jadwal sholat

Selasa, 11 November 2014

syarat diterimanya sebuah Qira'at


BAB I
PENDAHULUAN

Bangsa Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku termaktub didalamnya. Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio kultural pada masing-masing suku. Layaknya Indonesia yang memiliki bahasa persatuan, maka bangsa Arabpun demikian. Mereka menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami alasan Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
Perbedaan-perbedaan dialek itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’at) dalam melafalkan Al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri, tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan Al-Qur’an dengan berbagai macam qira’at. Dalam makalah ini, kami akan mencoba membahas tentang kriteria qiraat yang diterima, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.













BAB II
PEMBAHASAN
Qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad (ciptaan, rekaan) para ulama ahli Qira’at, karena ia bersumber dari Nabi saw. Namun demikian, untuk membedakan mana qira’at yang benar-benar berasal dari Nabi SAW. Dan mana yang bukan, para ulama ahli qira’at menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu, hal ini karena perjalanan qira’at alqur’an terlepas dari adanya pencemaran.
Terdapat sedikit perbedaan pendapat dikalangan para ahli qira’at dalam menetapkan persyaratan bagi qira’at yang tergolong sahih , namun prinsipnya sama. Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut adalah sebagai berikut:
Ibnu khalawayh (w. 370 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a.       Qira’at tersebut harus sesuai dengan rasm al-mushaf.
b.      Qira’at tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
c.       Qira’at tersebut bersambung periwayatannya.
Makki ibn Abi Thalib (w. 347 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a.       Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab yang baku.
b.      Qira’at tersebut harus sesuai dengan rasm al-mushaf.
c.       Qira’at tersebut disepakati oleh ahli qira’at pada umumnya.
Sementara itu, al-Kawasyi (w. 680 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a.       Qira’at tersebut memiliki sanad yang sahih.
b.      Qira’at tersebut sesuai kaidah bahasa arab.
c.       Qira’at tersebut sesuai rasm al-Mushaf.
Sedangkan ibn al-Jaziri (w. 833 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a.       Qira’at tersebut memiliki sanad yang sahih.
b.      Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab secara mutlak.
c.       Qira’at tersebut sesuai dengan rasm al-Mushaf meskipun tidak persis betul.[1]
Dari keempat persyaratan tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa ada tiga persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at yang sahih, yaitu
1.      memiliki sanad yang sahih walaupun diterima dari qari yang selain dari yang 7 dan qari 10.
2.      sesuai dengan salah satu rasm al-mushaf ustmani.
3.      Sesuai dengan kaidah bahasa arab.
Ibnul Atsir al-Jaziri dalam kitab Munjidul Muqri’i mengatakan bahwa qira’at yang diterima dengan sanad mutawatir adalah qira’at yang 10. Qira’at yang 4 yang selain dari 10, adalah sahih sanadnya, tetapi dia ahadiah, mukan mutawatir, bukan al-Qur’an yang dapat dibaca ketika sembahyang.[2] Qira’at-qira’at yang mutawatirlah yang diterima oleh umat islam, hanya qira’at yang 10 yang diterima oleh khalaf dan salaf, dari abad ke abad hingga sekarang. Dan tidak ada qira’at yang mutawatir yang lain selain dari yang 10.[3]
Setiap qira’at yang memenuhi kriteria tersebut adalah qiraat yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. sebaliknya qira’at yang kurang salah satu dari tiga syarat tersebut disebut qira’at yang lemah atau aneh atau batal. Itulah beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat diatas telah terpenuhi, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shaih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau batil.
As-syuyuti mengutib Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’at berdasarkan sanad kepada enam macam.
1.    Mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam tiap tingkatan sampai kepada Rasul. Menurut Jumhur ulama, qira’at yang ketujuh adalah mutawatir. Menurut H. Ahmad Fathoni, para ulama Al-Qur’an dan ahli hukum Islam telah sepakat bahwa qira’at yang berstatus mutawatir ini adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai Al-Qur’an. Qira’at ini sah dibaca di dalam dan diluar shalat. Qur’an ini dijadikan sumber atau hujjah dalam menetapkan hukum.
2.  Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya tidak sampai sebanyak periwayat mutawatir. Qira’at ini sesuai kaidah bahasa arab dan tulisan mushaf usmani. Qira’at ini populer di kalangan para ahli qira’at dan mereka tidak memandangnya sebagai salah atau aneh. Menurut Al-Zarqani dan Shubhi Al-Shalih, kedua macam tingkatan mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak mengingkari sedikit pun daripadanya.
3.   Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih. Akan tetapi qira’at ini menyalahi tulisan mushaf Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti kemasyhuran tersebut diatas. Qira’at ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashil Al-Jahdari dari Abi Bakrah bahwa Nabi SAW.
      Contohnya:
ôs)s9 öNà2uä!%y` Ñ^qßu ô`ÏiB öNà6Å¡àÿRr& îƒÍtã Ïmøn=tã $tB óOšGÏYtã ëȃ̍ym Nà6øn=tæ šúüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ Ô$râäu ÒOŠÏm§ ÇÊËÑÈ  
      Kata anfusikum mereka baca dengan fathah yakni anfasikum.
4.      Syaz, yaitu qira’at yang sanadnya tidak sahih, seperti qira’at. Terjadinya kejanggalan pada qira’at nya. Qira’at ini tidak dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk Al-Qur’an.
Contohnya:
Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ  
Kata maalikiyaumi diubah menjadi malakayauma.
5.      Maudu’, yaitu qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar, seperti qira’at yang dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’i (wafat 408 H) dan dibangsakan kepada Abu Hanifah.
Contohnya:
zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJŠÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ  
Kata Allah diatas menjadi fathah (wakallamallaha).

6.      Mudraj, yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-Qur’an seperti qira’at Sa’d bin Abi Waqqas, dan ibnu Abbas.
Contohnya:
}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§
Ayat tersebut ditambah فى موا سم الحج yang tujuannya untuk memperjelas ayat tersebut.[4]

Imam Nawawi (w. 676 H) menjelaskan dalam kitab Syarah Muhazzab bahwa tidak sahmembaca qira’at yang syadzzah (aneh) didalam dan diluar shalat. Sebab, qira’at syazzah (aneh) tidak mutawatir. Barangsiapa berpendapat tidak demikian maka orang itu salah dan jahil. Sekiranya ia menyalahi pendapat itu dan membaca riwayat yang syadzz (aneh), qira’atnya ditolak diluar dan didalam shalat. Ulama fiqh Baghdad sepakat untuk menyuruh orang-orang yang membaca riwayat yang syadz untuk bertaubat. Abd al-Barr mengutip ijma’ kaum muslimin atas ketidakbolehan membaca qira’at yang syadzzah dan tidak boleh shalat dibelakangnya. Keterangan ini menegaskan kedudkan qira’at yang syazzah dalam hubungannya dengan al-Qur’an. Qira’at ini tidak berstatus al-Qur’an dan karena itu membacanya tidak termasuk kedalam ibadah. Namun, tentang penggunaannya sebagai hujjah atau argumen dalam menafsirkan al-Qur’an , para ulama berbeda pendapat. Imam al-Haramain mengutip makna lahir dari madzhab Syafi’i bahwa tidak boleh mengamalkan qira’at syazzah. Abu Nashral-Qusyairi mengikuti pendapat ini kemudian ibnu al-Hajib menegaskannya. Sementara itu, al-Qadhi Abu Al-Thayyib, al-Qadhi al-Husein, al-Rumani, al-Rifa’i menyebutkan boleh mengamalkannya denagn menempatkannya sebagai khabar ahad. Pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu al-Subhi dalam kitab Jam al-Jawami dsn Syarah al-Mukhtasar.[5]















BAB III
KESIMPULAN

Dari makalah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa syarat diterimanya sebuah Qira’at ada tiga yaitu:
1.      Kesesuaian qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik fasih maupun lebih fasih. Sebab, qira’at adalah Sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan rasio.
2.      Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekadar mendekati saja. Sebab, dalam penulisannya mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui.
3.      Qira’at itu isnadnya harus shahih, sebab qira’at merupakan Sunnah yag diikuti yang didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at bertanggung jawab atas pengingkaran mereka itu.














DAFTAR PUSTAKA

Akha, Abduh Zulfidar, Al-Qur’an dan Qiraat, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1996.

Hasanuddin, Anatomi Al-Qur’an : Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum dalam Al-Qur’an, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Syadzali, Ahmad dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I,  Pustaka Setia, Bandung, 1997.

Shaleh, Subhi, Mabahits Fi Ulumil Qur’an “Membahas Ilmu-Ilmu Ulumul Qur’an” terj. Tim Pustaka Firdaus, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta,  1999.

Shiddieqy, M.Hasbi, Ilmu-Ilmu al-Qur’an “Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan al-Qur’an, Bulan Bintang, Jakarta, T.Th.




[1] Hasanuddin,  Anatomi Al-Qur’an : Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 138-140.
[2] Abduh Zulfidar Akha, Al-Qur’an dan Qiraat  (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996) h. 134.
[3] M.Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an “Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang, T.Th.). h. 145.
[4] Subhi as-Shaleh, Mabahits Fi Ulumil Qur’an “Membahas Ilmu-Ilmu Ulumul Qur’an” terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta, Penerbit Pustaka Firdaus, 1999) Cet. Ke-7. H. 332-335.
[5] Ahmad Syadzali dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I (Bandung: Pustaka Setia, 1997). H. 1997.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Saifurrahman El-Shahat 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .