BAB I
PENDAHULUAN
Sebagian dari masyarakat kita kurang atau tidak setuju dengan poligami dan
mereka menentang praktik poligami yang ada sekarang ini, karena efek negatifnya
sangat besar bagi keluarga dan banyak menyakiti kaum perempuan. Namun, sebagian yang lain menyetujui poligami
dengan alasan-alasan tertentu. Kelompok terakhir ini beralasan bahwa meskipun
poligami memiliki banyak resiko, tetapi bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, khususnya
Islam.
Terlepas dari pendapat pro dan
kontra tentang poligami, yang jelas masalah poligami menjadi
masalah yang menarik untuk didiskusikan. Praktik poligami semakin lama semakin
banyak di tengah-tengah masyarakat kita. Dalam praktiknya, masih banyak di antara
kaum poligam belum memenuhi ketentuan yang ada, baik secara hukum Negara maupun
hukum agama. Dalam makalah ini kami mencoba membahas mengenai tafsir Surah An-Nisa ayat
3-4 dan 129 yang membahas masalah poligami semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur (
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4
y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ (#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4
bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
“dan jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa 3-4)
Sabab Nuzul
Imam
al-Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah r.a. berkata, “Ada seorang gadis yatim di
bawah asuhan walinya. Ia berserikat dengan walinya dalam masalah hartanya, walinya itu tertarik kepada harta dan kecantikan gadis tersebut. Akhimva
ia bermaksud menikahinya, tanpa memberikan mahar yang layak.” Maka turunlah ayat ini.
Adapun
Tafsirnya
Allah menjelaskan seandainya kamu tidak dapat berlaku adil atau tak dapat menahan diri dari makan harta anak yatim itu, bila kamu menikahinya, maka janganlah kamu menikahinya dengan tujuan menghabiskan hartanya,
melainkan nikahkanlah ia dengan orang lain. Dan kamu pilililah perempuan lain yang kamu senangi satu, dua, tiga, atau empat, dengan konsekuensi kamu memperlakukan istri-istri kamu itu dengan adil dalam pembagian waktu
bermalam (giliran). nafkah, perumahan serta hal-hal yang berbentuk materi
lainnya. İslam membolehkan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. Tetapi pada dasamya satu istri lebih baik, seperti
dalam lanjutan ayat itu. Sebelum turun ayat ini poligami
sudah ada. dan pernah pula dijalankan oleh para
nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Ayat ini membatasi poligami sampai
empat orang.
Apabila kamu tidak dapat melakukan semua itu dengan adil,
maka cııkuplah kamu nikah dengan seorang saja. atau memperlakukan sebagai istri
hamba sahaya yang kamu miliki tanpa akad nikah
dalam keadaan terpaksa. Kepada mereka telah cukup apabila kamu
penııhi nafkah untuk kehidupannya. Hal tersebut merupakan suatu usaha yang
baik agar kamu tidak terjerumus kepada perbuatan aniaya. Hamba sahaya
dan perbudakan dalam pengertian ayat ini
pada saat sekarang sudah tidak ada lagi karena Islam sudah berusaha
memberantas dengan berbagai cara. Ketika Islam lahir perbudakan di dunia Barat
dan Timur sangat subur dan menjadi institusi yang sah seperti yang dapat kita lihat dalam sejarah
lama, dan dilukiskan juga dalam beberapa bagian dalam Bibel: Orang merdeka
dapat menjadi budak hanya karena: tak dapat membayar utang.
mencuri, sangat papa (sehingga terpaksa menjual diri),
budak Yahudi dan bukan Yahudi (Gentile) statusnya berbeda dan sebagainya.
Nabi Muhammad diutus pada permulaan abad ke-7 M.
Saat ia mulai berdakwah, perbudakan di sekitarnya dan di Semenanjung
Arab sangat subur dan sudah merupakan hal biasa. Sikapnya terhadap perbudakan,
seperti dilukiskan dalam Al-Qur’an, sangat berbeda dengan sikap masyarakat pada
umumnya. Ia mengajarkan perbudakan harus dihapus dan menghadapinya dengan
sangat arif. Tanpa harus mengutuk perbudakan, ia mengajarkan agar budak
diperlakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan penghapusannya
harus bertahap, tak dapat dengan sekaligus dan dengan cara
radikal seperti dalam memberantas syirik dan paganisme. Dan tujuan akhimya
ialah menghapus perbudakan samasekali. Hal ini terlihat dalam beberapa
ketentuan hukum Islam, seseorang dapat menghapus dosanya dengan memerdekakan
seorang budak, yang juga menjadi ketentuan orang yang saleh dan bertakwa.
Rasulullah telah memberi contoh nyata dengan memerdekakan seorang budak
(Zaid) dan menempatkannya menjadi anggota keluarganya, diangkat
sebagai anak angkatnya dan berstatus sama dengan status keluarga Quraisy.
Memang benar, rumah tangga yang baik dan harmonis dapat diwujudkan
oleh pernikahan monogami. Adanya poligami dalam rumah tangga dapat menimbulkan banyak hal yang dapat
mengganggu ketenteraman rumah tangga.
Manusia dengan fitrah kejadiannya memerlukan hal-hal yang dapat
menyimpangkannya dari monogami. Hal tersebut bukanlah karena dorongan seks
somata, tetapi justru untuk mencapai kemaslahatan mereka sendiri yang karenanya
Allah membolehkan (menurut fuqaha) atau memberi hukum keringanan (rukhsah
menurut ulama tafsir) kaum laki-laki untuk melakukan poligami
(beristri lebih dari satu).
Adapun
sebab-sebab yang membuat seseorang berpoligami adalah sebagai berikut:
a.
Apabila dalam satu rumah tangga belum
mempunyai seorang keturunan sedang istrinya menurut pemeriksaan dokter dalam
keadaan mandul. padahal dari perkawinan diharapkan bisa mendapatkan keturunan, maka
poligami merupakan jalan keluar yang paling
baik.
b.
Bagi kaum perempuan, masa
berhenti haid (monopouse) lebih cepat datangnya, sebaliknya bagi
seorang pria walau telah mencapai umur tua. dan kondisi fisiknya sehat ia masih membutuhkan pemenuhan
hasrat seksualnya. Dalam keadaan ini apakah dibiarkan seorang pria itu berzina?
Maka
di sinilah dirasakan hikmah dibolehkanya poligami
tersebut.
c.
Sebagai akibat dari peperangan umpamanya
jumlah kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki. Suasana ini lebih mudah
menimbulkan hal-hal negatif bagi kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami.
Bahkan kecenderungan jumlah perempuan lebih
banyak daripada jumlah lelaki saat
ini sudah menjadi kenyataan, kendati tidak ada peperangan.
Para suami
ağar memberikan
mahar berupa sesuatu yang telah mereka janjikan kepada istri mereka pada waktu akad nikah
yang terkenal dengan (mahar musamma)
atau sejumlah mahar yang biasa diterima oleh keluarga istri yang terkenal
dengan (mahar misil)
karena tidak ada ketentuan mengenai jumlah itu sebelumnya.
Pemberian mahar ini adalal merupakan tanda kasih sayang
dan menjadi bukti adanya ikatan antara se.rang laki-laki dengan seorang perempuan
untuk membangıın rumah tangga, Namun apabila istri rela dan ikhlas, maka dalam hal ini
tidak mengapa jika suami turut memanfaatkan mahar tersebut. Ayat ini menunjukkan bahua maskawin adalah disyariatkan oleh ağama. Pada masa jahiliah
menikah tanpa maskawin.[1]
Adapun dalam tafsir
Al-Qur’anul Majid An-Nuur karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy tafsirnya
adalah sebagai berikut:
Sebab
turun ayat
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Urwah ibn Zubair, bahvva beliau bertanya tentang
ayat ini, yang oleh Aisyah dijawab, ayat ini diturunkan berkaitan dengan perempuan
yatim yang diperlihara oleh walinya, tetapi kemudian harta dan kecantikan perempuan yatim itu
menarik hati si wali. Tetapi
si wali itu ternyata tidak berlaku adil, dia tidak mau memberi maskawin sebagaimana
yang diberikan suami kepada isterinya yang setara. Ayat ini mencegah mereka
berbuat demikian dan memerintahkan mereka untuk menikahi perempuan lain.
Dalam suatu riwayat diceritakan,
ayat ini diturunkan mengenai seorang lelaki yang menjadi wali bagi
seorang perempuan yatim dan mewarisi hartanya. Dia
tidak mau menikahkan anak yatimnya itu kepada lelaki lain, karena
dia ingin tetap bisa menikmati hartanya, bahkan dia menyakiti hati perempuan
yatim itu.
Kalau demikian halnya, maka makna ayat ini adalah: nikahilah siapa
saja perempuan yang kamu sukai, tetapi jangan menyakiti perempuan yatim yang
kamu asuh itu.
Memang orang-orang Arab pada masa jahiliyah suka menikahi
banyak perempuan, lalu menghabiskan harta anak-anak yatim yang berada dalam
perwaliannya.
Adapun Tafsirnya
Wa in khiftum allaa
tuqsi-thuu fil
yataamaa fankihuu maa thaaba lakum minan nisaa-i mats-naa wa tsulaa-tsa wa
rubaa’a = Jika kamu merasa takut tidak akan mampu
berbuat adil, maka janganlah kamu menikahi mereka (anak yatim). Tetapi nikahilah perempuan-perempuan lain yang kau cintai, dua, tiga atau
empat.
Jika kamu khawatir tidak akan bisa berbuat adil setelah kamu
menikahi perempuan yatim, sedangkan kamu menjadi walinya, apalagi kamu (khawatir) akan menghabiskan hartanya, maka janganlah
kamu beristeri dengan perempuan yatim. Tetapi
kamu juga jangan menghalangi mereka menikah. Kamu tentu akan memperoleh jalan
untuk beristeri dengan perempuan-perempuan lain, seorang, dua
orang, tiga, atau empat orang.
Fa in khiftum
allaa ta’diluu fa waahidatan = Jika kamu takut tidak akan mampu berbuat adil di antara
isteri-isterimu, maka nikahilah seorang saja.
Akan tetapi jika kamu khawatir tidak bisa berlaku adil seandainya menikahi
dua orang, tiga, atau sampai empat orang isteri, maka hendaklah kamu beristeri
satu orang saja. Dengan tegas ayat
ini mengatakan bahwa orang yang boleh beristeri dua
adalah yang percaya
bahwa dirinya
benar-benar dapat berlaku adil.
Au maa malakat aimaanukum = Atau
nikahilah perempuan-perempuan yang kamu miliki.
Jika kamu tidak mungkin bisa berlaku adil di antara isteri-isterimu
yang merdeka (bukan budak), maka cukuplah beristeri seorang saja yang merdeka.
Atau nikahilah budak-budak yang kamu miliki (ini berlaku semasa zaman
perbudakan belum dihapuskan).
Dzaalika adnaa allaa ta ’uuluu = Beristeri
satu lebih dekat bagimu untuk tidak berlaku curang.
Mencukupkan diri beristeri satu dengan perempuan merdeka atau mencukupkan
diri dengan budak-budak yang dimiliki lebih dekat kepada perilaku tidak curang.
Beristeri banyak sesungguhnya tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan
darurat, dan sangat kecil kemudaratannya.
Ayat ini memberi pengertian bahwa kebolehan
beristeri banyak disertai syarat dapat berlaku adil. Sedangkan berlaku adil
merupakan satu hal yang sangat sulit dicapai.
Adil yang dimaksud di sini adalah: kecondongan hati. Kalau demikian halnya, memastikan
adanya adil merupakan suatu hal yang sulit diwujudkan. Tidak
mungkin kecintaan seseorang kepada isteri-isterinya bisa berlaku sama.
Oleh karena itu, kebolehan beristeri banyak tidak bisa diberlakukan
sembarangan. Diperbolehkan secara darurat bagi orang yang percaya benar akan
mampu berlaku adil dan terpelihara dari perbuatan curang.
Al-Amir Ali dalam kitab Sirrul Islam menjelaskan bahwa ulama-ulama besar Mu’tazilah berpendapat,
seorang lelaki tidak boleh beristeri yang kedua selama dia masih mempunyai
seorang isteri. Ulama-ulama Mu’tazilah memang sangat ketat dalam hukum
pernikahan. Mereka menekankan tentang kemudaratan- kemudaratan dan kesukaran
yang terjadi akibat poligami (beristeri lebih dari satu). Mereka menginsafi, di antara dasar-dasar syariat Nabi Muhammad adalah
memberikan kepada alat (wasilah), hukum yang diberikan kepada tujuan. Kita melihat bahwa beristeri
banyak ternyata berakibat sangat buruk, yang tidak dipandang baik oleh akal dan
tidak diridhai oleh ağama. Karena itu beristeri banyak diharamkan.
Untuk itu, para pemuka hukum dan ahli-ahli fatwa hendaklah meyakini bahwa menolak bencana haruslah didahulukan atas
menarik kemaslahatan; dasar- dasar ağama adalah menolak kemudaratan semua
pihak, mempelajari cara memperbaki keadaan yang sangat rusak dan membuat
undang-undang yang bisa menjamin kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
(kerusakan).
Wa aatun nisaa-a shaduqaatihinna nihlah = Dan
berikan kepada para perempuan itu mahamya sebagai suatu penıberian yang mesra.
Para suami memberikan maskawin (mahar)
adalah sebagai tanda penghormatannya atau menjadi tanda kasih sayang dan untuk
mengukuhkan tali kecintaan antara suami kepada isteri.
Fa in thibna
lakum ‘an syai-in
minhu nafsan
fakuluuhu hanii-am marii-aa = Maka jika mereka (isteri-isteri) dengan senang hali memberikan
kepadamu sebagian mahamya, maka makanlah (ambillah) dengan kegembiraan hati,
serta baik akibatnya.
Jika mereka memberikan sebagian mahar yang diterimanya kepadamu
dengan senang hati, maka ambillah dan nikmatilah, tidak ada dosa bagimu untuk
menerima pemberian itu.
Inilah sebabnya, seorang suami dilarang
mengambil harta milik si isteri, kecuali diyakini isterinya bersedia
menyerahkan kepada suami dengan rela dan hati yang ikhlas, karena untuk suatu
keperluan. Tetapi apabila diberikan di bawah suatu
tekanan dan rasa takut, misalnya karena diancam, bagi suami tidak halal mengambil
harta si isteri. Suami tidak boleh mengambil sesuatu dari hak perempuan ketika
akan menceraikannya.[2]
Adapun
dalam tafsir muyassar karangan ‘Aidh al-Qarni, penafsiran surah an-Nisa ayat
3-4 adalah sebagai berikut:
Apabila kalian khawatir tidak bisa berlaku adil dalam membayar mahar perempuan yatim-yaitu
apabila kalian mengawini salah seorang dari mereka dan
kalian tidak bisa membayar mahar untuknya sebagaimana yang kalian bayarkan untuk perempuan
lain yang tidak yatim, maka kawinilah wanita- wanita lainnya. Dan apabila seseorang telah mengawini dua, tiga, atau empat orang wanita yang
merdeka dan belum lebih dari jumlah tersebut maka hendak- lah ia
mencukupkannya dengan jumlah tersebut. Sebab, Allah s.w.t. hanya membolehkan poligami sampai empat orang
istri saja. Adapun
bila seseorang merasa khawatir tidak bisa berbuat adil terhadap istri-isrinya dalam memberikan tempat tinggal, nafkah atau
kebutuhan-kebutuhan lainnya, dan dia merasa justru akan berbuat zalim kepada salah seorang dari mereka
dikarenakan tidak bisa memenuhi hak-hak mereka secara adil maka sebaiknya dia hanya menikah dengan
satu orang istri saja. Sebab, jalan ini lebih memungkinkan seseorang untuk berbuat adil. Sementara itu, bila dengan satu istri saja seseorang masih merasa belum cukup, tetapi pada sisi lain ia juga merasa
takut berbuat zalim jika menikah lebih dari satu istri maka ia boleh mengawini
budak-budak wanita (dari para tawanan perang)sejumlah yang ia mau. Dan hal itu lebih baik baginya dan lebih menjauhkannya dari kezaliman
dan aniaya.
Seorarang Muslim harus membayar mahar kepada
perempuan yang diper- istrinya dan tidak dibolehkan untuk berbuat semena-mena
terhadapnya atas dasar pemberian tersebut. Sebab, sesungguhnya mahar itu
merupakan hak penuh seorang istri dan juga kewajiban teringan yang harus
dipenuhi oleh seorang suarni terhadapnya. Akan tetapi,
bila seorang istri ingin memberikan sebagian dari mahar tersebut kepada
suaminya sebagai hadiah maka si suami
diperbolehkan menerimanya. Dan pemberian itu halal lagi baik untuknya.[3]
Firman Allah:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@
br&
(#qä9Ï÷ès?
tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym (
xsù (#qè=ÏJs? ¨@à2 È@øyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4
bÎ)ur
(#qßsÎ=óÁè?
(#qà)Gs?ur
cÎ*sù ©!$# tb%x.
#Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊËÒÈ
“dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S,
an-Nisa: 129)
Firman
Allah SWT
`s9ur
(#þqãèÏÜtFó¡n@
br&
(#qä9Ï÷ès?
tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym (
xsù (#qè=ÏJs? ¨@à2 È@øyJø9$#
mengabarkan
bahwa berbuat adil diantara
istri itu tidak mungkin dilakukan, yang dimaksud adalah kecendrungan untuk
lebih menyukai, berjima', dan juga memberikan perhatian. Dalam ayat ini Allah
SWT menjelaskan kondisi manusia yang mana mereka diciptakan dalam kapasitas tidak
memiliki (Kemampuan untuk mengontrol kecendrungan) hatinya kepada sebagian atas
sebagian yang lain, maka oleh
karena itu beliau SAW berdo'a,"Ya Allah
inilah kemampuan yang aku miliki, maka janganlah Engkau mencelaku atas kemampuan yang Engkau
miliki dan yang tidak aku miliki (ketidak adilanku). Kemudian Allah SWT melarang dan berkata, "Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)." Mujahid berkata,
"Janganlah kalian sengaja berbuat jelek terhadap mereka, akan tetapi kalian berkewajiban untuk menyamaratakan
dalam membagi dan memberi nafkah, karena hal inilah yang bisa dilakukan.
Penjelasan tentang hal ini
akan dibahas dalam surah
Al-Ahzab dengan luas
lagi, lnsya allah. Qatadah meriwayatkan dari An-Nadr bin Anas dari
Basyir bin Nuhaik dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
من كانت له امرأتان فلن يعدل بينهما جاء يوم القيا مة وشقه ما ئل
“Barangsiapa
mempunyai dua istri, dan tidak berbuat adil terhadap keduanya, pada
hari kiamat kelak, orang tersebut akan datang dalam keadaan bahunya miring sebelah”
Firman Allah كالمعلّقة فتذروها Ï"Sehingga kamu biarkan yang lain terkatung katung,"
Artinya wanita tadi tidak
dicerai dan (seakan- akan ia) tidak mempunyai suami, perkataan ini dikemukakan
oleh Al-Hasan, ini sama seperti mengantung sesuatu
terhadap sesuatu, sebab sesuatu itu tidak dikatakan berada di bumi dan
terpancang dan juga tidak dikatakan tersangkut tetapi tidak bergelantungan, hal ini sama seperti yang terdapat dalam peribahasa orang Arab. "Relakanlah kendaraan itu tergantung. Dalam pengertian ahli
bahasa terdapat istilah ta'likul fi'il, dan dalam perkataan, Ummu
Zar'i tentang perkataan seorang wanita, "Suamiku mempunyai perangai yang buruk, kalau aku berbicara, aku akan di ceraikan, tapi kalau aku diam, aku digantung (dibiarkan dan tidak diperhatikan),"
Qatadah berkata, "Wanita tersebut seperti orang yang dipenjara, inilah
Qiraah yang dibaca oleh ubay fatadzaruuhaa kal masjuunah, Ibnu Mas'ud membaca fatadzaruuhaa ka'annahaa mu'allaqah, kata فتذروها dalam bentuk nashab karena ia jawaban dari pelarangan diatas, dan huruf al kaaf pada kata كالمعلّقة juga dalam bentuk nashab.[4]
Ayat ini sering dijadikan alasan oleh sementara
orang yang tidak mengerti bahwa Islam tidak merestui poligami karena kalau izin berpoligami bersyarat dengan berlaku adil berdasarkan firman-Nya: ‘Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS.
an-Nisâ’ [3]: 4), sedang di sini dinyatakannya bahwa kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
di antara isrri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka
hasilnya kata mereka adalah
bahwa poligami tidak mungkin direstui. Pendapat ini tidak dapat diterima,
bukan saja karena Nabi saw. dan
sekian banyak sahabat beliau melakukan
poligami, tetapi juga karena ayat ini tidak berhenti di tempat para penganut
pendapat ini berhenti, tetapi berlanjut dengan menyatakan karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai).
Penggalan ayat ini menunjukkan kebolehan poligami walau keadilan
mutlak tidak dapat diwujudkan.
Seperti terbaca di atas, keadilan yang tidak
dapat diwujudkan itu adalah dalam hal cinta. Bahkan, cinta atau
suka pun dapat dibagi. Suka yang lahir atas dorongan
perasaan dan suka yang lahir atas dorongan akal. Obat yang pahit tidak disukai
oleh siapa pun. Ini berdasarkan perasaan setiap orang, tetapi obat yang sama akan disukai, dicari, dan diminum karena akal si sakit mendorongnya
menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian suka atau cinta dapat berbeda. Yang
tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah keadilan dalam
cinta atau suka berdasarkan perasaan, sedang suka yang berdasarkan akal dapat
diusahakan manusia, yakni memperlakukan istri dengan baik, membiasakan diri dengan kekurangan-kekurangannya, memandang semua aspek
yang ada padanya, bukan hanya aspek keburukannya. Inilah yang dimaksud dengan janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada vang
kamu cintai) dan jangan juga
terlalu cenderung mengabaikan yang kamu kurang cintai.[5]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Poligami adalah perkawinan seorang suami dengan
lebih dari seorang isteri dalam waktu
yang bersamaan. Lawan dari poligami adalah monogami. Dalam perspektif hukum Islam,
poligami dibatasi sampai maksimal empat orang isteri. Ada dua ayat pokok yang dapat dijadikan acuan dilakukannya
poligami, yakni QS. al-Nisa’ (4): 3-4
dan QS. al-Nisa’ (4):
129. Poligami sudah berjalan seiring perjalanan sejarah umat manusia, sehingga poligami bukanlah suatu trend baru yang
muncul tiba-tiba saja.
Walaupun poligami itu dibolehkan, tetapi yang
melakukannya harus memenuhi syarat yaitu berlaku adil terhadap istri-istrinya, Adapun sebab-sebab yang membuat seseorang
berpoligami adalah sebagai berikut:
a.
Apabila dalam satu rumah tangga belum
mempunyai seorang keturunan sedang istrinya menurut pemeriksaan dokter dalam
keadaan mandul. padahal dari perkawinan diharapkan bisa mendapatkan keturunan, maka
poligami merupakan jalan keluar yang paling baik.
b.
Bagi kaum perempuan, masa
berhenti haid (monopouse) lebih cepat
datangnya, sebaliknya bagi seorang pria walau telah mencapai umur
tua. dan kondisi fisiknya sehat ia masih
membutuhkan pemenuhan hasrat seksualnya. Dalam
keadaan ini apakah dibiarkan seorang pria itu berzina? Maka
di sinilah dirasakan hikmah dibolehkanya poligami
tersebut.
c.
Sebagai akibat dari peperangan umpamanya
jumlah kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki. Suasana ini lebih mudah menimbulkan hal-hal negatif
bagi kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami.
Bahkan kecenderungan jumlah perempuan lebih
banyak daripada jumlah lelaki saat
ini sudah menjadi kenyataan, kendati tidak ada peperangan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qarni , ‘Aidh, at-Tafsir al-Muyassar
Jilid I, Penerjemah Tim Qisti Press, Qisty Press, Jakarta, 2007.
Al-Qurthubi, Syeikh Imam, Al-Jami’ Li Ahkam
Al-Qur’an, Terjemahan Ahmad Rijali Kadir, Pustaka Azzam, Jakarta, 2008.
ash-Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi,
Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II,
Lentera Abadi, Jakarta, 2010.
Shihab, M.
Quraish, Tafsir Al-Misbah, Vol II, Lentera Hati, Jakarta, 2002.
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II, (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), h. 115-117.
[2] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 779-782.
[3] ‘Aidh al-Qarni, at-Tafsir al-Muyassar Jilid I, Penerjemah, Tim Qisti
Press (Jakarta: Qisty Press, 2007), h. 355-356.
[4] Syeikh Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Terjemahan
Ahmad Rijali Kadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 965-967.
9 komentar:
Terima kasih atas tulisannya
Terima kasih atas tulisannya
Subhanallah.. yg dipaparkan diatas semuanya yg selama ini ada didalam benak dan pikiran saya..
Terima kasih :))
Sama-sama. Semoga bermanfaat ateikelnya kwan kawan..
saya menangis membaca artikel ini...
sebab sudah tak tau lagi cara menyampaikan agar berbuat adil..
jika saya berbicara, saya akan di pukul, jika saya diam, saya akan di tinggalkan..
surat ani nisa ayat 129 bagi saya merupakan larangan berpoligami. "Janganlah cenderung...." bagi saya itu merupakan perintah untuk punya satu saja. Saat ayat ini diturunkan budaya poligami masih berlaku masif sehingga larangannya pun bersifat meminimalisir supaya jangan punya terlalu banyak. Al-quran fleksibel mengikuti perkembangan jaman pada dasarnya. Sehingga untuk konteks saat ini himbauan untuk adil bisa diartikan beristri satu saja. Saya laki-laki tapi saya penentang poligami. Laki-laki dan perempuan hanyalah sebatas raga. Ruh suci di dalamnya tidak mengenal jenis kelamin saat menghadap.
Setuju ,ustad
Maa syaa Allah...syukran ustadz
Posting Komentar