[25]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis.., h. 87.
[26]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 114.
[27]M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis..., h. 135.
[28]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 97.
[29]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 115.
[30]Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis..., h.  27.
[31]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis.., h. 89.
[32]Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis..., h. 28.
[33]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 116.
[34]Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits..., h. 24.
[35]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis.., h. 84.
[36]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis..., h. 45.
[37]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 117.
[38]Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits..., h. 25.
[39]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis.., h. 79.
[40]M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis..., h. 137.
[41]Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits..., h. 25.
[42]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 99.
[43]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 119.
[44]Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis..., h. 32.
[45]M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis..., h. 139-141.
[46]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 103.
[47]Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis..., h. 34.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Saifurrahman El-Shahat 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .