jadwal sholat

Jumat, 28 November 2014

amalan yang dawam



PENDAHULUAN
 “Sedikit-demi sedikit lama-lama menjadi bukit.” Demikianlah peribahasa yang sering diajarkan oleh para pendidik kepada peserta didiknya, terutama murid-murid SD ketika diberi pengarahan oleh gurunya dalam menabung uang. Dalam peribahasa tersebut tergambarkan sebuah solusi praktis yang biasa diupayakan seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Ia tidak perlu menyelesaikannya secara tuntas dalam satu waktu, melainkan ia bisa mencicil tugasnya sedikit-demi sedikit tapi terus dilakukan secara rutin. Hal ini lebih ringan ketimbang melakukannya sekaligus tapi dengan hasil yang kurang maksimal.
Dalam makalah ini, saya berusaha membahas hadis tentang amalan yang sedikit tetapi dilakukan terus menerus(kontinyu). Semoga makalah ini bisa bermanfaat, khususnya bagi saya dan umumnya buat pembaca yang lain.


 


PEMBAHASAN
Beramal sedikit demi sedikit tetapi terus menerus boleh diibaratkan seperti menanam benih pohon di mana pohon itu adalah jiwa kita sendiri. Kemudian kita meletakkan baja dan menyiraminya dengan air di mana baja dan airnya adalah amal-amal ibadah dan keimanan yang tulus.
Melakukan amal ibadah dan amal soleh secara terus menerus, setahap demi setahap, ibarat membangun benteng diri yang kukuh. Ia umpama mengurus batu-bata satu persatu secara terus menerus hingga akhirnya berdirilah sebuah bangunan yang megah. Inilah amal yang dicintai Allah, iaitu melakukan kebaikan dan ibadah tanpa henti meskipun hanya sedikit.
Sedikit dalam beramal yang dilakukan terus-menerus juga sama dengan memupuk dan menyiram pohon iman sehingga ia akan tetap tumbuh segar dan tidak layu. Hasilnya, jiwa terus terangkat menuju darjat yang lebih baik serta menjejaki tangga-tangga ke arah kesempurnaan.

Sabda Nabi Muhammad SAW.
عن عائشة بنت أبي بكر الصديق –رضي الله عنهما- قالت : قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم : أَحَبُّالْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَإِنْ قَلَ (متفق عليه , و اللفظ لمسلم)
Dari ‘Aisyah binti Abi Bakr Ash-shiddiq –radhiallahu anhuma- berkata : Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus  dilakukan walaupun sedikit.” (HR Bukhari dan Muslim, dengan lafazh Muslim).
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Jama'ah dari Abu Hurairah; al-Bukhari meriwayatkannya dengan lafal "enam puluh macam lebih"; Muslim meriwayatkannya dengan lafal "tujuh puluh macam lebih" dan juga dengan lafal "enam puluh macam lebih"; Tirmidzi meriwayatkannya dengan "tujuh puluh macam lebih" dan begitu pula dengan an-Nasa'i. semuanya terdapat dalam kitab al-Iman; sedangkan Abu Dawud meriwayatkannya dalam as-Sunnah; dan Ibn Majah dalam al-Muqaddimah.[1]
Sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang cukup singkat ini namun padat mengandung faedah yang sangat besar bahkan menjadi prinsip penting dalam ajaran Islam yang bisa direalisasikan pada aspek-aspek lainnya yaitu kaedah : Sedikit tapi rutin lebih baik daripada banyak tapi tidak diteruskan.
Dalam hadits yang mulia ini Nabi shalallahu alaihi wa sallam  menjelaskan bahwa amalan yang dilakukan secara rutin walaupun sedikit lebih Allah cintai daripada amalan besar yang dilakukan kemudian ditinggalkan begitu saja.  Sebagai contoh: Seseorang melakukan qiyamul lail hanya 2 rakaat atau 4 rakaat dengan membaca surat-surat pendek, tapi ia rutin melakukannya secara kontinyu hampir setiap malam maka yang ia lakukan ini lebih baik daripada seseorang yang melakukan qiyamul lail dengan rakaat dan bacaan yang panjang kemudian ia meninggalkannya. Diantara contoh yang lainnya seperti membaca wirid sebagai amalan yang tetap dilazimkan membacanya tiap hari. Apabila terlepas, mudah pula untuk mengqadha’nya, sehingga kita terbiasa dengan giat melakukannya, tidak meninggalkannya kecuali ada udzur saja.[2]
Hal ini dikarenakan amalan yang ia lakukan secara rutin akan membuatnya senantiasa menjaga ketaatan dan taqarrub kepada Allah Ta’ala walaupun ringan. Ibnu Al-’Arabi berkata : Maksudnya bahwa amalan yang paling banyak pahalanya adalah yang rutin dilakukan terus-menerus walaupun sedikit.
Imam Nawawi menjelaskan: Karena dengan merutinkan amalan yang sedikit akan membuatnya selalu menjaga ketaatan dengan mengingat Allah, merasa diawasi, ikhlas, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Berbeda halnya dengan amalan yang banyak dan berat (tapi tidak rutin dilakukan). Sehingga sesuatu yang sedikit tapi terus-menerus itu akan berkembang dan mengungguli berlipat-lipat ganda daripada  amalan yang banyak tapi terputus (tidak diteruskan).
Ibnul Jauzi juga berkata: Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara rutin disebabkan 2 hal:
  1. Bahwa orang yang meninggalkan suatu amalan setelah ia membiasakannya bagaikan orang yang berpaling setelah ia sampai tujuan, maka ia seolah-olah berpaling dari amalan tersebut, maka dari itu ada ancaman bagi orang yang hafal satu ayat kemudian melupakannya, walaupun sebelum ia hapal belum wajib baginya menjaga hapalan tersebut.
2.      Bahwa merutinkan suatu kebaikan merupakan bentuk pengabdian yang terus-menerus, sehingga orang yang mendiami suatu pintu dalam satu waktu setiap harinya tidak sama dengan orang yang mendiaminya seharian penuh tapi kemudian ia tinggalkan.
Hadits yang disebutkan di atas konteks lengkapnya adalah sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الشَّهْرِ مِنَ السَّنَةِ
 أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ وَكَانَ يَقُولُ : (( خُذُوا مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَنْ يَمَلَّ حَتَّى تَمَلُّوا))
)).وَكَانَ يَقُولُ : (( أَحَبُّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَإِنْ قَلَّ
Dari ‘Aisyah –radhiallahu ‘anha- berkata : Tidak pernah Rasulullah Saw. berpuasa lebih banyak pada suatu bulan selain bulan sya’ban, dan beliau bersabda : “Kerjakanlah amalan sesuai apa yang kalian mampu karena sesungguhnya Allah tidak akan pernah bosan sampai kalian bosan.” Beliau juga bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus  dilakukan walaupun sedikit.”
Dalam hadits ini Nabi shalallahu alaihi wa sallam menyuruh kita agar tidak beribadah kecuali dengan apa yang kita mampu. Beliau melarang kita untuk memaksakan diri melakukan amalan yang tidak kita mampu atau melakukan ibadah secara berlebihan karena dikhawatirkan ibadah tersebut akan terputus dan tidak terus dilakukan. Ibnu Hajar berkata : Karena orang yang ekstrim dan berlebih-lebihan dalam beribadah sangat mudah terjatuh pada rasa bosan dan jenuh. Berbeda halnya dengan orang yang melakukan ibadah secara seimbang (tidak berlebihan) maka ia akan lebih mudah untuk terus melakukannya secara rutin.[3]
Hal itu dikarenakan ketika seseorang membiasakan suatu amalan ibadah maka tidak sepantasnya ia melakukannya kemudian meninggalkannya begitu saja. Dan Allah telah mencela orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut dalam firmanNya:
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا
“dan mereka mengada-adakan kependetaan padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.” (QS. al-Hadid : 27)
Dalam ayat ini Allah mencela mereka karena meninggalkan amalan yang telah mereka biasakan. Oleh karena itu ‘Abdullah bin Amr berkata ketika telah lemah dan tak kuat melakukan amalan yang telah ia tekuni: Seandainya saja dulu aku menerima rukhshah (keringanan) dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Berkata Al-Mahlab: Diantara hak tubuh adalah menyisakan padanya kekuatan yang dengannya amalannya akan bisa terus dilakukan karena apabila ia berlebih-lebihan maka ibadahnya akan terputus dan ia akan futur.
Maka yang dimaksud dari hadits di atas adalah agar kita mengambil amalan yang lebih mudah dan melakukannya secara seimbang dan tidak mengambil amalan yang terlalu memberatkan kita. Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah –radhiallahu ‘anha-: Bahwasannya tidaklah Nabi shalallahu alaihi wa sallam ketika diberi pilihan atas 2 perkara  kecuali ia memilih yang lebih ringan selama tidak termasuk dosa. Dan beliau shalallahu alaihi wa sallam  tidak pernah sedikitpun marah karena dirinya sendiri, kecuali apabila ada larangan Allah yang dilanggar maka beliau marah karena Allah Ta’ala.
Dan begitu pula pada perkara umatnya antara berlebih-lebihan dan memperbanyak ibadahnya atau tengah-tengah dan seimbang serta tidak berlebih-lebihan. Telah kita ketahui bahwa memperbanyak ibadah sampai membuatnya bosan kemudian meninggalkannya bukanlah hal yang terpuji. Akan tetapi sedikit yang dilakukan secara terus-menerus dan memungkinkannya untuk melaksanakannya secara rutin maka itulah yang ada mashlahatnya. Hal tersebut disebabkan sedikit tapi diiringi dengan konsisten lebih baik daripada banyak tapi terputus. Orang yang bersungguh-sungguh pada satu waktu kemudian malas dan bosan sehingga meninggalkan amalannya secara keseluruhan maka ini tidak baik. Namun apabila ia melakukannya walupun sedikit tapi secara terus-menerus dan konsisten seterusnya maka ini lebih utama. Misalnya seseorang berpuasa 3 hari pada setiap bulan maka ini lebih utama daripada ia berpuasa selama 1 atau 2 bulan kemudian lelah dan meninggalkannya dan begitulah memperbanyak ibadah yang sampai membuatnya bosan dan meninggalkannya adalah perkara tidak baik.
Ibnu Wadhdhah menjelaskan makna “Allah tidak akan bosan sampai kalian bosan” pada hadits di atas: Maknanya adalah Allah tidak akan bosan memberi pahala sampai kalian bosan melakukan amalan tersebut. Ad-Dawdi menuturkan bahwa Ahmad bin Abi Sulaiman berkata: Maknanya yaitu Allah tidak akan pernah bosan adapun kalian bisa saja bosan.
Dalam hadits di atas pula terkandung salah satu bentuk kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya dimana Allah tidaklah membebani hambanya kecuali sesuai kemampuannya. Yang dituntut dari syariat ini adalah agar kita senantiasa menjaga ketaatan walaupun dengan amalan yang kecil. Amalan yang kecil jika dilakukan dengan penuh rasa ikhlash dan terus-menerus maka akan seperti peribahasa “sedikit-demi sedikit lama-lama menjadi bukit”. Yang Allah lihat dari hamba-Nya adalah kualitas amalannya bukan kuantitasnya sebagaimana firman-Nya :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.(Q.S. Al-Mulk:2).
Allah tidak berfirman “yang paling banyak amalannya”, karena banyaknya amalan tanpa disertai keikhlashan dan tata cara yang benar tidak ada manfaatnya.  yang bermanfaat adalah amalan yang dilakukan dengan penuh ikhlash hanya mengharap wajah Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam serta dilakukan terus-menerus (walaupun sedikit).











PENUTUP
Namun bukan maksud dari hadits diatas agar kita tidak bersungguh-sungguh dan tidak boleh memperbanyak amalan. Namun maksudnya adalah agar kita berusaha semampu kita untuk beramal sebanyak-banyaknya secara rutin dan terus-menerus dengan tetap memperhatikan kualitas amalan kita dan juga menjaga amalan lain yang lebih utama. Jangan sampai berlebihan melakukan amalan yang sunnah sampai amalan yang wajib terbengkalai. Misalnya berlebihan dalam qiyamul lail sampai shalat shubuh berjamaahnya tertinggal karena terlalu lelah semalaman.Yang jadi prinsip agama ini adalah sikap tengah-tengah dalam semua perkara, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula menyepelekan
Amalan secara istiqamah mengajar kita agar sentiasa merasakan nikmat beramal kerana setiap amalan yang dilakukan dengan hati dan jiwa, ianya akan mendatangkan rasa lazat dan nikmat. Amalan secara istiqamah walaupun dilaksanakan secara sedikit, pada tiap-tiap hari adalah lebih baik daripada melakukan amalan secara banyak-banyak tetapi pada masa yang tertentu. Kita boleh membuat perbandingan dan melihat sendiri kesan dalam amalan istiqamah pada tindakan alam umpamanya setitik air yang terus menerus menitik di atas batu, lama kelamaan ia akan melekukan batu tersebut. Akan tetapi, jika banjir yang berlaku hanya sekali sekala, tidak akan dapat memberi bekas pada batu tersebut.
Semoga Allah senantiasa memberi kita taufiq dan petunjuk untuk terus berpegang teguh dengan tali Allah, dan bisa mengerjakan amalan dengan terus menerus serta menjadikan kita di antara hamba-hambanya yang shalih. Aamiin.





DAFTAR PUSTAKA
Al Qardhawy, Yusuf.  Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Robbani Press, Jakarta. 1996.

Haddad, Imam Habib Abdullah,  Nasehat Agama dan Wasiat Iman, CV. Toha Putera, Semarang.  1993.



                    [1] Dr. Yusuf Al Qardhawy, Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah (Jakarta: Robbani Press, 1996).
[2] Imam Habib Abdullah Haddad, Nasehat Agama dan Wasiat Iman (Semarang: CV. Toha Putera, 1993) h. 143.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Saifurrahman El-Shahat 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .