jadwal sholat

Kamis, 27 November 2014

pendekatan fenomenologi terhadap al-Qur'an menurut sarjana Barat


Pendahuluan
Dalam uraian ini menjelaskan kami akan berusaha menjelaskan pendekatan fenomenologi oleh sarjana barat terhadap Al-Qur’an. Petunjuk mengidentifikasi sifat fenomenologi dalam tulisan mereka adalah :
-         Pengakuan sendiri akan metode fenomenologi yang digunakan dalam tulisannya atau keterangan dari penulis lainnya.
-         Tidak mencari asal usul Al-Qur’an dari kitab suci sebelumnya. Seperti halnya dalam studi agama secara umum, fenomenologi agama tidak mencari “asal usul” atau “sumber” agama, sebagaimana dikatakan G.Van Der Leeuw :
“...the phenomenology of religion has no place for the question of the origin og religion”.(... fenomenologi agama tidak mempunyai tempat untuk mempersoalkan tentang asal usul agama.)
-         Membahas sesuai dengan pandangan umat islam, khususnya mengenai esensi sebagai firman tuhan. Kriteria ini didasarkan pada pendapat W.B. Kristensen dan James E. Royster, bahwa memahami fenomena keagamaan umat islam sesuai dengan yang dipahami umat islam.


Pembahasan

A.     Pengertian fenomenologi
Fenomenologi di ambil dari bahasa Yunani, Phainestai, artinya “menunjukan dan menampakkan dirinya sendiri”. Sebelum Edmund Husserl (1859-1939), istilah tersebut digunakan beberapa filosof. Immanuel Kant menggunakan kata fenomena untk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran sedangkan nomina adalah realitas (das sein) yang berada diluar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya mengenal yang nampak dalam kesadaran, bukan nomina yaitu realitas diluar (berupa benda-benda atau hal yang menjadi objek kesadaran kita) yang kita kenal.[1]
            Hurssel menggunakan istilah fenomonologis untuk menunjukkan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan buah pikiran kita kedalamnya, atau menurut Husserl: “Zuruck zuden zuden sachen selb” (kembalilah kepada realitas itu sendiri)[2]. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan apa yang disebut dengan fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas.
            Menurut G. Van der Leeuw fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada 3 prinsip yang tercakup didalamnya :
1.      Sesuatu itu berwujud.
2.      Sesuatu itu tampak.
3.      Karena sesuatu itu tampak, maka ia merupakan fenomena.[3]


B.     Pendekatan fenomenlogi
Dalam menjelakan pandangan orientalis yang menggunakan pendekatan Fenomenologi kami menjelaskan beberapa hal.
1.      Kenabian Muhammad
Beberapa pandangan Islamolog barat yang dikemukakan disini adalah Charles J. Adams. Karya Adams tentang Al-Qur’an termuat dalam The Encyclopedia of religion. Karya Adams tersebut dikelompokkan menggunakan pendekatan fenomenologi sesuai dengan kcendrungan ensiklopedi tersebut.
Dalam penjelasannya tentang kenabian Muhammad, Adams mendeskripsikan tentang panggilan kenabian Muhammad. Sebelum diangkat menjadi rasul, Muhammad melakukan tahannus di Gua Hira untuk memencilkan diri dari pergaulan sosial, melakukan meditasi untuk mensucikan jiwanya. Adams mengutip pandangan orientalis lainnya bahwa praktek yang dilakukan oleh Muhammad dipengaruhi oleh ide-ide Yahudi dan Kristen, seperti yang dilakukan oleh rahib-rahib, dan petapa-petapa kristen di arab. Akan tetapi Adams menolak anggapan orientalis, bahwa Nabi Muhammad terkena epilepsi dan penyakit histeria. Ia menyatakan bahwa :
( Pandangan semacam ini tidak akan lama bertahan. Apa yang diketahui tentang kepribadian Muhammad, ketulusannya, cita-citanya, dan akibat [dari misi yang dibawakan] dapat mengubah orang-orang yang mendengarkan dan mengikutinya. Menurut pandangan islam, cerita-cerita itu menyatakan sifat khas dan luar biasa yang dialami Muhammad pada waktu menerima wahyu. Dia dalam keadaan tidak normal [tidak seperti kondisi biasa], melupakan apa yang ada disekelilingnya, nampaknya dikuasai oleh kekuatan dari luar. Keadaan ini dipandang sebagai bukti dari apa yang dia sampaikan sungguh merupakan wahyu dari tuhannya).[4]
Dari Muslim sendiri pun banya yang membantah Nabi terkena penyakit ayan atau histeria. Pada saat Nabi Muhammad menerima wahyu, pada diri beliau tidak tampak penyakit itu ada pada beliau ketika menerima wahyu. Jika terdapat kekejangan pada diri beliau ketika menerima wahyu, hal itupun hanya terbatas pada wajah beliau, beliau tidak pernah berteriak, mengeluh, atau merintih ketika menerima wahyu. Kesadaran beliau masih utuh dan ingatan beliau masih sempurna.[5]
Tentang hakikat kerasulan Muhammad, Adams mengemukakan beberapa istilah yang menunjukan kersulannya. Rasul (messenger), yaitu orang yang diutus, nabi (orang yang menyampaikan berita), basir (yang memberi berita baik), nazir (orang yang menyampaikan berita ancaman) dan muzakkir (pemberi ingat). Menurut Adams semua istilah itu menunjukkan kemanusiaan Muhammad secara lengkap yang posisinya lebih rendah daripada kekuatan yang besar yang kepadaNya dialamatkan perbuatannya.[6]

(Pentingnya Muhammad bukan karena pribadinya, bukan pula karena sifat-sifat dan kemampuannya yang khusus yang ia telah miliki, agaknya hal tersebut disebabkan semata-mata karena terpilihnya (al-Mustafa) oleh pencipta yang berkuasa, Tuhan alam semesta. Dua istilah itu secara khusus yaitu rasul dan nabi juga mengikatnya dalam deretan rasul dan nabi-nabi yang pernah muncul pada masa lalu. Dengan demikian memperkuat kembali ide akan kebenaran Tuhan yang tunggal dan abadi dari waktu ke waktu telah diutus atas kemurahan Tuhan untuk memberi manfaat pada umat manusia).

Penjelasan Adams tersebut cenderung sebagai antitesis terhadap pendekatan historisisme, karena dalam pendekatan historisisme, Pribadi Nabi Muhammad satu-satunya yang memproduksi ajaran (termasuk Al-Qur’an). Penjelasan Adams tersebut diatas mengabaikan samasekali unsur pribadi Nabi Muhammad dan sifat-sifatnya. Dalam pandangan islam, pribadi dan sifat-sifat Nabi Muhammad yang berkaitan dengan misinya tetap dipandang penting untuk diteladani.

Roest Crollius dalam bukunya : Thus were They Hearing : The World in the Experience of Revalation in Qur’an and Hindu Scriptures, juga menggunakan pendekatan fenomenologis. Menurut Roest Crollius membahas tentang Nabi Muhammad dan firman Tuhan hanya bisa dilakukan dengan pendekatan fanomenologis.

Tentang kenabian Muhammad, Roest crollius merujuk pada sejumlah ayat. Nabi Muhammad pada mulanya tidak pernah mengharapkan akan diberi kitab suci (28 : 86), bahkan sebelumnya tidak mengenal apa yang disebul al-kitab dan tidak mengenal tentang iman (42 : 52) Nabi Muhammad tidak dapat membaca dan menulis kitab suci (29 : 48). Ayat tersebut menurut Roest Crollius bertujuan untuk memperkuat kerasulan Muhammad, bahwa ia mendapat wahyu dari Tuhan yang sebelumnya tidak ia kenal.

Wilfred Cantwell Smith juga membicarakan kenabian Muhammad dengan pendekatan fenomenlogi. Smith menggunakan pendekatan fenomenologi karena ia menempatkan islam pada proporsinya. Dalam salah satu ungkapannya yang dikutip Kitagaw mengatakan : “... to an outsider islam is a religion  of the Moslim, but to the Moslim, Islam is the religion of truth”. (...bagi orang luar Islam, Islam adalah agam Orang Islam, tetapi bagi orang Islam, Islam adalah agama kebenaran). Akan tetapi dalam pandangannya tentang kenabian Muhammad dan Al-Qur’an,  Smith masih mencampurkan dengan prespektif Kristen.[7]

          Dalam pembicaraan tentang kenabian Muhammad, Smith mengemukakan tiga point, yaitu :
1.      Muhammad adalah nabi dan rasul dalm fungsinya, bukan pada statusnya. Tuhan menurut Smith selalu berbicara kepada umat manusia dari waktu ke waktu dalam berbagai masyarakat manusia untuk menyatakan firmanNya. Tuhan bukan Tuhan yang pasif, Dia selalu berkata pada manusia menyangkut hukum-hukum moral. Sia selalu berkata kepada manusia menyangkut hukum-hukum moral. Dia menciptakan manusia untuk menciptakan hukum moral itu.
2.      Tuhan menyampaikan hukum-hukum moral pada manusia. Dia tidak membiarkan manusia berada dalam kegelapan dalam menemukan dirinya untuk dirinya melalui usahanya sendiri. Tuhan aktif berbicara melalui mulut Nabi dan para rasulNya mulai dari Nabi Adam. Disini letak kesamaan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, bahwa Tuhan mengambil inisiatif menyampaikan wahyuNya kepada manusia dan manusia pun memberi respon dalam usahanya mencari Tuhan.
3.      Berkaitan dengan hal pertama, Smith melihat kenabian Muhammad bukan pada statusnya melainkan pada fungsinya. Dia melakukan perbandingan dengan ajaran Kristen. Yang menjadi sentrum dalam agama Islam adalah firman Tuhan dalam bentuk kata-kata, bukan person (seperti ajaran Kristen tentang firman Tuhan yang khusus adalah diri Yesus sendiri). Karena itu, pengakuan Islam mengenai nabi mereka bukan statement mengenai pribadi Nabi Muhammad tetapi tentang Al-Qur’an yang dibawa Nabi Muhammad. Smith dalam hal ini menyetarakan fungsi Nabi Muhammad dengan Paulus dalam agama Kristen.
Marcel A. Boisard, seorang ahli hukum internasional dari prancis dalam bukunya yag terkenal : L’Humanisme De L’Islam (paris, 1979) setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H.M. Rasyidi dengan judul Humanisme Dalam Islam. Satu dari bagian karyanya membahas tentang “Nabi Terakhir”. Boisard dikelompokkan menggunakan pendekatan fenomenologi, secara implisit tergambar dalam ungkapannya :
...apa yang di yakini umat Islam sendirilah yang lebih penting daripada apa yang dikatakan oleh kaum Orientalis Barat mengenai dogma Islam.
Menurut boisord. Muhammad adalah sekedar penyambung lidah dari wahyu abadi dan tidak mempunyai kedudukan tertinggi sebagai yang digambarkan umat Kristen tentang Yesus.
Dalam sejarah, Muhammad bukan hanya seorang rasul tetapi juga pendiri suatu kekuatan politik yang merubah jalannya sejarah dan mempengaruhi secara besar-besaran perkembangan dan penyiaran Islam sesudah ia wafat. Muhammad adalah orang yang luar biasa dan nabi yang sesungguhnya. Muhammad tidak membawa tugas untuk menghapus wahyu-wahyu sebelumnya, akan tetapi untuk memberikan konfirmasi, selain untuk menolak perubahan-perubahan yang terjadi dalam kitab sebelumnya.[8]
2.      Pandangan Tentang Wahyu
“bacalah!”
“aku tak dapat membaca”.
Sekiranya kita mengambil persoalan ini dari lahinya saja, maka kita akan mendapati bahwa dialog ini sejak semula telah menemukan posisi relatif kepada diri Muhammad dalam percakapan Al-Qur’an itu, dimana diri Muhammad sejak wahyu pertama telah ditempatkan pada kedudukan orang yang kedua tunggal (orang yang diajak berbicara) dan selanjutnya wahyu tu turun kepada orang kedua, yang akan disampaikan oleh perantaraan atas nama zat yang bicara (dalam bentuk kata ganti orang yang pertama = Aku, Kami), dimana disini dipakai secara langsung bahasa Ilahi, untuk memerintahkan seorang ummi agar ia membaca, padahal Si ummi ini tidak dapat membaca, oleh karena itu ia bingung dan ketakutan[9]. Pengalaman dan penderitaan Nabi ketika menerima wahyu dengan berbagai gejala yang telah diinformasikan sahabat ini yang dijadikan alasan dan argumen kaum orientalis untuk menuduh Nabi terkena penyakit ayan atau histeria.[10]
Dalam fenomenologi terdapat beberapa karakteristik atau faktor wahyu, yaitu :
a.       Dari segi asalnya : Dari Tuhan, nenek moyang, kekuatan mana’.
b.      Dari instrumen atau sarananya : tanda-tanda yang suci di alam, hewan, tempat suci, mimpi, ekstansi, visi, dan lain-lain.
c.       Isi dan tujuannya : Pendidikan, bantuan, hukuman, perintah Tuhan dan lain-lain.
d.      Penerima : Dukun, tukang sihir, tukang tenung, nabi dan lain-lain.
e.       Efek dan akibat : menjadi pelajaran dan menjadi misi Tuhan.
Geo Widengren mengemukakan, bahwa Muhammad adalah seorang rasul Tuhan dalam dalam pandangan Islam, yang menerima wahyu melalui perantara jibril. Menurut Widengren, ada dua tipe penerimaan wahyu oleh rasul-rasul tuhan :
(1)   Rasul menerima wahyu dengan mi’raj ke langit, disana ia memperoleh kitab untuk disampaikan kepada manusia.
(2)   Rasul sebagai manusia sempurna, kepadanya diberikan wahyu diatas bumi dan didiktekan kepadanya. Wahyu yang seperti ini yang diterima oleh Nabi Muhammad. Meskipun juga Widengren menyatakan Nabi Muhammad mi’raj ke langit.
Roest Crollius mengidentifilkasi kewahyuan Al-Qur’an yang di dasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an. Dia menggunakan dua kreteria yaitu : The word or Address dan the word of Order. Dalam pembahasannya tentang The wor of Address (perkataan/Firman yang disampaikan), dia menidentifikasi ayat Al-Qur’an yang terdapat kata qΓ£la dan qawl. Miasalnya, Tuhan berbicara kepada malaikat agar menyatakan padanya rencana penciptaan manusia sebagai khalifah di permukaan bumi (2 : 30, 33, 34; 7 :12; 15 : 28; 17 : 61 dan beberapa lainnya). Ketika Iblis membangkang perintah Tuhan, Tuhan menyatakan padanya agar dia dihukum ( 7 : 12; 15 ; 32; 17 ; 63 dan 38 ; 67). Makna qΓ£la dalam ayat tersebut, menurut Roest Crollius berarti tuhan berbicara agar dapat diketahui kehendakNya, rencanaNya sebagai Pencipta, sebagai Pengatur alam dan sebagai Hakim. Dalam ayat tersebut, Tuhan menampakkan diri sebagai Yang Agung.
Tentang the Word of Order , Roest Crollius mengidentifikasi sejumlah kata ‘amara dan perubahannya; oleh Al-Qur’an sering juga dipakai dalam konteks wahyu, misalanya : Perintah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih puteranya Ismail dengan kata افعل Ω…Ψ§ ΨͺΨ€ Ω…Ψ± (ucapan Ismail yang memahami bahwa rencana penyembelihan dirinya oleh ayahnya adalah permintaan tuhan ; 37 : 102). Perintah kepada Nabi Luth dan keluarganya untuk melakukan perjalanan malam dan perintah kepada Nabi Muhammad untuk mengesakan Tuhan (27 : 91; 13 : 36; 39 : 11 dan 11 :81). Kata-kata perintah tersebut menurut Roes Crollius mengandung arti pewahyuan Tuhan kepada nabi-nabiNya untuk menjalankan suatu perintah.
3.      Eksistensi Al-Qur’an
Sarjana Barat yang akan dikemukakan pendapatnya disini, adalah Anthony H. Jhons. Dia adalah Guru Besar dan Ketua Pusat Studi Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia di Canberra. Penelitiannya difokuskan pada studi Islam di Indonesia dan Tafsir Al-Qur’an.
Dalam artikelnya, “The Qur’an on the Qur’an”, ia menjelaskan secara fenomenologis tentang Al-Qur’an yang diambil dari keterangan Al-Qur’an itu sendiri, beliau mengatakan :
(Al-Qur’an bagi umat Islam , adalah firman Tuhan. Al-Qur’an memiliki karakteristik yang khas sebagaimana yang dipahami generasi sejak Nabi Muhammad sampai sekarang...)
Menurut Jhons, surat yang paling mencolok yang menjelaskan kewahyuan Al-Qur’an adalah surah Al-Qadr 1-5. Karena dalam ayat itu oleh umat Islam memakai makna bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Arasy Tuhan kelangit dunia.
Jhons lebih lanjut menjelaskan, bahwa Al-Qur’an mempunyai kedalaman makna yang tidak dapat dijangkau. Al-Qur’an tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa lain, sebab terjemahan hanya mengungkapkan satu segiarti kata dan mengabaikan segi lain. Disatu sisi bisa jelas tetapi segi lain kabur.dengan demikian, sesorang tidak dapat memberikan pemahaman yang sama dengan pemahaman orang lain.[11]
Al-Qur’an bukan hanya petunjuk bagi umat Islam, pernyataan tersebut tidaklah tepat. Pernyataan seperti ini jelas mereduksi isi kandungan Al-Qur’an itu sendiri yang berupa simbol fenomenologis yang begitu kompleks, sistematik dan lengkap. Al-Qur’an semestinya dipandang suatu Kitab yang disamping berisi petunjuk bagi umat manusia, juga sekaligus cermin (gambaran) kehidupa dan jati diri umat manusia di dunia ini.[12]
William Graham juga membahas Al-Qur’an dengan pendekatan fenomenologi. Graham menganalisis keunikan karakteristik kitab suci Islam dari segi sifat oral Al-Qur’an dan fungsinya sebagai firman tuhan yang “diturunkan” bukan dalam arti firman tuhan yang “tertulis” dan “dibukukan”. Dalam analisisnya, Graham secara khusus memaknakan Al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang dibaca (secara lisan). Makna tersebut lebih primer daripada Al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang tertulis (kitab suci).
Graham mengemukakan empat karakteristik khas Al-Qur’an :
(1)   Bahwa Al-Qur’an sendiri mengakui adanya kitab suci sebelumnya dan pengakuan Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang final dan lengkap, maka Al-Qur’an disebut Umm al-Kitab.
(2)   Dari ketiga agama : Yahudi, kristen, dan Islam, kitab sucinya dicirikan sebagai pusat atau sumber peribadatan, keshalehan dan ketaatan. Tetapi Al-Qur’an lebih jelas lagi menjadi pusat transenden keimanan Muslim. Kalau dalam agama Yahudi, kehadiran Tuhan termanifestasikan dalam hukum taurat dan dalam agama Kristen terdapat dalam pribadi Kristus, Maka dalam Islam Al-Qur’an sebagai sarana langsung dalam perjumpaan dengan Tuhan.
(3)   Konsep mengenai kitab suci yang dikoleksi dalam satu kitab merupakan ciri khas kitab suci Yahudi dan Kristen. Sedangkan dalam Islam, Al-Qur’an lebih merupakan Devine Word.
(4)   “... the primacy and most authoritative from of the Qur’anic text, unlike the Biblical, is oral not written”. (... bentuk primer dan paling otoritatif dari teks Al-Qur’an, tidak seperti Bibel,ia bersifat oral, bukan tertulis).
Dalam ciri yang keempat ini, Graham memandang Al-Qur’an sebagai kata/firman  yang dibaca yang merupakan makna primer. Sedangkan sebagai kitab tertulis merupakan makna sekunder. Meskipun dia mengakui Al-Qur’an ditulis masa Nabi, tetapi sifat transmisi oral serta tradisi menghafal Al-Qur’an dipandang lebih utama sebagai ciri utama Al-Qur’an.[13]


Kesimpulan
Fenomenologi di ambil dari bahasa Yunani, Phainestai, artinya “menunjukan dan menampakkan dirinya sendiri”. Hurssel menggunakan istilah fenomonologis untuk menunjukkan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan buah pikiran kita kedalamnya, atau menurut Husserl: “Zuruck zuden zuden sachen selb” (kembalilah kepada realitas itu sendiri).
Menurut G. Van der Leeuw fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada 3 prinsip yang tercakup didalamnya :
1.      Sesuatu itu berwujud.
2.      Sesuatu itu tampak.
3.      Karena sesuatu itu tampak, maka ia merupakan fenomena
Mengenai kenabian Muhammad, Adams menolak anggapan Orientalis yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad terkena epilepsi atau penyakit histeria. Sedangkan mengenai Kerasulan Nabi Muhammad, Adams mengemukakan beberapa istilah yang menunjukan kersulannya. Rasul (messenger), yaitu orang yang diutus, nabi (orang yang menyampaikan berita), basir (yang memberi berita baik), nazir (orang yang menyampaikan berita ancaman) dan muzakkir (pemberi ingat). Menurut Adams semua istilah itu menunjukkan kemanusiaan Muhammad secara lengkap yang posisinya lebih rendah daripada kekuatan yang besar yang kepadaNya dialamatkan perbuatannya.
Geo Widenger mengemukakan, bahwa Nabi Muhammad adalah seorang rasul tuhan dalam pandangan Islam,  yang menerima wahyu melalui perantaraan Jibril. Sarjana barat yang mengemukakan mengenai esksistensinya Al-Qur’an diantaranya Anthony H. Jhons berkata dalam artikelnya : “Al-Qur’an bagi orang Islam adalah firman tuhan. Al-Qur’an memiliki karakteristik yang khas sebagaimana yang dipahami generasi sejak Nabi Muhammad sampai sekarang...”



[1] Moh Natsir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif) (Semarang: Dina Utama Semarang, 1997), h. 70-71.
[3]Moh Natsir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat..., h. 73.
[4][4] Moh Natsir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat..., h. 107.
[5] A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verivikasi Tentang Otentisitas Al-Qur’an (Banjarmasin: Antasari Press, 2006),  h. 65.
[6] Moh Natsir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat..., h. 106-107.
[7] Moh Natsir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat..., h. 108-110.
[8] Moh Natsir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat..., h.111-112.
[9] Malik bin Nabi, Fenomena Al-Qur’an (Bandung: Alma’arif, 1983) , Cet. Ke-I. h.193.
[10] A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verivikasi Tentang Otentisitas Al-Qur’an..., h. 63.
[11] Moh Natsir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat..., h.113-115.
[12] Anharudin, dkk,  Fenomenologi Al-Qur’an (Bandung: Alma’arif, 1997), h. 183.
[13] Moh Natsir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat..., h.114-117.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Saifurrahman El-Shahat 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .