PENDAHULUAN
“Sedikit-demi sedikit lama-lama menjadi
bukit.” Demikianlah peribahasa yang sering diajarkan oleh para pendidik kepada
peserta didiknya, terutama murid-murid SD ketika diberi pengarahan oleh gurunya
dalam menabung uang. Dalam
peribahasa tersebut tergambarkan sebuah solusi praktis yang biasa diupayakan
seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Ia tidak perlu menyelesaikannya
secara tuntas dalam satu waktu, melainkan ia bisa mencicil tugasnya
sedikit-demi sedikit tapi terus dilakukan secara rutin. Hal ini lebih ringan
ketimbang melakukannya sekaligus tapi dengan hasil yang kurang maksimal.
Dalam makalah
ini, saya berusaha membahas hadis tentang amalan yang sedikit tetapi dilakukan
terus menerus(kontinyu). Semoga makalah ini bisa bermanfaat, khususnya bagi
saya dan umumnya buat pembaca yang lain.
PEMBAHASAN
Beramal sedikit demi sedikit tetapi terus menerus boleh
diibaratkan seperti menanam benih pohon di mana pohon itu adalah jiwa kita
sendiri. Kemudian kita meletakkan baja dan menyiraminya dengan air di mana baja
dan airnya adalah amal-amal ibadah dan keimanan yang tulus.
Melakukan amal ibadah dan amal soleh secara terus menerus,
setahap demi setahap, ibarat membangun benteng diri yang kukuh. Ia umpama
mengurus batu-bata satu persatu secara terus menerus hingga akhirnya berdirilah
sebuah bangunan yang megah. Inilah amal yang dicintai Allah, iaitu melakukan
kebaikan dan ibadah tanpa henti meskipun hanya sedikit.
Sedikit
dalam beramal yang dilakukan terus-menerus juga sama dengan memupuk dan
menyiram pohon iman sehingga ia akan tetap tumbuh segar dan tidak layu.
Hasilnya, jiwa terus terangkat menuju darjat yang lebih baik serta menjejaki
tangga-tangga ke arah kesempurnaan.
Sabda Nabi Muhammad SAW.
عن عائشة بنت أبي بكر الصديق –رضي
الله عنهما- قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أَحَبُّالْعَمَلِ
إِلَى اللَّهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَإِنْ قَلَ (متفق عليه , و اللفظ لمسلم)
Dari ‘Aisyah
binti Abi Bakr Ash-shiddiq –radhiallahu anhuma- berkata : Rasulullah shalallahu
alaihi wa sallam bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah
amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit.” (HR Bukhari
dan Muslim, dengan lafazh Muslim).
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Jama'ah dari Abu Hurairah; al-Bukhari meriwayatkannya
dengan lafal "enam puluh macam lebih"; Muslim meriwayatkannya dengan
lafal "tujuh puluh macam lebih" dan juga dengan lafal "enam
puluh macam lebih"; Tirmidzi meriwayatkannya dengan "tujuh puluh
macam lebih" dan begitu pula dengan an-Nasa'i. semuanya terdapat dalam
kitab al-Iman; sedangkan Abu Dawud meriwayatkannya dalam as-Sunnah; dan Ibn
Majah dalam al-Muqaddimah.[1]
Sabda Nabi
shalallahu alaihi wa sallam yang cukup singkat ini namun padat mengandung
faedah yang sangat besar bahkan menjadi prinsip penting dalam ajaran Islam yang
bisa direalisasikan pada aspek-aspek lainnya yaitu kaedah : Sedikit tapi rutin
lebih baik daripada banyak tapi tidak diteruskan.
Dalam hadits
yang mulia ini Nabi shalallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa amalan
yang dilakukan secara rutin walaupun sedikit lebih Allah cintai daripada amalan
besar yang dilakukan kemudian ditinggalkan begitu saja. Sebagai contoh:
Seseorang melakukan qiyamul lail hanya 2 rakaat atau 4 rakaat dengan membaca
surat-surat pendek, tapi ia rutin melakukannya secara kontinyu hampir setiap
malam maka yang ia lakukan ini lebih baik daripada seseorang yang melakukan
qiyamul lail dengan rakaat dan bacaan yang panjang kemudian ia meninggalkannya.
Diantara contoh yang lainnya seperti membaca wirid sebagai amalan yang tetap
dilazimkan membacanya tiap hari. Apabila terlepas, mudah pula untuk
mengqadha’nya, sehingga kita terbiasa dengan giat melakukannya, tidak
meninggalkannya kecuali ada udzur saja.[2]
Hal ini dikarenakan amalan yang ia lakukan secara rutin akan
membuatnya senantiasa menjaga ketaatan dan taqarrub kepada Allah Ta’ala
walaupun ringan. Ibnu Al-’Arabi berkata : Maksudnya bahwa amalan yang paling
banyak pahalanya adalah yang rutin dilakukan terus-menerus walaupun sedikit.
Imam Nawawi
menjelaskan: Karena dengan merutinkan amalan yang sedikit akan membuatnya
selalu menjaga ketaatan dengan mengingat Allah, merasa diawasi, ikhlas, dan
mendekatkan diri kepada-Nya. Berbeda
halnya dengan amalan yang banyak dan berat (tapi tidak rutin dilakukan). Sehingga
sesuatu yang sedikit tapi terus-menerus itu akan berkembang dan mengungguli
berlipat-lipat ganda daripada amalan yang banyak tapi terputus (tidak
diteruskan).
Ibnul Jauzi juga berkata: Sesungguhnya Allah lebih mencintai
amalan yang dilakukan secara rutin disebabkan 2 hal:
- Bahwa orang yang meninggalkan suatu amalan setelah ia membiasakannya bagaikan orang yang berpaling setelah ia sampai tujuan, maka ia seolah-olah berpaling dari amalan tersebut, maka dari itu ada ancaman bagi orang yang hafal satu ayat kemudian melupakannya, walaupun sebelum ia hapal belum wajib baginya menjaga hapalan tersebut.
2. Bahwa merutinkan suatu kebaikan merupakan bentuk
pengabdian yang terus-menerus, sehingga orang yang mendiami suatu pintu dalam
satu waktu setiap harinya tidak sama dengan orang yang mendiaminya seharian
penuh tapi kemudian ia tinggalkan.
Hadits
yang disebutkan di atas konteks lengkapnya adalah sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها –
قَالَتْ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الشَّهْرِ مِنَ
السَّنَةِ
أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ وَكَانَ
يَقُولُ : (( خُذُوا مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَنْ
يَمَلَّ حَتَّى تَمَلُّوا))
)).وَكَانَ يَقُولُ : (( أَحَبُّ
الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَإِنْ قَلَّ
Dari ‘Aisyah
–radhiallahu ‘anha- berkata : Tidak pernah Rasulullah Saw. berpuasa lebih
banyak pada suatu bulan selain bulan sya’ban, dan beliau bersabda :
“Kerjakanlah amalan sesuai apa yang kalian mampu karena sesungguhnya Allah
tidak akan pernah bosan sampai kalian bosan.” Beliau juga bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah
adalah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit.”
Dalam hadits ini Nabi shalallahu alaihi wa sallam menyuruh
kita agar tidak beribadah kecuali dengan apa yang kita mampu. Beliau melarang
kita untuk memaksakan diri melakukan amalan yang tidak kita mampu atau
melakukan ibadah secara berlebihan karena dikhawatirkan ibadah tersebut akan
terputus dan tidak terus dilakukan. Ibnu Hajar berkata : Karena orang yang
ekstrim dan berlebih-lebihan dalam beribadah sangat mudah terjatuh pada rasa
bosan dan jenuh. Berbeda halnya dengan orang yang melakukan ibadah secara
seimbang (tidak berlebihan) maka ia akan lebih mudah untuk terus melakukannya
secara rutin.[3]
Hal itu
dikarenakan ketika seseorang membiasakan suatu amalan ibadah maka tidak
sepantasnya ia melakukannya kemudian meninggalkannya begitu saja. Dan Allah telah mencela orang-orang
yang melakukan perbuatan tersebut dalam firmanNya:
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا
كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ
رِعَايَتِهَا
“dan mereka mengada-adakan kependetaan padahal kami tidak
mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya)
untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliharaan yang semestinya.” (QS. al-Hadid : 27)
Dalam ayat ini Allah mencela mereka karena meninggalkan
amalan yang telah mereka biasakan. Oleh karena itu ‘Abdullah bin Amr berkata
ketika telah lemah dan tak kuat melakukan amalan yang telah ia tekuni:
Seandainya saja dulu aku menerima rukhshah (keringanan) dari Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.
Berkata
Al-Mahlab: Diantara hak tubuh adalah menyisakan padanya kekuatan yang dengannya
amalannya akan bisa terus dilakukan karena apabila ia berlebih-lebihan maka
ibadahnya akan terputus dan ia akan futur.
Maka yang dimaksud dari hadits di atas adalah agar kita
mengambil amalan yang lebih mudah dan melakukannya secara seimbang dan tidak
mengambil amalan yang terlalu memberatkan kita. Imam Abu Dawud meriwayatkan
hadits dari ‘Aisyah –radhiallahu ‘anha-: Bahwasannya tidaklah Nabi shalallahu
alaihi wa sallam ketika diberi pilihan atas 2 perkara kecuali ia memilih
yang lebih ringan selama tidak termasuk dosa. Dan beliau shalallahu alaihi wa
sallam tidak pernah sedikitpun marah karena dirinya sendiri, kecuali
apabila ada larangan Allah yang dilanggar maka beliau marah karena Allah
Ta’ala.
Dan begitu pula pada perkara umatnya antara berlebih-lebihan
dan memperbanyak ibadahnya atau tengah-tengah dan seimbang serta tidak
berlebih-lebihan. Telah kita ketahui bahwa memperbanyak ibadah sampai
membuatnya bosan kemudian meninggalkannya bukanlah hal yang terpuji. Akan
tetapi sedikit yang dilakukan secara terus-menerus dan memungkinkannya untuk
melaksanakannya secara rutin maka itulah yang ada mashlahatnya. Hal tersebut
disebabkan sedikit tapi diiringi dengan konsisten lebih baik daripada banyak
tapi terputus. Orang yang bersungguh-sungguh pada satu waktu kemudian malas dan
bosan sehingga meninggalkan amalannya secara keseluruhan maka ini tidak baik.
Namun apabila ia melakukannya walupun sedikit tapi secara terus-menerus dan
konsisten seterusnya maka ini lebih utama. Misalnya seseorang berpuasa 3 hari
pada setiap bulan maka ini lebih utama daripada ia berpuasa selama 1 atau 2
bulan kemudian lelah dan meninggalkannya dan begitulah memperbanyak ibadah yang
sampai membuatnya bosan dan meninggalkannya adalah perkara tidak baik.
Ibnu Wadhdhah menjelaskan makna “Allah tidak akan bosan
sampai kalian bosan” pada hadits di atas: Maknanya adalah Allah tidak akan
bosan memberi pahala sampai kalian bosan melakukan amalan tersebut. Ad-Dawdi
menuturkan bahwa Ahmad bin Abi Sulaiman berkata: Maknanya yaitu Allah tidak
akan pernah bosan adapun kalian bisa saja bosan.
Dalam hadits di atas pula terkandung salah satu bentuk kasih
sayang Allah terhadap hamba-Nya dimana Allah tidaklah membebani hambanya
kecuali sesuai kemampuannya. Yang dituntut dari syariat ini adalah agar kita
senantiasa menjaga ketaatan walaupun dengan amalan yang kecil. Amalan yang
kecil jika dilakukan dengan penuh rasa ikhlash dan terus-menerus maka akan
seperti peribahasa “sedikit-demi sedikit lama-lama menjadi bukit”. Yang Allah
lihat dari hamba-Nya adalah kualitas amalannya bukan kuantitasnya sebagaimana
firman-Nya :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ
وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْغَفُورُ
Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.(Q.S. Al-Mulk:2).
Allah tidak berfirman “yang paling banyak amalannya”, karena
banyaknya amalan tanpa disertai keikhlashan dan tata cara yang benar tidak ada
manfaatnya. yang bermanfaat adalah amalan yang dilakukan dengan penuh
ikhlash hanya mengharap wajah Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah shalallahu
alaihi wa sallam serta dilakukan terus-menerus (walaupun sedikit).
PENUTUP
Namun bukan maksud dari hadits diatas agar kita tidak bersungguh-sungguh
dan tidak boleh memperbanyak amalan. Namun maksudnya adalah agar kita berusaha
semampu kita untuk beramal sebanyak-banyaknya secara rutin dan terus-menerus
dengan tetap memperhatikan kualitas amalan kita dan juga menjaga amalan lain
yang lebih utama. Jangan sampai berlebihan melakukan amalan yang sunnah sampai
amalan yang wajib terbengkalai. Misalnya berlebihan dalam qiyamul lail sampai
shalat shubuh berjamaahnya tertinggal karena terlalu lelah semalaman.Yang jadi
prinsip agama ini adalah sikap tengah-tengah dalam semua perkara, tidak
berlebih-lebihan dan tidak pula menyepelekan
Amalan secara istiqamah mengajar kita agar
sentiasa merasakan nikmat beramal kerana setiap amalan yang dilakukan dengan
hati dan jiwa, ianya akan mendatangkan rasa lazat dan nikmat. Amalan secara
istiqamah walaupun dilaksanakan secara sedikit, pada tiap-tiap hari adalah
lebih baik daripada melakukan amalan secara banyak-banyak tetapi pada masa yang
tertentu. Kita boleh membuat perbandingan dan melihat sendiri kesan dalam
amalan istiqamah pada tindakan alam umpamanya setitik air yang terus menerus
menitik di atas batu, lama kelamaan ia akan melekukan batu tersebut. Akan
tetapi, jika banjir yang berlaku hanya sekali sekala, tidak akan dapat memberi
bekas pada batu tersebut.
Semoga Allah senantiasa memberi kita
taufiq dan petunjuk untuk terus berpegang teguh dengan tali Allah, dan bisa
mengerjakan amalan dengan terus menerus serta
menjadikan kita di antara hamba-hambanya yang shalih. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qardhawy, Yusuf. Fiqh Prioritas
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Robbani Press,
Jakarta. 1996.
Haddad, Imam Habib Abdullah, Nasehat
Agama dan Wasiat Iman, CV. Toha Putera, Semarang. 1993.
Ustadz Ahmad Fahrisan, http://yayasanalhanif.or.id/konsisten-dalam-beramal-walaupun-sedikit/ (28 Mei 2014)
[2]
Imam Habib Abdullah Haddad, Nasehat Agama dan Wasiat
Iman (Semarang: CV. Toha Putera, 1993) h. 143.
[3]
Ustadz Ahmad Fahrisan, http://yayasanalhanif.or.id/konsisten-dalam-beramal-walaupun-sedikit/ (28 Mei 2014)
0 komentar:
Posting Komentar