BAB I
PENDAHULUAN
Jika
kita membicarakan tentang Ibn Jarir at-Thabari
berarti kita berbicara tentang “syaikh”-nya para ahli tafsir. Hal ini tidak
diragukan lagi. Ibn Jarir at-Thabari
mulanya adalah seorang sastrawan dalam bahasa Arab. Beliau memiliki ungkapan kata-kata sangat indah yang jarang digunakan oleh sastrawan lainnya. Ketika membaca tulisan beliau tidak dirasakan bahwa hal itu dibuat-buat, tetapi kita akan merasakan indahnya balaghah dan fasahah
bagaikan kelap-kelip air yang mengalir
atau bagaikan suara percikan air yang gemercik. Kedua maçam perkara tersebut
hanya ada pada mereka yang memiliki ungkapan yang sangat menawan.
Ibn Jarir at-Thabari
adalah seorang yang sangat ahli dalam fiqih. Beliau
adalah pendiri sebuah mazhab, tetapi sangat disa- yangkan tidak ada yang
mengumpulkan pendapat beliau untuk menjadikan sebuah mazhab. Adapun dalam makalah ini, kami akan berusaha
menjelaskan mengenai tafsir beliau yang berjudul Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan kita mengenai tafsir
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi At-Thabari.
Ibnu Jarir at-Thabari adalah
seorang ahli tafsir terkenal dan sejarawan terkemuka. Nama lengkap at-Thabari adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin Ghalib
at-Tabari (selanjutnya disebut dengan at-Thabari). Ia di
lahirkan di Amul ibu kota Tabaristan, kota ini
merupakan salah satu propinsi di Persia dan terletak di sebelah utara gunung
Alburz, selatan laut Qazwin. Pada tahun 224/225H atau sekitar tahun
839-840. dan meninggal 310 H.[1] At-Thabari hidup
pada masa Islam berada dalam kemajuan dan kesuksesan dalam bidang pemikiran.
Iklim seperti ini secara ilmiah mendorongnya mencintai ilmu semenjak kecil.
at-Thabari juga hidup dan berkembang dilingkungan
keluarga yang memberikan perhatian besar terhadap masalah pendidikan terutama
bidang keagamaan. Mengkaji dan menghafal al-Qur’an merupakan tradisi yang
selalu ditanamkan dengan subur pada anak keturunan mereka termasuk at-Thabari. Dedikasinya
yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan sudah terlihat semenjak ia masih
kanak-kanak. Salah satu prestasinya adalah ia telah menghafal Al-Qur’an pada
usia tujuh tahun. Hal itu tentu saja sesuatu hal yang sangat fenomenal,
mengingat Imam Syafi’i menghafal Al-Qur’an pada usia 9 tahun dan Ibnu Sina
sekitar 10 tahun.[2]
At-Thabari begitu
arif dan bijaksana, beliau tidak memandang rendah orang lain meskipun Allah
swt, memberikan kelebihan dan kemampuan yang tidak lazim dimiliki oleh orang
kebanyakan. Dengan ilmunya yang tinggi, semakin mendekatkannya kepada sang yang
maha Kuasa, dan semakin bijaksana menyikapi persoalan-persoalan duniawi.
At-Thabari adalah
salah seorang tokoh terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu dan telah
meninggalkan warisan ke-Islaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan
dan apresiasi baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapatkan popularitas luas
melalui dua buah karyanya Tarikhul Umam wal Muluk tentang sejarah dan Jami’
al Bayan fi ta’wil ay al- Qur’an tentang
tafsir. Kedua buku tersebut termasuk diantara sekian banyak rujukan ilmiah
penting. Bahkan buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para mufassir yang
menaruh perhatian terhadap Tafsir bi al-ma’sur.[3]
disamping karya-karya lainnya yang berhasil ia tulis. Secara tepat belum
ditemukan data mengenai jumlah buku yang berhasil diproduksi dan
terpublikasikan yang pasti dari catatan sejarah membuktikan bahwa karya-karya at-Thabari meliputi
banyak bidang keilmuan diantaranya; Bidang Hukum, Tafsir, Hadis, Teologi, Etika
Religius dan Sejarah.
B. Tafsir At-Thabari
Tafsir At-Thabari ini
terdiri dari 30 jilid, masing-masing berukuran tebal. Pada mulanya tafsir ini
pernah hilang, namun kemudian Allah menakdirkan muncul kembali ketika
didapatkan satu naskah manuskrip tersimpan dalam penguasaan seorang amir yang
telah mengundurkan diri, Amir Hamud bin ‘Abdur Rasyid, salah seorang penguasa
Nejd. Tidak lama kemudian Kitab tersebut diterbitkan dan beredar luas sampai
ditangan kita, menjadi ensiklopedi kaya tentang tafsir bil ma’tsur.
Tafsir at-Thabari adalah
tafsir yang paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap. Sementara
tafsir-tafsir yang mungkin pernah ditulis orang sebelumnya tidak ada yang
sampai ke kita kecuali hanya sedikit sekali. Itu pun terselip dalam celah-celah
tafsir at-Thabari tersebut.[4]
Dalam Muqaddimah kitabnya
telah dijelaskan bahwa ia memohon pertolongan Allah agar menunjukkan pendapat
yang benar dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an; mengenai ayat yang muhkam
dan mutasyabih, perkara halal dan haram, umum dan khusus, global dan
terperinci, nasikh dan mansukh, jelas dan samar, dan yang hanya mnerima penakwilan
atau penafsiran.
At-Thabari sangat
bersungguh sungguh dalam menjelaskan semua perkara itu, hal ini terlihat dalam
setiap bagian kitabnya, dimana ia meneliti dengan sangat sabar setiap hadis dan
atsar yang menyangkut penafsiran setiap ayat Al-Qur’an, tanpa pernah lalai
mengungkapkan asbab nuzul-nya, hukum-hukum, Qira’at, dan beberapa
kalimat yang maknanya perlu dijelaskan lebih detail. Semua itu dilakukannya
dalam rangka mewujudkan sebuah kitab tafsir yang lebih sempurna dari yang
pernah ada sebelumnya, hingga memenuhi kebutuhan seluruh manusia.
Keinginannya untuk
menambahkan ilmu baru menjadikan Kitab tafsirnya makin kuat dan kaya. Di mana
seorang pembaca akan menemukan ilmu baru yang tidak ditemukan pada buku yang
lain. Hal ini tampak jelas pada gaya tulisan at-Thabari yang selalu melakukan
perbandingan-perbandingan, dengan ungkapannya yang sangat masyhur seperti:”
pendapat yang benar dalam hal itu menurutku adalah....” atau”menurut kami”.
Atau mengatakan,”pendapat yang paling benar diantara dua pendapat ini” atau
“diantara pendapat-pendaat yang ada adalah..”atau mengatakan,”... dan qira’at
yang aku pilih adalah...” dan seterusnya.[5]
C
Metodologi
Penafsiran At-Thabari
Adapun metodologi tafsir Ibnu Jarir at-Thabari dalam
menafsirkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1.
Berlandaskan Penafsiran Bil-ma’tsur
Penafsiran bi al-Ma’tsur adalah
salah satu model tafsir yang paling utama dan tertinggi kedudukannya bila
dibandingkan dengan model tafsir yang lain, karena dengan menafsirkan Al-Qur’an
menggunakan kalam Allah sendiri, perkataan Rasulullah saw., dan periayatan para
sahabat. Allah lebih mengetahui akan maksud dan ucapan-Nya, perkataan
Rasulullah adlah penjelasnya dan para sahabat adalah orang-orang yang
menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.[6]
Ibnu Jarir at-Thabari dalam hal
ini, memulai menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan mencari tafsiran suatu ayat dari
ayat Al-Qur’an yang lain, karena ia yakin bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah satu
mata rantai yang tak bisa dipisahkan, seperti ketika beliau menafsirkan kata الظلم pada surat al-An’am ayat 82 dengan
kata الشرك yang ternyata tafsiran tersebut
diambil dari surat Lukman ayat 13.
Ibnu Jarir at-Thabari juga
banyak menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis, ia sangat teliti dalam mengemukakan
jalan-jalan periwayatan sampai kepada pemabawa berita pertama (al-rawi A’la) .
Penafsirannya selalu diperkuat dengan riwayat-riwayat dan jika pada
penafsiran itu terdapat dua pendapat atau lebih maka ia memaparkan
semuanya, ia tidak semata-mata menyebutkan riwayat saja tetapi kadang dijelaskan
secara rinci dan pada gilirannya mentarjih riwayat-riwayat tersebut.[7] At-Thabari tidak
begitu saja menafsirkan Al-Qur’an tetapi di dasari berbagai macam pengembaraan
pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga wajar saja jika hasil
pikirannya dijadikan referensi oleh para penafsir sesudahnya.
2. Corak Penafsiran At-Thabari
Ibnu Jarir at-Thabari menguasai berbagai disiplin ilmu teramsuk didalamnya
fiqh, maka tidak diherankan jika dalam menafsirkan ayat-ayat hukum beliau
selalu mengungkap pendapat ulama yang punya keterkaitan dengan masaalah yang
dimaksud, lalu mengemukakan pendapatnya.
Ibnu Jarir at-Thabari dalam
menyelesaikan persoalan fiqh, maka beliau menjelaskan semua pendapat ulama
tentang hal itu, kemudian dikemukakan pendapatnya mengenai masalah tersebut.
Seperti ketika ia menafsirkan QS. al-Nahl (16):8:
@øsø:$#ur tA$tóÎ7ø9$#ur uÏJysø9$#ur $ydqç62÷tIÏ9 ZpuZÎur 4 ß,è=øsur $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÑÈ
“dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal dan
keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah
menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
Ibnu Jarir at-Thabari ketika
menafsirkan maksud ayat di atas, beliau terlebih dahulu menyebutkan pendapat
semua ulama tentang hukum makan kuda, kemudian mengemukakan pendapatnya sendiri
bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan kepada pengharaman.
3.
Metode Penafsiran At-Thabari
Metode
penulisan yang digunakan at-Thabari adalah
metode tahlili
di mana beliau
menafsirkan ayat Al-Qur’an secara keseluruhan berdasarkan susunan mushaf, ia
menjelaskan ayat demi ayat, dengan menjelaskan makna mufradat-nya serta
beberapa kandungan lainnya.
Metode Tahlili
adalah metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an
dari seluruh aspeknya Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir
tahlili diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah,
dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.[8]
Dalam
menafsirkan, at-Thabari menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengawali penafsiran ayat dengan mengatakan: "Pendapat tentang
takwil firman Allah, begini. Kemudian menafsirkan ayat dan menguatkan pendapatnya dengan apa
yang diriwayatkannya dengan sanadnya sendiri dari para sahabat atau tabi'in.
2. Menyimpulkan
pendapat umum dari nash al-Qur'an dengan bantuan atsar-atsar yang diriwayatkannya.
3. Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dari
Rasulullah saw., sahabat dan tabi'in dengan menuturkan sanad-sanadnya, dimulai
dari sanad yang paling kuat dan paling shahih.
4. Menguatkan pendapat yang menurutnya kuat dengan menyebutkan
alasan-alasannya.
5. Melanjutkannya dengan menjelaskan pendapat ahli bahasa, seperti bentuk kata
dan maknanya, baik tunggal maupun gabungan serta menjelaskan makna yang
dimaksud dalam nash yang bersangkutan.
6. Melanjutkannya dengan menjelaskan qira'at-qira'atnya dengan menunjukkan
qira'at yang kuat dan mengingatkan akan qira'at yang tidak benar.
7. Menyertakan banyak syair untuk menjelaskan dan mengukuhkan makna nash.
Menuturkan I'rab dan pendapat para ahli nahwu untuk menjelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan I'rab.
Menuturkan I'rab dan pendapat para ahli nahwu untuk menjelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan I'rab.
8. Memaparkan pendapat-pendapat Fiqih ketika menjelaskan ayat-ayat hukum,
mendiskusikannya dan menguatkan pendapat yang menurutnya benar.
Kadang-kadang la menuturkan pendapat para ahli kalam -dan menjuluki mereka dengan ahli jadal (ahli teologi dialektis), mendiskusikannya, kemudian condong kepada pendapat Ahli Sunnah wal Jama'ah.[9]
Kadang-kadang la menuturkan pendapat para ahli kalam -dan menjuluki mereka dengan ahli jadal (ahli teologi dialektis), mendiskusikannya, kemudian condong kepada pendapat Ahli Sunnah wal Jama'ah.[9]
D. Karya-Karya
Imam at-Thabary.
1. Jami’Al-Bayan
fi Ta’wil ai Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan sebutan At-tafsir
Ath-Thabary
2. Tarikh
Umam wa Al-Muluk yang lebih dikenal dengan Tarikh Ath-Thabar
3. al- Adabul Hamidah wal
Akhlaqun Nafisah
4.
Tarikhur Rijal
5.
Ikhtilafu Fuqaha’
6.
Tahzibul asar
7.
Kitabul Basit fil Fiqh
8.
Al-Jami’ Fil Qira’at
9.
Kitabut Tabsir Fil
Ushul.[10]
Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau yang tidak disebutkan disini.
Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau yang tidak disebutkan disini.
E. Guru-Guru Beliau
Guru-guru beliau diantaranya adalah:
1. Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib
2. Ismail Bin Musa As-Sanadi
3. Ishaq bin Abi Israel
4. Muhammad bin Abi Ma'syar
5. Muhammad bin Hamid Ar-Razi
6. Ahmad bin Mani'
7. Abu Kuraib Muhammad Ibnul A'la
8. Ash-Shan'ani
9. Bundar
10. Muhammad bin Al-Mutsanna, dan selain mereka.
F. Murid-Murid Beliau
Adapun diantara murid-murid beliau adalah:
1. Abu Syuaib bin Abdillah bin Al-Hasan bin Al-Harani.
2. Abul Qasim Ath-Thabrani
3. Ahmad bin Kamil Al-Qadhi
4. Abu Bakar Asy-Syafi'i
5. Abu Ahmad Ibnu Adi
6. Mukhallad bin Ja'far Al-Baqrahi
7. Abu Mammad Ibnu Zaid Al-Qadhi
8. Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab
9. Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan
10. Abu Ja'far bin Ahmad bin Ali Al-Katib.[11]
1. Abu Syuaib bin Abdillah bin Al-Hasan bin Al-Harani.
2. Abul Qasim Ath-Thabrani
3. Ahmad bin Kamil Al-Qadhi
4. Abu Bakar Asy-Syafi'i
5. Abu Ahmad Ibnu Adi
6. Mukhallad bin Ja'far Al-Baqrahi
7. Abu Mammad Ibnu Zaid Al-Qadhi
8. Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab
9. Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan
10. Abu Ja'far bin Ahmad bin Ali Al-Katib.[11]
G.
Pandangan Ulama Terhadap Imam At-Thabari.
Banyak ulama yang memuji At-Thabari. Mereka
mengatakan: Dia adalah seorang ‘alim yang tsiqah (bisa dipercaya), salah satu
imam besar Ahlus Sunnah, pendapatnya diambil, dan keluasan ilmunya dijadikan
referensi, dan memiliki manhaj yang lurus. Dia meninggalkan sejumlah karya
bermanfaat, yang paling terkenal adalah kitab tafsir besar, Jami’ Al Bayan ‘fi
Ta’wilil ai Quran, dan mayoritas ulama mengenalnya dengan sebutan Tafsir at-Thabar. Ini
merupakan tafsir lengkap pertama yang sampai kepada kita, dan setiap mufassir
yang datang setelahnya telah mengambil manfaat darinya. Oleh karena itu, para
ulama menyebutnya sebagai Bapak Tafsir, sebagaimana dia juga disebut Bapak
Sejarah, lantaran dia memiliki karya besar dalam bidang sejarah yang tidak
pernah ada manusia yang membuat semisalnya, kecuali karya sebelumnya tidak bisa
dipegang secara meyakinkan. Kitab tersebut diberi judul Tarikhul Umam wal
Muluk. Dia juga membuat karya, Tahdzibul Atsar, dan lain-lain. Beliau wafat
di Baghdad pada tahun 310 H. Banyak didapati
pengakuan terhadap Imam At-Thabari dalam usahanya
mengembangkan Tafsir, seperti berikut ini:
Imam An Nawawi dalam
Tahdzibnya mengemukakan: “Kitab Ibnu Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah
kitab yang belum seorangpun ada yang pernah menyusun kitab yang menyamainya. Beliau juga
pernah mengatakan: “”Umat telah bersepakat tidak ada yang menyamai tafsir
beliau ini.”
Imam as-Suyuthi, seorang mufasir menyatakan
seperti berikut: “Kitab ibnu Jarir adalah kitab tafsir paling agung (yang
sampai kepada kita). Didalamnya beliau mengemukakan berbagai macam pendapat dan
mempertimbangkan mana yang lebih kuat, serta membahas I’rob dan istimbat.
Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu.”[12]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu Jarir at-Thabari adalah
seorang ahli tafsir terkenal dan sejarawan terkemuka. Nama lengkap at-Thabari adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin Ghalib
at-Tabari (selanjutnya disebut dengan at-Thabari). Ia di
lahirkan di Amul ibu kota Tabaristan, kota ini
merupakan salah satu propinsi di Persia dan terletak di sebelah utara gunung
Alburz, selatan laut Qazwin. Pada tahun 224/225H atau sekitar tahun
839-840 M. Dan beliau wafat di
Baghdad pada tahun 310 H. Salah satu karyanya yang sangat fenomenal ialah Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân yang merupakan rujukan paling besar dan
utama, serta rujukan penting bagi mufassir bil-ma’tsur.
Tafsir At-Thabari ini terdiri dari 30 jilid, masing-masing berukuran tebal.
Pada mulanya tafsir ini pernah hilang, namun kemudian Allah menakdirkan muncul
kembali ketika didapatkan satu naskah manuskrip tersimpan dalam penguasaan
seorang amir yang telah mengundurkan diri, Amir Hamud bin ‘Abdur Rasyid,
salah seorang penguasa Nejd. Adapun metode
penulisan yang digunakan at-Thabari adalah metode tahlili.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qattan, Manna Khalil, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an,
diterjemahkan oleh Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, litera
AntarNusa, Bogor.
al-Rumy,
Fadh ibn Abd al-Rahman, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan Amrul
Hasan, Ulum al-Qur’an Studi Kompleksitas al-Qur’an, Titian Ilahi, Yogyakarta,
1996.
at-Thabari, Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al Bayan ‘An Ta’wil Al-Qur’an, diterjemahkan
Ahsan Aksan, Pustaka Azzam, Jakarta. 2007.
Dilaga, M. Fatih
Surya, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Teras, Yogyakarta, 2010.
http://aa-den.blogspot.com/2009/10/metodologi-tafsir-ibnu-jarir_9987.html (diakses 15 oktober 2014)
http://www.alsofwah.or.id/cetaktokoh.php?id=270 (diakses 16 oktober 2014)
Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi tafsir “kajian
komperhensif mtode para ahli tafsir”, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Razi,
Muhammad. 50 Ilmuwan Muslim Populer. Qultum Media, Jakarta. 2005.
[1]
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari , Jami’ al Bayan ‘An Ta’wil
Al-Qur’an, diterjemahkan Ahsan Aksan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 7.
[3] Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an,
diterjemahkan oleh Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu
al-Qur’an (Bogor: litera AntarNusa, 2000), Cet. Ke-V, h. 502.
[4] Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi
‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an...,
h.502.
[5] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’
al Bayan ‘An Ta’wil Al-Qur’an, diterjemahkan Ahsan Aksan..., h. 41-42.
[6] Fadh ibn Abd al-Rahman al-Rumy, Dirasat fi Ulum al-Qur’an,
diterjemahkan Amrul Hasan Ulum al-Qur’an Studi Kompleksitas al-Qur’an (Yogyakarta:
Titian Ilahi, 1996), h.199.
[7] Fadh ibn Abd al-Rahman al-Rumy, Dirasat fi Ulum al-Qur’an,
diterjemahkan Amrul Hasan Ulum al-Qur’an Studi Kompleksitas al-Qur’an,,,. h.203
[9] http://aa-den.blogspot.com/2009/10/metodologi-tafsir-ibnu-jarir_9987.html (diakses 15 oktober 2014)
[10]Manna Khalil al-Qattan, Mabahits
fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS Studi Ilmu-ilmu
al-Qur’an..., h. 526-527.
[12] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi tafsir “kajian komperhensif mtode para
ahli tafsir”, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2006), h. 67.
1 komentar:
terimakasih banyak bang ini mohon keihklasan ini makalah nya saya pake
Posting Komentar