PENDAHULUAN
Hadits adalah segala
sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa
perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah
Al-Qur'an, sejarah perjalanan Hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan
Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu
yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Hadis merupakan sumber hukum Islam ke-dua
setelah Al-Qur’an karena, hadis diriwayatkan oleh para perawi dengan sangat
hati-hati dan teliti.
Pembagian hadis dari
berdasarkan kuantitas rawi ada dua yaitu Mutawatir dan Ahad.
Dalam makalah kami ini, kami mencoba membahas tentang klasifikasi hadis Ahad ditinjau dari segi kualitas Riwayat.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits
Ahad
Hadis ahad adalah hadis
yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi
syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir.
Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini.
ما لا يجتمع فيه شروط التواتر
“Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.”[1]
Adapun yang dimaksud hadis ahad menurut
istilah banyak ulama, antara lain sebagai berikut:
ما
لم تبلغ نقلته فى الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سواء كان المخبر واحدا و اثنين او
ثلاثا او اربعة او خمسة او الى غير ذلك من الاعداد التى لا تشعر بأن الخبر دخل بها
فى خبر المتواتر
“Hadis yang tidak sampai jumlah
rawinya kepada jumlahhadis mutawatir, baik rawinya itu seorang, dua,
tiga,empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yangtidak memberi
pengertian bahwa hadis itu denganbilangan tersebut masuk ke dalam hadis
mutawatir.”[2]
Ada juga ulama yang
mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, hadis selain hadis mutawatir,
atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumber- nya
(Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai
kepada qath’i dan yaqin.[3]
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan
bahwa hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau
sejumlah orang, teapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.[4]
Sedangkan menurut Hasbi
ash-Shiddiqi, hadis ahad didefinisikan sebagai “khabar yang jumlah perawinya
tidak sampai sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu satu,
dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa
jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.[5]
Jumhur ulama sepakat bahwa
beramal dengan hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib.
Abu Hanifah. Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad memakai hadis ahad a syarat-syarat
periwayatan yang sahih terpenuhi.[6] Hanya saja Abu Hanifah menetapkan
syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya, dan amaliahnya tidak
menyalahi hadis yang diriwayatkan. adapun Imam Malik menetapkan persyaratan
bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli Madinah.[7]
Golongan qadariyah, rafidah,
dan sebagian ahlu zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis
ahad hukumnya tidak wajib. Sementara itu, Al-Juba’i dari golongan Mu'tazillah
menetapkan tidak wajib beramal, kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh dua orang yang diterima dari dua orang. Sementara, ulama yang lain
mengatakan tidak wajib beramal, kecuali hadis diriwayatkan oleh empat orang dan
diterima dari empat orang pula.[8]
Untuk menjawab golongan yang
tidak memakai hadis ahad sebagai dasar beramal, Ibnu Qayyim mengatakan,
"Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Alquran. Pertama,
kesesuaian terhadap ketentuan yang terdapat dalam Alquran. Kedua,
menjelaskan maksud Alquran. Ketiga, menetapkan hukum yang tidak terdapat
dalam Alquran." Alternatif ketiga itu merupakan ketentuan yang ditetapkan
oleh Rasulullah saw. yang wajib ditaati. Lebih dari itu, ada yang menetapkan
bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah Alquran, as-sunnah, dan
ijma’."[9]
B.
Klasifikasi Hadis Ahad
Jumlah rawi dari masing-masing thabaqah,
mungkin satu orang, dua orang, tiga orang, atau malah lebih banyak, namun tidak
sampai pada tingkat mutawatir.[10]Berdasarkan
jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadis ahad ini
dapat dibagi dalam tiga macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib.[11]
1. Hadis Masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar
wa az-zuyu' (sesuatu yang sudah tersebar dan populer).[12]
Adapun menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
مارواه الثلاثة ولم يصل درجةالتواتر
“Hadis yang diriwayatkan oleh
tiga orang perawi atau lebih, tetapi bilangannya tidak mencapai derajat bilangan mutawatir.”[13]
Ada juga yang mendefinisikan
hadis masyhur secara ringkas, yaitu:
ماله طرق محصورةباكثر من اثنين ولم يبلغ حدالتواتر
“Hadis yang mempunyai jalan yang
terbatas, tetapi labih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis mutawatir.”[14]
Hadis ini dinamakan masyhur
karena telah tersebar luas di kalangan masyarakat, lawan dari masyhur adalah Majhul yaitu hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh orang –orang yang tidak terkenal dalam kalangan ahli ilmu.[15] Ada
ulama yang memasukkan seluruh hadis yang telahpopuler dalam masyarakat,
sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekalibaik berstatus sahih atau dhaif
ke dalam hadis masyhur.[16]
Ulama Hanafiahmengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan
hati, dekat pada keyakinan dan wajib untuk diamalkan, tetapi bagiyang menolaknya,
tidak dikaitkan kafir.[17]
Hadis masyhur ini ada yang
berstatus sahih, hasan dan daif. Yang dimaksud dengan hadis masyhur
yang telah memenuhi ke tentuanhadis sahih, baik pada sanad maupun matan-nya,
seperti hadis dari Ibnu Umar:
اذاجاء احدكم الجمعة فليغسل (رواه
البخارى)
“Bagi siapa yang hendak
melaksanakan salat Jum'at hendaklah ia mandi.”
Contoh lain adalah hadis dari 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash, yangmendengar langsung dari Rasulullah saw.
Bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ
مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ؛ حَتَّى
إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً،فَسُئِلُوا
فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَل
“SesungguhnyaAllah swt. Tidakakan
mencabut ilmu pengetahuan dengan langsung mencabutnya dari hamba-Nya, tetapi
Allah mencabutnya dengan mencabut ulama, sehingga apabila tiada seorang alim
yang tertinggal, manusia akan menjadikan orang-orang yang jahil sebagai
pemimpin. Mereka (para pemimpin) ditanya soal-soal agama dan mereka
memberikanfatwa tanpa berdasarkan pada ilmu. Karenanya mereka sesat
danmenyesatkan.”[18]
Adapunyang dimaksud denganhadis masyhur
hasan adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan
hadis hasan, baik mengenaisanadmaupun matan-nya, seperti
sabda Rasulullah saw:
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
“Menuntut ilmu itu wajib bagi
setiap muslim bail laki-laki maupun perempuan.”[19]
Adapun yang dimaksud dengan hadis
mashyur dhaif adalah hadis masyhur yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadits sahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadis:
من عرف نفسه عرف ربه
“Barang siapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia telah mengenal
Tuhannya.”[20]
2.
Macam-Macam Hadis Masyhur
Istilah masyhur yang
ditetapkan pada suatu hadis, kadang-kadang bukan untuk menetapkan
kriteria-kriteria hadis menurut ketentuan di atas, yakni jumlah rawi yang
meriwayatkannya, tetapi diterapkan pula untuk memberikan sifat suatu hadis yang
dianggap populer menurutilmu ahli tertentu atau di kalangan
masyarakat tertentu.[21] Dari
tujuan inilah, ada suatu hadis bila dilihat dari bilangan rawinya tidak dapat
dikatakan sebagai hadis masyhur, tetapi bila dilihat dari kepopulerannya
tergolong hadis Masyhur. Dari segi yang terakhir inilah, hadis masyhurdapat
digolongkan dalam beberapa bagian di bawah ini.[22]
a)
Masyhur di kalangan ini ahli hadis,
seperti hadis yang menerangkan bahwa
Rasulullah saw. membaca doa kunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh dan berdoa atas golongan(kabilah)
ri’il dan zakwan. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim dan riwayat Sulaiman At-Taimi dari Abi Mijlas dari Anas.
b)
Masyhur di kalangan ulama ahli hadis,
ulama-ulama lain, dan di kalangan
orang umum, seperti:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده (زواه البخارى و
مسلم)
“Seorang muslim adalah orang yang
menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya.”[23]
c)
Masyhur di kalangan ulama ahli fikih,
seperti:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر (رواه
مسلم)
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwa Rasulullah
saw. Melarang jual beli yang dalamnya terdapat unsur tipu daya.”[24]
Contoh lain seperti:
ابغض الحلال عند الله الطلاق
“Perkara halal
yang dibenci Allah ialah thalak.”[25]
d) Masyhur di kalangan ahli ushulfiqh:
اذاحكم ا لحاكم فا جتحد ثم اصا ب فله اجران وا ذ ا حكم الحاكم فا جتحد فا خطأ فله ا
جر (رواه مسلم)
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian ia
berjihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala
ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah,maka dia
memperoleh satu pahala (pahala ijtihad).” (H.R. Muslim).[26]
Contoh lain seperti:
رفع عن أمتى الخطاء والنسيان وما استكر هوا عليهم (رواه
الطبرانى عن ابن عباس)
“Terangkatlah dosa dari ummatku karena kekeliruan, lupa, dan
perbuatan yang mereka lakukan karena terpaksa.”[27]
e)
Masyhur di kalangan ahli sufi, seperti:
كنت كنزامحفيّا فاحببت
ان اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku
ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk dan melalui mereka pun kenal kepada-Ku.”[28]
Didalam buku Ilmu Hadis karangan
Munzier Suparta mengatakan bahwa hadis diatas banyak ditemukan dalam buku-buku
tasawuf sebagai landasan adanya aliran tasawuf.
f ) Masyur di kalangan ulama-ulama
Arab, seperti ungkapan:
"Kami
(orang-orang Arab) yang paling fasih mengucapkan huruf Dhad (ض) sebab kami dari golongan orang Quraisy."[29]
g) masyhur
dikalangan masyarakat awam, contohnya:
العجلة
من الشيطان
“Tergesa-gesa itu perbuatan syetan.”[30]
Masih banyak lagi hadis yang
kemasyhurannya hanya di kalangan tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan
bidangnya masing-masing.
Banyak kitab yang ditulis
berkaitan dengan persoalan ini, antara lain sebagai berikut.
1.
Kasyaf Al-Khifa dan Mazil Al-Ilbas oleh
Ismail bin Muhammad Al- ‘Ajaluni (1162 H). Kitab ini memuat hadis-hadis shahih,
hasan, dan saqim/dhaif, dan maudhu’, yang ada dan tidak ada sanadnya.[31]
2.
Al-Maqasid Al-Hasanahfi Al-Ahadis
Al-Musyurah karangan Al-Hafiz Syams Ad-Din Muhammad bin Abdul Ar-Rahman As-Akhawi
(w.902 H).
- Asna Al-Mathalib oleh Syekh Muhammad bin Sayyid Barwisi.
3.
Hadis Ghairu Masyhur
Hadis ghairu masyhur ini oleh para ulama hadis dibagi menjadi Hadis Aziz.
Dan Gharib.
1. Hadis aziz
Kata "Aziz"
menurut etimologi, jika diambil dari kata ", Ya'izzu" berarti "sedikit"
dan jika diambil dari kata ", Ya'izzu "berarti "kuat."[33]
Adapun pengertian hadis aziz menurut terminologi ialah hadis yang diriwayatkan
oleh dua Orang rawi atau lebih dalam
satu thabaqatnya.[34]
Definisi ini paling populer dan telah digunakan oleh Ibnu Hajar kitabnya "Al-Nukhbah"
Sedang menurut Ibnu Al-Shalah dan yang lain, bahwa hadis aziz ialah hadis yang diriwayatkan
oleh dua atau tiga orang rawi, sebagaimana dikatakan oleh pengarang kitab Al-Baiquniyyah:
عزيزمرويّ اثنينى او ثلاثة مشهور مرويّ فوق ما ثلا ثة
"Hadis aziz ialah hadis yang
diriwayatkan oleh dua atau tiga orang
rawi, sedang hadis masyhur ialah hadis yan riwayatkan oleh lebih dari tiga
orang rawi."[35]
ContohhadisAzis
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
"Bahwasanya Rasulullah saw bersabda, 'Tidak semmpurna iman salah
seorang di antara kamu sekalian sehinggaaku lebih disukai olehnya daripadaorangtuanya dan anaknya.”[36]
Hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah oleh Anas bin Malik kemudian
diriwayatkan kepada dua orang yaitu, qatadah dan Abdul Aziz bin suhaib, dari
qatadah diriwayatkan pada dua orang, yaitu Syu’bah dan Husain al-Muallim. Dan
dari Abdul Aziz diriwayatkan kepada dua orang yaitu Abdul Warits dan Ismail bin
‘Ulaiyyah, dari keempat orang rawi ini diriwayatkan pada generasi dibawahnya
lebih banyak lagi yang akhirnya sampai pada Imam Bukhari dan Muslim.[37]
2. Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa berarti jauh dari
tanah air atau sukar dipahami.[38]
Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang asing, sebab hanya diriwayatkan
oleh seorang rawi, atau disebabkan oleh adanya penambahan matan atau sanad.
Hadis yang demikian disebut gharib karena keadaannya asing menurut pandangan
rawi-rawi yang lain, seprti ora ng yang jauh dari tempat tinggalnya.[39]
Adapun pengertian hadis gharib
menurut para ahli sebagai berikut:
1. Ulama ahli hadis dalam hubungan ini mendefinisikan hadis gharib
sebagai berikut.
.هو
ما ينفرد بروايته راو واحد
“Yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiridalam meriwayatkannya.”[40]
2. Ibn Hajar meberikan
pengertian hadis gharib dalam kitab Nukhbatul Fikr sebagai berikut:
ما ينفرد بروايته شخص
واحد فى ايّ موضع وقع التفرد به من السند
“Yaitu hadis yang sendirian saja seorang perawi dalam
meriwayatkan dan kesendiriannya itu terletak dimana saja dalam sanad.”[41]
- Menurut H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir mendefinisikan gharib sebagai berikut
الحديث
الغريب هو الحديث الذى انفرد بروايته شخص واحد فى ايّ موضع وقع التفرد من السند
“Hadis yang pada
sanadnyaterdapat seorang yang menyendiridalam meriwayatkannya di mana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi.”[42]
Hadis gharib terbagi dua,
yaitu gharib muthlaq dan gharib nisbi.
a.
Gharib Muthlaq
ما ينفرد بروايته شخص واحد فى اصل سنده
Hadis yang menyendiri
seorang perawi dalam periwayatannya pada asal sanad.
Dikategorikan sebagai mutlak
apabila penyendirian itumengenai personilnya, sekalipun penyendirian tersebut
hanya terdapat dalam suatu thabaqat. Penyendiriari hadis gharib
mutlak iniharus berpangkal di tempat ashlu sanaa, yakni tabiin,
bukan sahabat sebab yang menjadi tujuan membicarakan pendirian perawi dalam
hadis gharib ialah untuk menetapkan apakah periwayatan dapat diterima
atau ditolak. Sedangkan mengenai sahabat tidak perlu diperbincangkan, sebab
telah diakui oleh jumhur ulama ahli hadis bahwa keadilan sahabat tidak perlu
diragukan lagi, bahwa semua sahabat dianggap adil semuanya.[43]
Contoh hadis gharib mutlak,
antara lain adalah:
انّما
الا عما ل بالنّيات
Sesungguhnya seluruh amal itu
bergantung pada niatnya (H.R. Bukhari dan Muslim).[44]
Dari contoh hadis gharib
tersebut diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar, dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah bin Dinar sajayang meriwayatkannya. Abdullah bin Dinar adalah seorang tabi’inyang hafidz, kuat ingatannya, dan dapat dipercaya.
b. Gharib Nisby
Gharib nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat- sifat atau keadaan
tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan
tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain:
a. sifat keadilan dan kt-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi.
b. kota atau tempat tinggal tertentu.
c.
meriwayatkannya dari orang
tertentu.
Apabila penyendirian itu ditinjau
dari segi letaknya apakah terletak di sanad atau matan, hadis gharib
terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Gharib pada sanad dan matan.
b. Gharib pada sanadnya saja.
c. Gharib pada sebagian matannya,
Cara untuk menetapkan ke-gharib-an hadis
Untuk menetapkan suatu hadis itu gharib,
hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab Jami٠dan kitab Musnad, apakah
hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan
lain yang menjadi syahid. Cara tersebut dinamakan i’tibar.
Menurut istilah, ilmu hadis mutabi’
adalah hadis yang mengikuti periwayatan rawi lain dari gurunya (yang terdekat),
atau gurunya guru (yang terdekat itu).
Mutabi’ ada dua macam, yaitu sebagai
berikut.
(1). Mutabi’ tam, yaitu
bila periwayatan mutabi’ itu mengikutiperiwayatan guru (mutaba’)
dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
(2). Mutabi’ qashir, yaitu
bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’)
yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sekali.
Adapun syahid adalahMeriwayatkan
sebuah hadis lain sesuai dengan maknanya.
Hadis syahid ada dua
macam, yaitu:
(1).Syahid bi Al-Lafzhi, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan
oleh sahabat yang lain sesuai redaksi dan maknanya dengan hadis fard-nya.
(2).Syahid bi Al-Ma’na, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan
oleh sahabat lain itu, hanya sesuai dengan maknanya.
Kedudukan Hadis Ahad dan Pendapat
Ulama tentang Hadis Ahad
Para ahli hadis berbeda pendapat
tentang kedudukan hadis ahad.
Pendapat tersebut antara lain:
1. Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani, sebagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu
Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2. Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberi faedah dhan.
Oleh karena itu, hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
3. Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala
bidang.
4. Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadis ahad hanya
wajibdiamalkan dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat,
dan
hudud, namun tidak digunakan dalam urusan aga’id (akidah).
5. Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan
suatu hukum dari hukum-hukum Al-Quran.
6. Ahlu Zhahir (pengikut Daud Ibnu ‘Ali Al-Zhahiri) tidak membolehkan men-takhshis-kan
umum ayat-ayat Al-Quran dengan hadis ahad.[45]
Hadis gharib juga dinamakan dengan hadis fard. baik menurut
bahasa maupun menurut istilah, perbedaan antara keduanya hanya ditinjau dari
segi pemakaiannya. Sebutan hadis gharib mutlak, sedangkan sebutan hadis gharib
lebih banyak dipakai untuk hadis gharib nisbi atau fard nisbi.hadisgharib
ini ada yang sahih,hasan, dan dhaif, tergantung
pada kesesuaiannya dengan kriteria sahih, hasan atau dhaif-nya.[46]
Kitab-Kitab
Yang Memuat Banyak Hadits Gharib
Yaitu kitab-kitab yang di
dalamnya terdapat banyak hadits gharib:
a.
Musnad aJ-Bazzar.
b.
Mu’jam al-Ausath-nya at-Thabrani.
Kitab-Kitab
Hadits Gharib Yang Populer :
a.
Gharaib Malik, karya
ad-Daruquthni.
b.
al-Afraad, karya ad-Daruquthni.
- as-Sunan allati Tafarrada bikulii Sunnatin minha Ahlu Baldatun, karya Abu Daud as-Sijistani.[47]
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah ini dapat
kami simpulkan bahwa hadis Ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak
sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir,
dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir.
Klasifikasi Hadis Ahad terbagi menjadi Masyhur
dan Ghairu Masyhur. Hadis Masyhur adalah sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Ada yang Masyhur di
kalangan ini ahli hadis, Masyhur di kalangan ulama ahli hadis, Masyhur
di kalangan ahli ushul fiqh, Masyhur di kalangan ahli sufi, Masyur di
kalangan ulama-ulama Arab, dan Masyhur
dikalangan masyarakat awam, dan masih banyak lagi hadis yang kemasyhurannya di kalangan tertentu, sesuai dengan
disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing
Hadis
ghairu masyhur terbagi menjadi hadis ‘Aziz dan hadis gharib dan hadis gharib terbagi lagi menjadi
gharib muthlaq dan gharib Nisby.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maliki, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
Anwar , Moh., Ilmu Musthalah Hadits, Surabaya,
Al-Ikhlas, 1981.
Ash Shiddieqy, TM Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah
Hadis, Jakarta, Bulan Bintang, 1987.
B. Smeer, Zeid,
Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang, UIN-Malang Press, 2008.
Fatchurrahman, Ikhtisar
Musthalah Hadits, Bandung, Al-Ma’arif, 1974.
Ichwan , Mohammad Nor, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Semarang, Rasail Media Group Semrang, 2013.
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, Bogor, Ghalia
Indonesia, 2010.
Solahuddin , M. Agus dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2008.
Thahan , Mahmud, Ilmu Hadits Praktis, Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2005.
Suparta , Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
[1]Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalah Hadits (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), h. 86.
[2]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 91.
[3]Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002) Cet. Ke-III, h. 108.
[4]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 93.
[5]
Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis
(Semarang: Rasail Media Group Semrang,
2013), h. 182-183.
[6]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 109.
[7]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 93.
[8]Mohammad Nor Ichwan, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis..., h. 185.
[9]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 93.
[10]M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), h. 134.
[11]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (Malang:
UIN-Malang Press, 2008), h.43.
[12]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 94.
[13]Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), h. 22.
[14]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 111.
[15]TM Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1987) Cet. Ke- 7, h. 68.
[16]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 94.
[17]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 111.
[18]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 95.
[19]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), h. 85.
[20]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 95.
[21]M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis..., h. 134.
[22]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 96.
[23]Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,
2005) h. 27.
[24]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 96.
[25]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis.., h. 87.
[26]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 114.
[27]M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis..., h. 135.
[28]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 97.
[29]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 115.
[30]Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis..., h. 27.
[31]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis.., h. 89.
[32]Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis..., h. 28.
[33]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 116.
[34]Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits..., h. 24.
[35]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis.., h. 84.
[36]Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis..., h. 45.
[37]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 117.
[38]Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits..., h. 25.
[39]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis.., h. 79.
[40]M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis..., h. 137.
[41]Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits..., h. 25.
[42]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 99.
[43]Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., h. 119.
[44]Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis..., h. 32.
[45]M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis..., h. 139-141.
[46]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits..., h. 103.
[47]Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis..., h. 34.
0 komentar:
Posting Komentar