jadwal sholat

Selasa, 11 November 2014

asbab al-Nuzul


ASBAB AN-NUZUL
A.Pengertian Asbab An-Nuzul
            Ungkapan Asbab An-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi. Asbab an-Nuzul adalah sebab sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbab An-Nuzul, namun dalam pemakaiannya, ungkapan asbab An-Nuzul khusus digunakan  untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an seperti halnya asbab al-wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadis.
            Banyak pengertian terminologi yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya:
1.      Menurut Az-Zarqani :
“Asbab An-Nuzul” adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat al-Qur’an  sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”
2.      Ash-Shabuni :
“AsbabAn-Nuzul” adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama,”
3.      Shubhi Shalih :
“Asbab an-Nuzul” adalah suatu yang menjadi sebab turunnya sesuatu atau beberapa ayat Al-Qur’an (ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respon atasnya. atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat peristiwa itu terjadi.”[1]
4.      Mana’ Al-Qaththan:
“Asbab An-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi”[2]

          Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa : konflik sosial seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj; kesalahan besar, seperti kasus salah seorang sahabat yang mengimami shalat dalam keadaan mabuk; dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada Nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang atau yang akan terjadi.

          Persoalan apakah seluruh ayat Al-Qur’an memiliki Asbab An-Nuzul atau tidak, ternyata telah menjadi bahan kontroversi di antara para ulama. Sebagian ulama berpendapatbahwa tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki asbab An-Nuzul. Sehingga, diturunkan tanpa ada yang melatarbelakanginya(ibtida’), dan adapula ayat Al-Qur’an itu diturunkan dengan dilatar belakanginya oleh suatu peristiwa (ghair ibtida’).

Pendapat tersebut hampir merupakan konsensus para ulama, akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa kesejarahan Arabia pra-Qur’an pada masa turunnya Al-Qur’an merupakan latarbelakang makro Al-Qur’an; sementara riwayat-riwayat asbab An-Nuzul merupakan latarblkang mikronya.
B. Urgensi dan kegunaan Asbab An-Nuzul

          Az-Zarqani dan As-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab An-Nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Qur’an dengan meletakkan dalam konteks historis sama dengan membatasipesannya pada ruang waktu tertentu. Namun, keberatan seperti ini tidaklah berdasar, karena tidak mungkin menguniversalkan pesan Al-Qur’an diluar masa tempat dan pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Qur’an dalam konteks kesejarahannya.[3]

          Mengetahui asbab An-Nuzul bagi turunnya ayat Al-Qur’an sangatlah penting, terutama dalam memahami ayat-ayat yang menyangkut hukum.[4] Dalam statementnya, Ibn Taymiyah menyatakan:


Artinya :
“asbab An-Nuzul sangatlah menolong dalam menginterpretasi Al-Qur’an”

Ungkapan senada dikemukakan oleh Ibn Daqiq Al-‘Ied dalam pernyataannya:



Artinya:
“penjelasan terhadap asbab An-Nuzul merupakan metode yang kundusif untuk menginterpretasikan makna-makna Al-Qur’an.”[5]

Oleh karena itu, pentingnya ilmu Asbab An-Nuzul dalam ilmu Al-Qur’an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya, dapat kami katakan bahwa diantara ayat Al-Qur’an ada yang tidak mungkin dapat kita pahami atau tidak mungkin kita ketahui ketentuannya / hukumnya tanpa ilmu asbab An-Nuzul.[6]
            Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan urgensi sebab An-Nuzul dalam memahami Al-Qur’an, sebagai berikut:
1.      Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidak pastian dalam menagkap ayat-ayat Al-Qur’an[7]. Diantaranya dalam surah Al-Baqarah 115 :

ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله إن الله واسع عليم
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS.Al-Baqarah:115).

            Lafal ayat ini secara eksplisit menunjukkan atas bolehnya orang melaksanakan shalat menghadap kemana yang diinginkannya, dan tidak wajib mengadap kearah kiblat.[8] Pemahaman seperi ini adalah salah, karena menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Dengan ilmu asbab An-Nuzul dapatlah dipahami secara jelas, dimana Ayat diatas turun sehubungan dengan kasus seseorang yang ada dalam perjalanan, dan tidak mengetahui arah kiblat, karena itu ia boleh berijtihad memilih arah, dan selanjutnya ia melakukan shalat. Kemana saja ia menghadap arahnya kiblat dalam shalatnya maka sahlah shalatnya. Ia tidak harus mengulangi kembali disaat ia mengetahui arah sebenarnya andaikata salah. Dengan demikian maka ayat ditas tidaklah bersifat umum tetapi khusus bagi seseorang yang tidak mengetahi kiblat dan arah.[9]

Contoh kedua, diriwayatkan dalam Sahih Al-Bukhari bahwa Marwan bin Al-Hakam menemui kesulitan dalam memahami ayat:


لا تحسبن الذين يفرحون بما أتوا ويحبون أن يحمدوا بما لم يفعلوا فلا تحسبنهم بمفازة من العذاب ولهم عذاب أليم
Artinya:
Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.(Q.S. Ali Imran:188).

Marwan memahami ayat diatas sebagai berikut: jika setiap orang bergembira dengan usaha yang telah diperbuatnya, dan suka dipuji atas usaha yang belum dikerjakan, akan disiksa, kita semua akan disiksa, ayat tersebut dipahaminya demikian.[10] Beliau menyuruh pembantunya untuk menemui ibn Abbas untuk menanyakannya, kemudian Ibn Abbas menjelaskannya: ”Ayat tersebut turun sehubungan dengan persoalan Ahli kitab(Yahudi) tatkala ditanya oleh Nabi s a w. Tentang sesuatu persoalan dimana mereka tidak menjawab pertanyaan yang sebenarnya yang ditanyakan, mereka mengalihkan kepada persoalan yang lain serta menganggap persoalan yang ditanyakan Nabi kepadanya sudah terjawab. Setelah itu mereka meminta pujian kepada Nabi, maka turunlah ayat tersebut diatas.[11]
2.      Mengatasi kersguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
Umpamanya dalam surah Al-An’Am :145 dikatakan:

قل لا أجد في ما أوحي إلي محرما على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنزير فإنه رجس أو فسقا أهل لغير الله به
Atinya:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.”(Q.S. Al An-‘am:145).

Menurut As-Syafi’i, pesan ayat oni tidak bersifat umum(hasr). Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat diatas, Asy-Syafi’i menggunakan alat bantu asbab An-Nuzul. Menurutnya, ayat Al-Qur’an ini diturunkan sehubungan dengan orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan sendiri. Karena mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, dan menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang yahudi, maka turunlah ayat diatas sebagai bantahan terhadap mereka.[12] Dengan demikian seolah-olah Allah berfirman “yang halal hanya yang kamu anggap haram dan yang haram itu yang hanya kamu anggap halal”. Dalam hal ini Allah tidak bermaksud menetapkan kebalikan dari ketentuan diaas, melainkan sekedar menjelaskan ketentuan yang haram sama sekali tidak menyinggung-nyinggung yang halal.[13]
3.      Mengkhususkan ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus(khusus sabab) dan bukan lafazh yang bersifat umum (umum al-lafzh).
4.      Mengidentifikasi pelaku yang menyebaban ayat Al-Qur’an turun. Umpamanya, ‘Aisyah pernah menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjuk Abdurrahman ibn Abu Bakar sebagai orang menyebabkan turunnya ayat: “dan orang yang mengatakan kepada orang tuanya”cis kamu berdua...”(Q.S. Al-Ahqaf:17). Untuk meluruskan persoalan, ‘Aisyah berkata kepada Marwan; “Demi Allah bukan dia yang menyebabkan ayat ini turun. Dan aku sanggup untuk menyebutkan siapa orang yang sebenarnya.”
5.      Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk menetapkan wahyu kedalam orang yang mendengarkannya. Sebab, hubungan sebab akibat (musabbab), hukum, peristiwa, pelaku, masa, dan tempat merupakan satu jalinan yang bisa mngikat hati.
C. Cara Mengetahui Riwayat Asbab An-Nuzul
      Asbb An-Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak boleh ada jalan lain untuk mengetahuinya, selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql ash-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-Qur’an.[14] Atau dari orang yang memahami Asbab An-Nuzul, lalu mereka menelitinya dengan cermat, baik dikalangan sahabat, Tabi’in atau yang lainnya dengan catatan pengetahuan mereka diperoleh dari ulama-ulama yang dapat dipercaya.[15] Dalam kitab Asbab An-Nuzulnya, Al-Wahidy menyatakan:
“pembicaraan asbab An-Nuzul, tidak dibenarkan, kecuali berdasarkan riwayat dan mendengar dari mereka yang secara langsung menyaksikan peristiw nuzul, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
      Para ulama salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat ayang berkaitan dengan Asbab An-Nuzul. Keketatan mereka itu dititikberatkan pada seleksi pribadi si pembawa riwayat (para rawi), sumber riwayat (isnad), dan redaksi berita (matan).[16] Bukti keketatan itu diperlihatkan Ibn Sirin ketika menceritakan pengalamannya sendiri:
“aku pernah bertanya kepada ubadah tentang sebuah ayat Al-Qur’an, tetapi ia menjawab ‘hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah dan berbicaralah yang benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa ayat Al-Qur’an sudah tidak ada lagi.”[17]
      Akan tetapi, perlu dicatat bahwa sikap kekritisan mereka tidak dikenakan terhadap materi Asbab An-Nuzul yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi. Mereka berasumsi bahwa apa yang dikatakan sahabat Nabi, yang tidak termasuk dalam lapangan penukilan dan pendengaran, dapat dipastikan ia mendengar ijtihadnya sendiri. Karena itu pula, ibn Shalah, Al-Hakim, dan para Ulama hadis lainnya menetapkan,”Seorang sahabat Nabi yang mengalami masa turunnya wahyu, jika ia meriwayatkan suatu berita tentang Asbab An-Nuzul, riwayatnya itu berstatus marfu’.”[18]
      Cara mengetahui asbab An-Nuzul berupa riwayat yang shahih adalah: (1). Apabila perawi sendiri yang menyatakan lafadz sebab secara tegas. Dalam hal ini tentu merupakan Nash yang nyata, seperti kata-kata perawi sebab turun ayat ini begni......” (2). Bila perawi menyatakan riwayatnya dengan memasukkan “fa ta’qibiyah”. Riwayat yang demikian juga merupakan nash yang sharih dalam sabab An-Nuzul.[19]



[1] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (bandung: CV Pustaka Setia, 2012), Cet Ke-III, h. 60.
[2] Manna’ Al-Qhaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Ashr Al-Hadits, t.tp., 1990, h. 78.
[3]Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an..., h. 62.
[4] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I,  (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke-I. H.112.
[5] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an..., h.62.
[6] Mohammad Aly Ash-Shabuny, Alih Bahasa, Moh Chudluri Umar, Moh Matsna,  Pengantar Study alqur’an (At-Tibyan), (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), Cet Ke-IV. H. 37.
[7] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an..., h.63.
[8] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I ..., h.122.
[9]Mohammad Aly Ash-Shabuny, Alih Bahasa, Moh Chudluri Umar, Moh Matsna,  Pengantar Study alqur’an (At-Tibyan) h..38.
[10] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an..., h.64.
[11] Mohammad Aly Ash-Shabuny, Alih Bahasa, Moh Chudluri Umar, Moh Matsna,  Pengantar Study alqur’an (At-Tibyan)..., h.40.
[12] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an..., h.64.
[13] Mohammad Aly Ash-Shabuny, Alih Bahasa, Moh Chudluri Umar, Moh Matsna,  Pengantar Study alqur’an (At-Tibyan), h. 43.
[14] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an..., h.65.
[15]Mohammad Aly Ash-Shabuny, Alih Bahasa, Moh Chudluri Umar, Moh Matsna,  Pengantar Study alqur’an (At-Tibyan)..., H.46.
[16] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an..., h.66.
[17] Mohammad Aly Ash-Shabuny, Alih Bahasa, Moh Chudluri Umar, Moh Matsna,  Pengantar Study alqur’an (At-Tibyan)..., h.46.
[18] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an..., h.66.
[19]Mohammad Aly Ash-Shabuny, Alih Bahasa, Moh Chudluri Umar, Moh Matsna,  Pengantar Study alqur’an (At-Tibyan)..., h. 47.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Saifurrahman El-Shahat 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .