Pendahuluan
Dalam uraian ini menjelaskan kami akan
berusaha menjelaskan pendekatan fenomenologi oleh sarjana barat terhadap
Al-Qur’an. Petunjuk mengidentifikasi sifat fenomenologi dalam tulisan mereka
adalah :
-
Pengakuan sendiri akan metode fenomenologi yang
digunakan dalam tulisannya atau keterangan dari penulis lainnya.
-
Tidak mencari asal usul Al-Qur’an dari kitab
suci sebelumnya. Seperti halnya dalam studi agama secara umum, fenomenologi
agama tidak mencari “asal usul” atau “sumber” agama, sebagaimana dikatakan
G.Van Der Leeuw :
“...the phenomenology of religion has no place for the
question of the origin og religion”.(... fenomenologi agama tidak mempunyai
tempat untuk mempersoalkan tentang asal usul agama.)
-
Membahas sesuai dengan pandangan umat islam,
khususnya mengenai esensi sebagai firman tuhan. Kriteria ini didasarkan pada
pendapat W.B. Kristensen dan James E. Royster, bahwa memahami fenomena
keagamaan umat islam sesuai dengan yang dipahami umat islam.
Pembahasan
A. Pengertian fenomenologi
Fenomenologi di ambil dari bahasa Yunani, Phainestai, artinya
“menunjukan dan menampakkan dirinya sendiri”. Sebelum Edmund Husserl
(1859-1939), istilah tersebut digunakan beberapa filosof. Immanuel Kant
menggunakan kata fenomena untk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran
sedangkan nomina adalah realitas (das sein) yang berada diluar kesadaran
pengamat. Menurut Kant, manusia hanya mengenal yang nampak dalam kesadaran,
bukan nomina yaitu realitas diluar (berupa benda-benda atau hal yang menjadi
objek kesadaran kita) yang kita kenal.[1]
Hurssel menggunakan istilah fenomonologis untuk menunjukkan apa yang tampak
dalam kesadaran kita dengan membiarkan termanifestasi apa adanya tanpa
memasukkan buah pikiran kita kedalamnya, atau menurut Husserl: “Zuruck zuden
zuden sachen selb” (kembalilah kepada realitas itu sendiri)[2]. Berbeda
dengan Kant, Husserl menyatakan apa yang disebut dengan fenomena adalah
realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas.
Menurut G. Van der Leeuw fenomenologi mencari atau
mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada 3 prinsip yang
tercakup didalamnya :
1. Sesuatu itu berwujud.
2. Sesuatu itu tampak.
3. Karena sesuatu itu tampak,
maka ia merupakan fenomena.[3]
B. Pendekatan fenomenlogi
Dalam menjelakan pandangan orientalis yang
menggunakan pendekatan Fenomenologi kami menjelaskan beberapa hal.
1. Kenabian Muhammad
Beberapa pandangan Islamolog barat yang
dikemukakan disini adalah Charles J. Adams. Karya Adams tentang Al-Qur’an
termuat dalam The Encyclopedia of religion. Karya Adams tersebut dikelompokkan
menggunakan pendekatan fenomenologi sesuai dengan kcendrungan ensiklopedi
tersebut.
Dalam penjelasannya tentang kenabian Muhammad,
Adams mendeskripsikan tentang panggilan kenabian Muhammad. Sebelum diangkat
menjadi rasul, Muhammad melakukan tahannus di Gua Hira untuk memencilkan diri
dari pergaulan sosial, melakukan meditasi untuk mensucikan jiwanya. Adams
mengutip pandangan orientalis lainnya bahwa praktek yang dilakukan oleh Muhammad
dipengaruhi oleh ide-ide Yahudi dan Kristen, seperti yang dilakukan oleh
rahib-rahib, dan petapa-petapa kristen di arab. Akan tetapi Adams menolak
anggapan orientalis, bahwa Nabi Muhammad terkena epilepsi dan penyakit
histeria. Ia menyatakan bahwa :
( Pandangan semacam ini tidak akan lama bertahan. Apa
yang diketahui tentang kepribadian Muhammad, ketulusannya, cita-citanya, dan
akibat [dari misi yang dibawakan] dapat mengubah orang-orang yang mendengarkan
dan mengikutinya. Menurut pandangan islam, cerita-cerita itu menyatakan sifat
khas dan luar biasa yang dialami Muhammad pada waktu menerima wahyu. Dia dalam
keadaan tidak normal [tidak seperti kondisi biasa], melupakan apa yang ada
disekelilingnya, nampaknya dikuasai oleh kekuatan dari luar. Keadaan ini
dipandang sebagai bukti dari apa yang dia sampaikan sungguh merupakan wahyu
dari tuhannya).[4]
Dari Muslim sendiri pun banya yang membantah
Nabi terkena penyakit ayan atau histeria. Pada saat Nabi Muhammad menerima
wahyu, pada diri beliau tidak tampak penyakit itu ada pada beliau ketika
menerima wahyu. Jika terdapat kekejangan pada diri beliau ketika menerima
wahyu, hal itupun hanya terbatas pada wajah beliau, beliau tidak pernah
berteriak, mengeluh, atau merintih ketika menerima wahyu. Kesadaran beliau masih
utuh dan ingatan beliau masih sempurna.[5]
Tentang hakikat kerasulan Muhammad, Adams
mengemukakan beberapa istilah yang menunjukan kersulannya. Rasul (messenger),
yaitu orang yang diutus, nabi (orang yang menyampaikan berita), basir
(yang memberi berita baik), nazir (orang yang menyampaikan berita
ancaman) dan muzakkir (pemberi ingat). Menurut Adams semua istilah itu
menunjukkan kemanusiaan Muhammad secara lengkap yang posisinya lebih rendah
daripada kekuatan yang besar yang kepadaNya dialamatkan perbuatannya.[6]
(Pentingnya Muhammad bukan karena pribadinya,
bukan pula karena sifat-sifat dan kemampuannya yang khusus yang ia telah
miliki, agaknya hal tersebut disebabkan semata-mata karena terpilihnya
(al-Mustafa) oleh pencipta yang berkuasa, Tuhan alam semesta. Dua istilah itu
secara khusus yaitu rasul dan nabi juga mengikatnya dalam deretan rasul dan
nabi-nabi yang pernah muncul pada masa lalu. Dengan demikian memperkuat kembali
ide akan kebenaran Tuhan yang tunggal dan abadi dari waktu ke waktu telah
diutus atas kemurahan Tuhan untuk memberi manfaat pada umat manusia).
Penjelasan Adams tersebut cenderung sebagai
antitesis terhadap pendekatan historisisme, karena dalam pendekatan
historisisme, Pribadi Nabi Muhammad satu-satunya yang memproduksi ajaran
(termasuk Al-Qur’an). Penjelasan Adams tersebut diatas mengabaikan samasekali
unsur pribadi Nabi Muhammad dan sifat-sifatnya. Dalam pandangan islam, pribadi
dan sifat-sifat Nabi Muhammad yang berkaitan dengan misinya tetap dipandang
penting untuk diteladani.
Roest Crollius dalam bukunya : Thus were They
Hearing : The World in the Experience of Revalation in Qur’an and Hindu
Scriptures, juga menggunakan pendekatan fenomenologis. Menurut Roest
Crollius membahas tentang Nabi Muhammad dan firman Tuhan hanya bisa dilakukan
dengan pendekatan fanomenologis.
Tentang kenabian Muhammad, Roest crollius
merujuk pada sejumlah ayat. Nabi Muhammad pada mulanya tidak pernah
mengharapkan akan diberi kitab suci (28 : 86), bahkan sebelumnya tidak mengenal
apa yang disebul al-kitab dan tidak mengenal tentang iman (42 : 52) Nabi
Muhammad tidak dapat membaca dan menulis kitab suci (29 : 48). Ayat tersebut
menurut Roest Crollius bertujuan untuk memperkuat kerasulan Muhammad, bahwa ia
mendapat wahyu dari Tuhan yang sebelumnya tidak ia kenal.
Wilfred Cantwell Smith juga membicarakan
kenabian Muhammad dengan pendekatan fenomenlogi. Smith menggunakan pendekatan
fenomenologi karena ia menempatkan islam pada proporsinya. Dalam salah satu
ungkapannya yang dikutip Kitagaw mengatakan : “... to an outsider islam is a
religion of the Moslim, but to the
Moslim, Islam is the religion of truth”. (...bagi orang luar Islam, Islam
adalah agam Orang Islam, tetapi bagi orang Islam, Islam adalah agama
kebenaran). Akan tetapi dalam pandangannya tentang kenabian Muhammad dan
Al-Qur’an, Smith masih mencampurkan
dengan prespektif Kristen.[7]
Dalam
pembicaraan tentang kenabian Muhammad, Smith mengemukakan tiga point, yaitu :
1. Muhammad adalah nabi dan rasul dalm fungsinya, bukan pada statusnya. Tuhan
menurut Smith selalu berbicara kepada umat manusia dari waktu ke waktu dalam
berbagai masyarakat manusia untuk menyatakan firmanNya. Tuhan bukan Tuhan yang
pasif, Dia selalu berkata pada manusia menyangkut hukum-hukum moral. Sia selalu
berkata kepada manusia menyangkut hukum-hukum moral. Dia menciptakan manusia
untuk menciptakan hukum moral itu.
2. Tuhan menyampaikan hukum-hukum moral pada manusia. Dia tidak membiarkan
manusia berada dalam kegelapan dalam menemukan dirinya untuk dirinya melalui
usahanya sendiri. Tuhan aktif berbicara melalui mulut Nabi dan para rasulNya
mulai dari Nabi Adam. Disini letak kesamaan agama Yahudi, Kristen, dan Islam,
bahwa Tuhan mengambil inisiatif menyampaikan wahyuNya kepada manusia dan
manusia pun memberi respon dalam usahanya mencari Tuhan.
3. Berkaitan dengan hal pertama, Smith melihat kenabian Muhammad bukan pada
statusnya melainkan pada fungsinya. Dia melakukan perbandingan dengan ajaran
Kristen. Yang menjadi sentrum dalam agama Islam adalah firman Tuhan dalam
bentuk kata-kata, bukan person (seperti ajaran Kristen tentang firman Tuhan
yang khusus adalah diri Yesus sendiri). Karena itu, pengakuan Islam mengenai
nabi mereka bukan statement mengenai pribadi Nabi Muhammad tetapi tentang
Al-Qur’an yang dibawa Nabi Muhammad. Smith dalam hal ini menyetarakan fungsi
Nabi Muhammad dengan Paulus dalam agama Kristen.
Marcel A. Boisard, seorang ahli hukum internasional dari
prancis dalam bukunya yag terkenal : L’Humanisme De L’Islam (paris,
1979) setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H.M. Rasyidi dengan
judul Humanisme Dalam Islam. Satu dari bagian karyanya membahas tentang
“Nabi Terakhir”. Boisard dikelompokkan menggunakan pendekatan fenomenologi,
secara implisit tergambar dalam ungkapannya :
...apa yang di yakini umat Islam sendirilah yang lebih
penting daripada apa yang dikatakan oleh kaum Orientalis Barat mengenai dogma
Islam.
Menurut boisord. Muhammad adalah sekedar penyambung lidah
dari wahyu abadi dan tidak mempunyai kedudukan tertinggi sebagai yang
digambarkan umat Kristen tentang Yesus.
Dalam sejarah, Muhammad bukan hanya seorang rasul tetapi
juga pendiri suatu kekuatan politik yang merubah jalannya sejarah dan
mempengaruhi secara besar-besaran perkembangan dan penyiaran Islam sesudah ia
wafat. Muhammad adalah orang yang luar biasa dan nabi yang sesungguhnya.
Muhammad tidak membawa tugas untuk menghapus wahyu-wahyu sebelumnya, akan
tetapi untuk memberikan konfirmasi, selain untuk menolak perubahan-perubahan
yang terjadi dalam kitab sebelumnya.[8]
2. Pandangan Tentang Wahyu
“bacalah!”
“aku tak dapat membaca”.
Sekiranya kita mengambil persoalan ini dari
lahinya saja, maka kita akan mendapati bahwa dialog ini sejak semula telah
menemukan posisi relatif kepada diri Muhammad dalam percakapan Al-Qur’an itu,
dimana diri Muhammad sejak wahyu pertama telah ditempatkan pada kedudukan orang
yang kedua tunggal (orang yang diajak berbicara) dan selanjutnya wahyu tu turun
kepada orang kedua, yang akan disampaikan oleh perantaraan atas nama zat yang
bicara (dalam bentuk kata ganti orang yang pertama = Aku, Kami), dimana disini dipakai
secara langsung bahasa Ilahi, untuk memerintahkan seorang ummi agar ia membaca,
padahal Si ummi ini tidak dapat membaca, oleh karena itu ia bingung dan
ketakutan[9].
Pengalaman dan penderitaan Nabi ketika menerima wahyu dengan berbagai gejala
yang telah diinformasikan sahabat ini yang dijadikan alasan dan argumen kaum
orientalis untuk menuduh Nabi terkena penyakit ayan atau histeria.[10]
Dalam fenomenologi terdapat beberapa
karakteristik atau faktor wahyu, yaitu :
a. Dari segi asalnya : Dari Tuhan, nenek moyang, kekuatan mana’.
b. Dari instrumen atau sarananya : tanda-tanda yang suci di alam, hewan,
tempat suci, mimpi, ekstansi, visi, dan lain-lain.
c. Isi dan tujuannya : Pendidikan, bantuan, hukuman, perintah Tuhan dan
lain-lain.
d. Penerima : Dukun, tukang sihir, tukang tenung, nabi dan lain-lain.
e. Efek dan akibat : menjadi pelajaran dan menjadi misi Tuhan.
Geo Widengren mengemukakan, bahwa Muhammad adalah seorang
rasul Tuhan dalam dalam pandangan Islam, yang menerima wahyu melalui perantara
jibril. Menurut Widengren, ada dua tipe penerimaan wahyu oleh rasul-rasul tuhan
:
(1) Rasul menerima wahyu dengan mi’raj ke langit, disana ia memperoleh kitab
untuk disampaikan kepada manusia.
(2) Rasul sebagai manusia sempurna, kepadanya diberikan wahyu diatas bumi dan
didiktekan kepadanya. Wahyu yang seperti ini yang diterima oleh Nabi Muhammad.
Meskipun juga Widengren menyatakan Nabi Muhammad mi’raj ke langit.
Roest Crollius mengidentifilkasi kewahyuan
Al-Qur’an yang di dasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an. Dia menggunakan dua
kreteria yaitu : The word or Address dan the word of Order. Dalam
pembahasannya tentang The wor of Address (perkataan/Firman yang
disampaikan), dia menidentifikasi ayat Al-Qur’an yang terdapat kata qΓ£la dan
qawl. Miasalnya, Tuhan berbicara kepada malaikat agar menyatakan padanya
rencana penciptaan manusia sebagai khalifah di permukaan bumi (2 : 30, 33, 34;
7 :12; 15 : 28; 17 : 61 dan beberapa lainnya). Ketika Iblis membangkang
perintah Tuhan, Tuhan menyatakan padanya agar dia dihukum ( 7 : 12; 15 ; 32; 17
; 63 dan 38 ; 67). Makna qΓ£la dalam ayat tersebut, menurut Roest
Crollius berarti tuhan berbicara agar dapat diketahui kehendakNya, rencanaNya
sebagai Pencipta, sebagai Pengatur alam dan sebagai Hakim. Dalam ayat tersebut,
Tuhan menampakkan diri sebagai Yang Agung.
Tentang the Word of Order ,
Roest Crollius mengidentifikasi sejumlah kata ‘amara dan perubahannya;
oleh Al-Qur’an sering juga dipakai dalam konteks wahyu, misalanya : Perintah
kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih puteranya Ismail dengan kata Ψ§ΩΨΉΩ Ω
Ψ§ ΨͺΨ€ Ω
Ψ± (ucapan Ismail yang memahami
bahwa rencana penyembelihan dirinya oleh ayahnya adalah permintaan tuhan ; 37 :
102). Perintah kepada Nabi Luth dan keluarganya untuk melakukan perjalanan
malam dan perintah kepada Nabi Muhammad untuk mengesakan Tuhan (27 : 91; 13 :
36; 39 : 11 dan 11 :81). Kata-kata perintah tersebut menurut Roes Crollius
mengandung arti pewahyuan Tuhan kepada nabi-nabiNya untuk menjalankan suatu
perintah.
3. Eksistensi Al-Qur’an
Sarjana Barat yang akan dikemukakan
pendapatnya disini, adalah Anthony H. Jhons. Dia adalah Guru Besar dan Ketua
Pusat Studi Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia di Canberra.
Penelitiannya difokuskan pada studi Islam di Indonesia dan Tafsir Al-Qur’an.
Dalam artikelnya, “The Qur’an on the Qur’an”,
ia menjelaskan secara fenomenologis tentang Al-Qur’an yang diambil dari
keterangan Al-Qur’an itu sendiri, beliau mengatakan :
(Al-Qur’an bagi umat Islam , adalah firman Tuhan.
Al-Qur’an memiliki karakteristik yang khas sebagaimana yang dipahami generasi
sejak Nabi Muhammad sampai sekarang...)
Menurut Jhons, surat yang paling mencolok yang
menjelaskan kewahyuan Al-Qur’an adalah surah Al-Qadr 1-5. Karena dalam ayat itu
oleh umat Islam memakai makna bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Arasy Tuhan
kelangit dunia.
Jhons lebih lanjut menjelaskan, bahwa
Al-Qur’an mempunyai kedalaman makna yang tidak dapat dijangkau. Al-Qur’an tidak
dapat diterjemahkan kedalam bahasa lain, sebab terjemahan hanya mengungkapkan
satu segiarti kata dan mengabaikan segi lain. Disatu sisi bisa jelas tetapi
segi lain kabur.dengan demikian, sesorang tidak dapat memberikan pemahaman yang
sama dengan pemahaman orang lain.[11]
Al-Qur’an bukan hanya petunjuk bagi umat
Islam, pernyataan tersebut tidaklah tepat. Pernyataan seperti ini jelas
mereduksi isi kandungan Al-Qur’an itu sendiri yang berupa simbol fenomenologis
yang begitu kompleks, sistematik dan lengkap. Al-Qur’an semestinya dipandang
suatu Kitab yang disamping berisi petunjuk bagi umat manusia, juga sekaligus
cermin (gambaran) kehidupa dan jati diri umat manusia di dunia ini.[12]
William Graham juga membahas Al-Qur’an dengan
pendekatan fenomenologi. Graham menganalisis keunikan karakteristik kitab suci
Islam dari segi sifat oral Al-Qur’an dan fungsinya sebagai firman tuhan yang
“diturunkan” bukan dalam arti firman tuhan yang “tertulis” dan “dibukukan”.
Dalam analisisnya, Graham secara khusus memaknakan Al-Qur’an sebagai firman
Tuhan yang dibaca (secara lisan). Makna tersebut lebih primer daripada
Al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang tertulis (kitab suci).
Graham mengemukakan empat karakteristik khas Al-Qur’an :
(1) Bahwa Al-Qur’an sendiri mengakui adanya kitab suci sebelumnya dan pengakuan
Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang final dan lengkap, maka Al-Qur’an disebut
Umm al-Kitab.
(2) Dari ketiga agama : Yahudi, kristen, dan Islam, kitab sucinya dicirikan
sebagai pusat atau sumber peribadatan, keshalehan dan ketaatan. Tetapi
Al-Qur’an lebih jelas lagi menjadi pusat transenden keimanan Muslim. Kalau
dalam agama Yahudi, kehadiran Tuhan termanifestasikan dalam hukum taurat dan
dalam agama Kristen terdapat dalam pribadi Kristus, Maka dalam Islam Al-Qur’an
sebagai sarana langsung dalam perjumpaan dengan Tuhan.
(3) Konsep mengenai kitab suci yang dikoleksi dalam satu kitab merupakan ciri
khas kitab suci Yahudi dan Kristen. Sedangkan dalam Islam, Al-Qur’an lebih
merupakan Devine Word.
(4) “... the primacy and most authoritative from of the Qur’anic text, unlike
the Biblical, is oral not written”. (... bentuk primer dan paling otoritatif
dari teks Al-Qur’an, tidak seperti Bibel,ia bersifat oral, bukan tertulis).
Dalam ciri yang keempat ini, Graham memandang
Al-Qur’an sebagai kata/firman yang
dibaca yang merupakan makna primer. Sedangkan sebagai kitab tertulis merupakan
makna sekunder. Meskipun dia mengakui Al-Qur’an ditulis masa Nabi, tetapi sifat
transmisi oral serta tradisi menghafal Al-Qur’an dipandang lebih utama sebagai
ciri utama Al-Qur’an.[13]
Kesimpulan
Fenomenologi di ambil dari bahasa Yunani, Phainestai, artinya
“menunjukan dan menampakkan dirinya sendiri”. Hurssel menggunakan istilah
fenomonologis untuk menunjukkan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan
membiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan buah pikiran kita
kedalamnya, atau menurut Husserl: “Zuruck zuden zuden sachen selb” (kembalilah
kepada realitas itu sendiri).
Menurut G. Van der Leeuw fenomenologi mencari atau mengamati fenomena
sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada 3 prinsip yang tercakup didalamnya :
1. Sesuatu itu berwujud.
2. Sesuatu itu tampak.
3. Karena sesuatu itu tampak,
maka ia merupakan fenomena
Mengenai kenabian Muhammad, Adams menolak anggapan Orientalis yang
mengatakan bahwa Nabi Muhammad terkena epilepsi atau penyakit histeria.
Sedangkan mengenai Kerasulan Nabi Muhammad, Adams mengemukakan beberapa istilah yang
menunjukan kersulannya. Rasul (messenger), yaitu orang yang diutus, nabi
(orang yang menyampaikan berita), basir (yang memberi berita baik), nazir
(orang yang menyampaikan berita ancaman) dan muzakkir (pemberi ingat).
Menurut Adams semua istilah itu menunjukkan kemanusiaan Muhammad secara lengkap
yang posisinya lebih rendah daripada kekuatan yang besar yang kepadaNya
dialamatkan perbuatannya.
Geo Widenger mengemukakan, bahwa Nabi Muhammad
adalah seorang rasul tuhan dalam pandangan Islam, yang menerima wahyu melalui perantaraan
Jibril. Sarjana barat yang mengemukakan mengenai esksistensinya Al-Qur’an
diantaranya Anthony H. Jhons berkata dalam artikelnya : “Al-Qur’an bagi orang
Islam adalah firman tuhan. Al-Qur’an memiliki karakteristik yang khas
sebagaimana yang dipahami generasi sejak Nabi Muhammad sampai sekarang...”
[1] Moh Natsir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat (Sebuah
Studi Evaluatif) (Semarang: Dina Utama Semarang, 1997), h. 70-71.
[5] A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verivikasi Tentang Otentisitas Al-Qur’an
(Banjarmasin: Antasari Press, 2006), h.
65.
[10]
A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verivikasi Tentang
Otentisitas Al-Qur’an..., h. 63.
[11]
Moh Natsir Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di Mata
Barat..., h.113-115.
[12]
Anharudin, dkk, Fenomenologi
Al-Qur’an (Bandung: Alma’arif, 1997), h. 183.
0 komentar:
Posting Komentar