jadwal sholat
Minggu, 30 November 2014
Jumat, 28 November 2014
amalan yang dawam
PENDAHULUAN
“Sedikit-demi sedikit lama-lama menjadi
bukit.” Demikianlah peribahasa yang sering diajarkan oleh para pendidik kepada
peserta didiknya, terutama murid-murid SD ketika diberi pengarahan oleh gurunya
dalam menabung uang. Dalam
peribahasa tersebut tergambarkan sebuah solusi praktis yang biasa diupayakan
seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Ia tidak perlu menyelesaikannya
secara tuntas dalam satu waktu, melainkan ia bisa mencicil tugasnya
sedikit-demi sedikit tapi terus dilakukan secara rutin. Hal ini lebih ringan
ketimbang melakukannya sekaligus tapi dengan hasil yang kurang maksimal.
Dalam makalah
ini, saya berusaha membahas hadis tentang amalan yang sedikit tetapi dilakukan
terus menerus(kontinyu). Semoga makalah ini bisa bermanfaat, khususnya bagi
saya dan umumnya buat pembaca yang lain.
PEMBAHASAN
Beramal sedikit demi sedikit tetapi terus menerus boleh
diibaratkan seperti menanam benih pohon di mana pohon itu adalah jiwa kita
sendiri. Kemudian kita meletakkan baja dan menyiraminya dengan air di mana baja
dan airnya adalah amal-amal ibadah dan keimanan yang tulus.
Melakukan amal ibadah dan amal soleh secara terus menerus,
setahap demi setahap, ibarat membangun benteng diri yang kukuh. Ia umpama
mengurus batu-bata satu persatu secara terus menerus hingga akhirnya berdirilah
sebuah bangunan yang megah. Inilah amal yang dicintai Allah, iaitu melakukan
kebaikan dan ibadah tanpa henti meskipun hanya sedikit.
Sedikit
dalam beramal yang dilakukan terus-menerus juga sama dengan memupuk dan
menyiram pohon iman sehingga ia akan tetap tumbuh segar dan tidak layu.
Hasilnya, jiwa terus terangkat menuju darjat yang lebih baik serta menjejaki
tangga-tangga ke arah kesempurnaan.
Sabda Nabi Muhammad SAW.
عن عائشة بنت أبي بكر الصديق –رضي
الله عنهما- قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أَحَبُّالْعَمَلِ
إِلَى اللَّهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَإِنْ قَلَ (متفق عليه , و اللفظ لمسلم)
Dari ‘Aisyah
binti Abi Bakr Ash-shiddiq –radhiallahu anhuma- berkata : Rasulullah shalallahu
alaihi wa sallam bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah
amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit.” (HR Bukhari
dan Muslim, dengan lafazh Muslim).
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Jama'ah dari Abu Hurairah; al-Bukhari meriwayatkannya
dengan lafal "enam puluh macam lebih"; Muslim meriwayatkannya dengan
lafal "tujuh puluh macam lebih" dan juga dengan lafal "enam
puluh macam lebih"; Tirmidzi meriwayatkannya dengan "tujuh puluh
macam lebih" dan begitu pula dengan an-Nasa'i. semuanya terdapat dalam
kitab al-Iman; sedangkan Abu Dawud meriwayatkannya dalam as-Sunnah; dan Ibn
Majah dalam al-Muqaddimah.[1]
Sabda Nabi
shalallahu alaihi wa sallam yang cukup singkat ini namun padat mengandung
faedah yang sangat besar bahkan menjadi prinsip penting dalam ajaran Islam yang
bisa direalisasikan pada aspek-aspek lainnya yaitu kaedah : Sedikit tapi rutin
lebih baik daripada banyak tapi tidak diteruskan.
Dalam hadits
yang mulia ini Nabi shalallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa amalan
yang dilakukan secara rutin walaupun sedikit lebih Allah cintai daripada amalan
besar yang dilakukan kemudian ditinggalkan begitu saja. Sebagai contoh:
Seseorang melakukan qiyamul lail hanya 2 rakaat atau 4 rakaat dengan membaca
surat-surat pendek, tapi ia rutin melakukannya secara kontinyu hampir setiap
malam maka yang ia lakukan ini lebih baik daripada seseorang yang melakukan
qiyamul lail dengan rakaat dan bacaan yang panjang kemudian ia meninggalkannya.
Diantara contoh yang lainnya seperti membaca wirid sebagai amalan yang tetap
dilazimkan membacanya tiap hari. Apabila terlepas, mudah pula untuk
mengqadha’nya, sehingga kita terbiasa dengan giat melakukannya, tidak
meninggalkannya kecuali ada udzur saja.[2]
Hal ini dikarenakan amalan yang ia lakukan secara rutin akan
membuatnya senantiasa menjaga ketaatan dan taqarrub kepada Allah Ta’ala
walaupun ringan. Ibnu Al-’Arabi berkata : Maksudnya bahwa amalan yang paling
banyak pahalanya adalah yang rutin dilakukan terus-menerus walaupun sedikit.
Imam Nawawi
menjelaskan: Karena dengan merutinkan amalan yang sedikit akan membuatnya
selalu menjaga ketaatan dengan mengingat Allah, merasa diawasi, ikhlas, dan
mendekatkan diri kepada-Nya. Berbeda
halnya dengan amalan yang banyak dan berat (tapi tidak rutin dilakukan). Sehingga
sesuatu yang sedikit tapi terus-menerus itu akan berkembang dan mengungguli
berlipat-lipat ganda daripada amalan yang banyak tapi terputus (tidak
diteruskan).
Ibnul Jauzi juga berkata: Sesungguhnya Allah lebih mencintai
amalan yang dilakukan secara rutin disebabkan 2 hal:
- Bahwa orang yang meninggalkan suatu amalan setelah ia membiasakannya bagaikan orang yang berpaling setelah ia sampai tujuan, maka ia seolah-olah berpaling dari amalan tersebut, maka dari itu ada ancaman bagi orang yang hafal satu ayat kemudian melupakannya, walaupun sebelum ia hapal belum wajib baginya menjaga hapalan tersebut.
2. Bahwa merutinkan suatu kebaikan merupakan bentuk
pengabdian yang terus-menerus, sehingga orang yang mendiami suatu pintu dalam
satu waktu setiap harinya tidak sama dengan orang yang mendiaminya seharian
penuh tapi kemudian ia tinggalkan.
Hadits
yang disebutkan di atas konteks lengkapnya adalah sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها –
قَالَتْ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الشَّهْرِ مِنَ
السَّنَةِ
أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ وَكَانَ
يَقُولُ : (( خُذُوا مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَنْ
يَمَلَّ حَتَّى تَمَلُّوا))
)).وَكَانَ يَقُولُ : (( أَحَبُّ
الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ وَإِنْ قَلَّ
Dari ‘Aisyah
–radhiallahu ‘anha- berkata : Tidak pernah Rasulullah Saw. berpuasa lebih
banyak pada suatu bulan selain bulan sya’ban, dan beliau bersabda :
“Kerjakanlah amalan sesuai apa yang kalian mampu karena sesungguhnya Allah
tidak akan pernah bosan sampai kalian bosan.” Beliau juga bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah
adalah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit.”
Dalam hadits ini Nabi shalallahu alaihi wa sallam menyuruh
kita agar tidak beribadah kecuali dengan apa yang kita mampu. Beliau melarang
kita untuk memaksakan diri melakukan amalan yang tidak kita mampu atau
melakukan ibadah secara berlebihan karena dikhawatirkan ibadah tersebut akan
terputus dan tidak terus dilakukan. Ibnu Hajar berkata : Karena orang yang
ekstrim dan berlebih-lebihan dalam beribadah sangat mudah terjatuh pada rasa
bosan dan jenuh. Berbeda halnya dengan orang yang melakukan ibadah secara
seimbang (tidak berlebihan) maka ia akan lebih mudah untuk terus melakukannya
secara rutin.[3]
Hal itu
dikarenakan ketika seseorang membiasakan suatu amalan ibadah maka tidak
sepantasnya ia melakukannya kemudian meninggalkannya begitu saja. Dan Allah telah mencela orang-orang
yang melakukan perbuatan tersebut dalam firmanNya:
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا
كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ
رِعَايَتِهَا
“dan mereka mengada-adakan kependetaan padahal kami tidak
mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya)
untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan
pemeliharaan yang semestinya.” (QS. al-Hadid : 27)
Dalam ayat ini Allah mencela mereka karena meninggalkan
amalan yang telah mereka biasakan. Oleh karena itu ‘Abdullah bin Amr berkata
ketika telah lemah dan tak kuat melakukan amalan yang telah ia tekuni:
Seandainya saja dulu aku menerima rukhshah (keringanan) dari Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.
Berkata
Al-Mahlab: Diantara hak tubuh adalah menyisakan padanya kekuatan yang dengannya
amalannya akan bisa terus dilakukan karena apabila ia berlebih-lebihan maka
ibadahnya akan terputus dan ia akan futur.
Maka yang dimaksud dari hadits di atas adalah agar kita
mengambil amalan yang lebih mudah dan melakukannya secara seimbang dan tidak
mengambil amalan yang terlalu memberatkan kita. Imam Abu Dawud meriwayatkan
hadits dari ‘Aisyah –radhiallahu ‘anha-: Bahwasannya tidaklah Nabi shalallahu
alaihi wa sallam ketika diberi pilihan atas 2 perkara kecuali ia memilih
yang lebih ringan selama tidak termasuk dosa. Dan beliau shalallahu alaihi wa
sallam tidak pernah sedikitpun marah karena dirinya sendiri, kecuali
apabila ada larangan Allah yang dilanggar maka beliau marah karena Allah
Ta’ala.
Dan begitu pula pada perkara umatnya antara berlebih-lebihan
dan memperbanyak ibadahnya atau tengah-tengah dan seimbang serta tidak
berlebih-lebihan. Telah kita ketahui bahwa memperbanyak ibadah sampai
membuatnya bosan kemudian meninggalkannya bukanlah hal yang terpuji. Akan
tetapi sedikit yang dilakukan secara terus-menerus dan memungkinkannya untuk
melaksanakannya secara rutin maka itulah yang ada mashlahatnya. Hal tersebut
disebabkan sedikit tapi diiringi dengan konsisten lebih baik daripada banyak
tapi terputus. Orang yang bersungguh-sungguh pada satu waktu kemudian malas dan
bosan sehingga meninggalkan amalannya secara keseluruhan maka ini tidak baik.
Namun apabila ia melakukannya walupun sedikit tapi secara terus-menerus dan
konsisten seterusnya maka ini lebih utama. Misalnya seseorang berpuasa 3 hari
pada setiap bulan maka ini lebih utama daripada ia berpuasa selama 1 atau 2
bulan kemudian lelah dan meninggalkannya dan begitulah memperbanyak ibadah yang
sampai membuatnya bosan dan meninggalkannya adalah perkara tidak baik.
Ibnu Wadhdhah menjelaskan makna “Allah tidak akan bosan
sampai kalian bosan” pada hadits di atas: Maknanya adalah Allah tidak akan
bosan memberi pahala sampai kalian bosan melakukan amalan tersebut. Ad-Dawdi
menuturkan bahwa Ahmad bin Abi Sulaiman berkata: Maknanya yaitu Allah tidak
akan pernah bosan adapun kalian bisa saja bosan.
Dalam hadits di atas pula terkandung salah satu bentuk kasih
sayang Allah terhadap hamba-Nya dimana Allah tidaklah membebani hambanya
kecuali sesuai kemampuannya. Yang dituntut dari syariat ini adalah agar kita
senantiasa menjaga ketaatan walaupun dengan amalan yang kecil. Amalan yang
kecil jika dilakukan dengan penuh rasa ikhlash dan terus-menerus maka akan
seperti peribahasa “sedikit-demi sedikit lama-lama menjadi bukit”. Yang Allah
lihat dari hamba-Nya adalah kualitas amalannya bukan kuantitasnya sebagaimana
firman-Nya :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ
وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْغَفُورُ
Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.(Q.S. Al-Mulk:2).
Allah tidak berfirman “yang paling banyak amalannya”, karena
banyaknya amalan tanpa disertai keikhlashan dan tata cara yang benar tidak ada
manfaatnya. yang bermanfaat adalah amalan yang dilakukan dengan penuh
ikhlash hanya mengharap wajah Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah shalallahu
alaihi wa sallam serta dilakukan terus-menerus (walaupun sedikit).
PENUTUP
Namun bukan maksud dari hadits diatas agar kita tidak bersungguh-sungguh
dan tidak boleh memperbanyak amalan. Namun maksudnya adalah agar kita berusaha
semampu kita untuk beramal sebanyak-banyaknya secara rutin dan terus-menerus
dengan tetap memperhatikan kualitas amalan kita dan juga menjaga amalan lain
yang lebih utama. Jangan sampai berlebihan melakukan amalan yang sunnah sampai
amalan yang wajib terbengkalai. Misalnya berlebihan dalam qiyamul lail sampai
shalat shubuh berjamaahnya tertinggal karena terlalu lelah semalaman.Yang jadi
prinsip agama ini adalah sikap tengah-tengah dalam semua perkara, tidak
berlebih-lebihan dan tidak pula menyepelekan
Amalan secara istiqamah mengajar kita agar
sentiasa merasakan nikmat beramal kerana setiap amalan yang dilakukan dengan
hati dan jiwa, ianya akan mendatangkan rasa lazat dan nikmat. Amalan secara
istiqamah walaupun dilaksanakan secara sedikit, pada tiap-tiap hari adalah
lebih baik daripada melakukan amalan secara banyak-banyak tetapi pada masa yang
tertentu. Kita boleh membuat perbandingan dan melihat sendiri kesan dalam
amalan istiqamah pada tindakan alam umpamanya setitik air yang terus menerus
menitik di atas batu, lama kelamaan ia akan melekukan batu tersebut. Akan
tetapi, jika banjir yang berlaku hanya sekali sekala, tidak akan dapat memberi
bekas pada batu tersebut.
Semoga Allah senantiasa memberi kita
taufiq dan petunjuk untuk terus berpegang teguh dengan tali Allah, dan bisa
mengerjakan amalan dengan terus menerus serta
menjadikan kita di antara hamba-hambanya yang shalih. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qardhawy, Yusuf. Fiqh Prioritas
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Robbani Press,
Jakarta. 1996.
Haddad, Imam Habib Abdullah, Nasehat
Agama dan Wasiat Iman, CV. Toha Putera, Semarang. 1993.
Ustadz Ahmad Fahrisan, http://yayasanalhanif.or.id/konsisten-dalam-beramal-walaupun-sedikit/ (28 Mei 2014)
[2]
Imam Habib Abdullah Haddad, Nasehat Agama dan Wasiat
Iman (Semarang: CV. Toha Putera, 1993) h. 143.
[3]
Ustadz Ahmad Fahrisan, http://yayasanalhanif.or.id/konsisten-dalam-beramal-walaupun-sedikit/ (28 Mei 2014)
Kamis, 27 November 2014
sekilas tentang kitab al Umm karangan Imam Syafi'i
PENDAHULUAN
Orang
banyak mengenal Imam Syafi’i adalah sebagai ahli fikih, bahkan sampai sekarang
banyak ummat Islam yang tetap setia mengikuti pendapatnya yang terlembagakan
menjadi madzhab, namun dibalik keterkelan beliau dalam bidang fikih, ia juga
seorang yang mumpuni dalam bidang yang sangat dekat dengan persoalan-persoalan
fikih yaitu dalam bidang hadis dan ilmu hadis.
Imam
Syafi’i sudah sangat dienal di negeri kita. Namun sedikit yang mengenal beliau
lebih dekat. Beliau juga memiliki banyak murid yang menyebaran madzhab beliau.
Dan murid-murid tersebut ada yang di Iraq yang menukil pendapat qadim (lama) dari beliau, juga ada yang
di Mesir yang menukil pendapat jadid
(baru).
Dalam
makalah ini kami akan menjelaskan bagaimana biografi Imam Al-Syafi’i,
guru-guru, murid-murid, karya-karya beliau dan metode kitab Al-Umm.
Berikut
isi makalah dari kami.
PEMBAHASAN
A. Biografi
Imam Al-Syafi’i
Nama
lengkap beliau adalah Abu Abdillah
Muhammad bin Idris al-‘Abbas bin Usman bin Syafi’i bin as-Sa’id bin Abdi Yazid
bin Hisyam bin al-Mutalib[1]
bin ‘Abdumanaf[2]
bin Qusay[3]
Al-Qurasyi[4]
Pada Abdumanaflah nasab al-Syafi’i bertemu denang Rasulullah saw. Ia dilahirkan
pada tahun 150 H, ditengah-tengah keluarga miskin di Palestina sebuah perkampungan
orang-orang Yaman. Dan beliau meninggal dunia di Mesir, pada malam jum’at,tanggal
29 Rajab tahun 204 H/19 Januari 820 M.[5]
Ketika
baru berusia dua tahun, ayahnya meninggal (di Gazzha), dan kemudian ia dibawa
oleh iunya ke Mekah untu belajar al-Qur’an, dan beliau berhasil menghafalnya
pada usia 9 tahun.[6]
Selanjutnya ia mengarahannya untuk mengahafal hadis. al-Syafi’i belajar hadis
dengan jalan mendengaran dari para gurunya kemudian ia mencatat hadis-hadis
yang telah dilafalangurunya tersebut. Disamping itu ia juga mendalamibahasa
Arab untuk menghindari dari pengaruh bahasa ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa
Arab pada saat itu, untuk itu ia pergi ke Kabilah Huzail untuk belajar bahasa
selama sepuluh tahun.
Al-Syafi’i
belajar pada ulama-ulama Mekkah, baik pada ulama fiqih maupun ulama hadis. Terus-menerus
belajar beberapa lama sehingga akhirnya beliau terkenal dalam bidang fiqih dan
mendapat kedudukan tinggi dalam bidang tersebut, sehingga gurunya Muslim Ibn Khais al-Zanji menganjurkan
supaya ia bertindak sebagai Mufti.
Sungguhpun ia telah memperoleh kedudukan yang tinggi, namun ia tetap terus
mencari ilmu, karena ilmu baginya bagaikan lautan yang tak bertepi.[7]
Kemudian
al-Syafi’i mendengar bahwa di Madinah ada seorang yang bernama Malik Ibn Anas yang piawai dalam ilmu
hadis. aan kepiawannya tersebut beliaupun pindah ke Madinah, yang sebelumnya
beliau sudah mengahafal kitab al-Muwatta’,
yakni sebuah kitab susunan Imam Malik yang telah berkembang pada saat itu.[8] Ia
pun pergi ke Madinah dengan berbekal surat dari Gubernur Mekah, mulai saat
itulah beliau benar-benar mendalami fiqih dan hadis kepada Imam Malik. Pada saat Imam Malik wafat[9],
Syafi’i telah mencapai kematangannya dalam bidang tersebut.
Setelah
Imam Malik wafat, al-Syafi’i dibantu oleh orang-orang Quaraisy, ia pun dapat
bekerja sebagai pegawai negeri Yaman. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pegawai Negara, nampaklah kecakapan dan kecerdasannya serta ketinggian silsilah
nasabnya, sehingga beliau menjadi terkenal dan nama beliaupun banya
disebut-sebut dikalangan masyarakat.
Ketika
Yaman dikuasai oleh gubernur yang zalim, Imam al-syafi’i sebagai petugas yang
jujur menentang kezaliman tersebut. Oleh karenanya gubernur menyebaran fitnah
terhadap al-Syafi’i kepada Khalifah Abbasiyah, merekapun sangat waspada
terhadap keturunan Ali. Gubernur menuduh al-Syafi’i bersekongkol denagn
pemberontak untuk menggulingkan pemerintahan. Maka Khaifah yang berkuasa pada
saat itu al-Rasyid, memerintahkan supaya al-Syafi’i didatangkan ke Bagdad
bersama sembilan orang lainnya. Akan tetapi ia dapat melepaskan semua tuduhan
yang ditimpakan kepadanya. Muhamad Ibn
al-Hasan yang menjadi hakim besar di Bagdad terdorong hatinya unntuk
membantu al-Syafi’i dari segala tuduhan tersebut. Maka denagn kesaksian Muhammad Ibn al-Hasan, maka ditundalah
pemacungan al-Syafi’i dan selamatlah ia.
Kedatangan
al-Syafi’i kali ini ke Bagdad adalah pada tahun 184 H. Yaitu pada ketika beliau
berumur 34 tahun. Kiranya penderitaan yang teramat pahit yang dirasakannya
inilah yang menyebabkan ia melepaskan jabatan pemerintahan dan meneuni bidang
keilmuan, sehingga Imam al-Syafi’i dapat mewariskan pusaka yang kekal sepanjang
masa. Selama di Bagdad ia mempelajari fiqih Iraq, ia membaca kitab-kitab Muhammad Ibn Hasan. Dengan demikian
berkumpullah fiqih Hijazi dan fiqih Iraqi, atau fiqih yang berpegang pada
Dirāyah.
Walaupun
al-Syafi’i menghadiri majlis Ibn Hasan, tetapi ia memandang dirinya sebagai
pengikut setia Malik, salah satu pengikut mazhabnya dan salah seorang
pengahafal al-Muwatta’, sehingga ia
tetap membela fiqih Madinah. Oeh karenanya ia sering mendebat Muhammad Ibn
Hasan karena menganggap sebagai guru, akan tetapi pada akhirnya ia juga dapat
berdiskusi dan mendebatnya karena atas permintaan Muhammad Ibn Hasan sendiri.[10]
Setelah
itu al-Syafi’i kembali lagi ke Mekkah dengan membawa fiqih Iraqi yang sangat
banyak. Di Mekkah ia mendirikan majlis di masjid al-Haram, lalu mulailah ia
menyajian fiqih baru, yaitu fiqih Madinah
yang bercampur fiqih Iraqi, fiqih
yang bercampur antara aqal dan naql. Kurang lebih sembilan tahun
lamanya al-Syafi’i bermukim di Mekkah.[11]
Kemudian beliau membuat kaidah-kaidah istinbat hukum, oleh sebab itulah ia
bermukim lama di Mekkah, jauh dari kota kesibuan seperti Iraq, untuk
mempelajari jalan dalālah yang
ditunjukkan al-Qur’an untu mengetahui hukum-hukum yang nasikh dan yang mansukh.
Itu semua dimaksudkan untuk mengetahui kedudukan sunnah dalam syari’at Islam,
mengetahui sahih ataupun dha’ifnya, dan cara-cara mengambil dalil dengan sunnah
serta kedudukannya terhadap al-Qur’an.
Maka
di waktu inilah ia membuat dasar-dasar istinbat.
Setelah matang mempelajarinya, ia pun pergi ke Bagdad tempat berkumpulnya
ulama, karena di Madinah pada saat itu telah mulai kendur sesudah wafatnya Malik Ibn Anas, sedangkan di Bagdad
telah menampung ahl al-ra’yi dan ahl al-hadis.
Al-Syafi’i
datang ke Bagdad yang kedua kalinya pada tahun 195 H. Sesuadah mempunyai jalan
yang baru dalam bidang fiqih. Dia tidak datang dengan hanya membawa
masalah-masalah furu’, bahkan ia
datang dengan membawa kaidah-kaidah kulliyah.
Ia telah mengembangkan fiqih baru dan pendapat-pendapat yang berlainan dengan
fiqih dan pendapat-pendapat gurunya (Malik),
walaupun belum diritik dan disalahkannya, namun kemudian ia merasa perlu untuk
mengkritik pendapat-pendapat guruna itu, karena saat itu telah banyak orang
menolak hadis yang berlawanan dengan pendapat Mali. Maka dari itu hadislah yang
didahulukan , kemudian ia membela mati-matian dan mengkritik pendapat Malik
serta menyatakan segi-segi kelemahannya agar manusia mengetahuinya, bahwa Malik
itu adalah juga manusia biasa, bisa salah dan bisa benar. Pendapat Malik harus
disalahan apabila bertentangan dengan hadis. bahkan al-Syafi’i juga mengritik
pendapat-pendapat ulama Iraq, yakni Abu
Hanifah dan juga sahabat-sahabatnya.
Al-Syafi’i
mendebat pendapat-pendapat mereka tanpa menyinggung kehormatan orang yang
didebatnya, sehingga Ahmad Ibn Hanbal berkata; “As-Syafi’i adalah seorang filosof dalam empat hal; dalam bahasa, dalam
perbedaan pendapat, dalam segi makna dan dalam fiqihnya”. Dalam
perdebatan-perdebatannya ia sangat membela hadis dan ulama-ulamanya. Ia sangat
ahli dalam berdebat dan mengetahui uslub-uslubnya.[12]
Setelah
itu ia pergi ke Iraq untuk mengembangkan jalan barunya tersebut , menyusun
kitab-kitab dan risalah-risalah, serta mendidik kader fiqih yang handal.[13]
Kemudian pada tahun 198 H. Ia embali ke Bagdad. Ia menetap disana beberapa
bulan lamanya, untuk kemudian ke Mesir. Beliau
tidak menetap di Bagdad pada saat itu karena tampu pimpinan khalifah
dipegang oleh al-Makmun yang sangat
menonjolkan unsur persianya, serta merangul paham-paham filsafat dan
mendekatkan diri kepada tokoh-tokoh Mu’tazilah.
Sedangkan al-Syafi’i menjauhan diri dari pandangan Mu’tazilah. Pernah suatu hari khalifah al-makmun mengajak
al-Syafi’i untuk menjadikan besar di Bagdad, namun beliau menolaknya.
B. Guru-Guru
Beliau[14]
Ø Ulama-ulama
Mekkah yang menjadi gurunya :
Sufyan bin ‘Uyainah, Muslim bin Khalid al-Zanzi,
Sa’id bin Salim al-Kaddah, Daud bin ‘Abdurrahman al-‘Attars, dan ‘Abdul Hamid
bin Abdul Aziz Abi Zuwad.
Ø Ulama-ulama
Madinah yang menjadi gurunya :
Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad al-Ansari, ‘Abd
al-Aziz bin Muhammad bin Abi Sa’id bin Abi Fudaik, Abdullah bin Nafi’, teman
dari Abi Zuwaib.
Ø Ulama-ulama
Yaman yang menjadi gurunya :
Muttaraf bin Hazim, Hisyam bin Yusuf, ‘Umar bin Abi
Salamah, teman dari al-Auza’I dan Yahya bin Hasan teman al-Lais.
Ø Ulama-ulama
Iraq yang menjadi gurunya :
Waki’ bin Jarrah, Abu Usamah, Hammad bin Usamah,
Isma’il bin Ulaiyah, Abdul Wahab bin Abdul Majid, Muhammad bin al-Hasan.
C. Murid-Murid
dan Penyebar Madzhab Al-Syafi’i
Murid-murid
Imam Syafi’i dan yang menyebarkan ilmu beliau amat banyak, namun yang menonjol
dalam menyebarkan madzhab beliau adalah :
1.
Murid yang di Mesir yang menukil pendapat jadid (baru)
dari Imam Syafi’i yang masyhur adalah :
a.
Al
Muzanniy, nama aslinya adalah Isma’il bin Yahya Al Muzanniy, lahir tahun 175 H
dan meninggal tahun 254 H.[15]
Ketika Imam Syafi’i tiba di Mesir, ia mulai belajar dari beliau hingga Imam
Syafi’i wafat. Namun kalangan Syafi’iyah menganggap Muzanniy sebagai mujtahid
mutlak karena ia berbeda pandangan dalam beberapa masalah dengan Imam Syafi’i.
Beliau memiliki karya Mukhtashor Al Muzanniy yang dicetak sebagai catatan kaki
dari kitab Al Umm.
b.
Al
Buyuthiy, nama beliau adalah Abu Ya’qub Yusub bin Yahya Al Buyuthiy. Beliau
berasal dari daerah Buyuth di dataran tinggi Mesir. Ia adalah di antara murid
senior Imam Syafi’i. Imam Syafi’i kadang menjadikan pendapatnya sebagai rujukan
dalam berfatwa. Beliau juga memiliki Mukhtashor Al Buyuthiy.
c.
Ar
Robi’ bin Sulaiman Al Marodiy, periwayat kitab Al Umm. Ia yang menyalin kitab
Al Umm, saat Imam Syafi’i masih hidup.
2.
Murid yang di Irak yang menukil pendapat qodim
(lama) dari Imam Syafi’i, yaitu :
a.
Al
Hasan bin Muhammad, lebih dikenal dengan Al Za’faroniy. Ia meninggal dunia
tahun 260 H.
b.
Abu
‘Ali Al Husain bin ‘Ali, terkenal dengan Al Karobisiy. Ia wafat tahun 264 H.[16]
D. Karya-Karya
Al-Syafi’i
Ini
adalah beberapa karya beliau yang kami dapati :
Al Umm, al-Risalah, Kitab Ikhtilaful Hadis,[17]
al-Sunnah, Al-Musnad,[18]ar-Radd
‘alal Baraahimah, Mihnatusy Syafi’i, Ahkaamul Qur’an.[19]
Kitab yang kami bahas di sini adalah kitab al-Umm.
E. Al-Umm
Dalam
kitab Al-Umm, al-Syafi’i banyak menggunakan hadis-hadis Nabi sebagai landasan
bagiannya dalam mengambil istinbat hukum. Sebagai ulama yang diberi gelar Nasir al-Sunnah, sudah barang
tentu al-Syafi’i telah melakukan penyaringan terhadap hadis-hadis yang dipakai.
Disuatu
sisi kitab ini merupakan kitab fiqih terbesar dan tiada tandingnya dimasanya.
Dalam kitab ini, pembahasan berbagai persoalan lengkap dengan dalil-dalilnya,
baik dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sedang disisi lain juga
disebut kitab hadis karena dalil-dalil hadis yang ia kemukakan menggunakan
jalur periwayatan tersendiri sebagaimana layaknya kitab-kitab hadis.
Dikalangan
ulama terdapat keraguan dan perbedaan pendapat, apakah kitab tersebut ditulis
oleh al-Syafi’i sendiri ataukah karya para murid-muridnya. Menurut Ahmad Amin ,
Al-Umm bukanlah karya langsung dari al-Syafi’i, namun meruapakan karya muridnya
yang menerima dari al-Syafi’i dengan jalan didiktekan. Dan ada pula yang
mengatakan, di dalam kitab al-Umm ada terdapat tulisan al-Syafi’i langsung
tetapi ada juga tulisan dari muridnya.[20]
Bahkan ada pula yang mendapatkan petunjuk bahwa dalam al-Umm ada juga tulisan
orang ketiga selain al-Syafi’i dan al-Rabi’ muridnya. Namun yang masyhur
diceritakan bahwa kitab al-Umm adalah catatan pribadi al-Syafi’i, dan ijma’
ulama mengatakan bahwa kitab ini adalah karya orisinil al-Syafi’i yang memuat
pemikiran-pemikirannya dala bidang hukum.
F. Isi,
Sistematika dan Metode dalam Al-Umm
Adapun
isi, sistematika, dan metode yang digunakan Imam Syafi’i dalam menguraika
keterangan-keterangannya, Imam Syafi’i terkadang memakai metode tanya jawab,
dalam arti menguraikan pendapat pihak lain yang diadukan sebagai sebuah
pertanyaan, kemudian ditanggapinya dalam bentuk jawaban.
Pada
kesempatan lain Imam al-Syafi’i menggunakan metode eksplanasi dalam arti
menguraikan secara panjang lebar suatu masalah dengan memberikan penetapan
hukumnya berdasarkan prinsip-prinsip yang dianutnya tanpa ada sebuah
pertanyaan.
Adapun
mengenai sistematikanya, kitab ini diringkas agar memudahkan para pembaca
tentang gambaran fiqih metodologi imam al-Syafi’i pembahasan-pembahasan
tersebut diringkas menjadi 3 jilid lengkap, diantaranya :
Jilid
1 : Biografi Imam al-Syafi’i, Pembahasan
tentang Bersuci (thaharah), Haid, Shalat, Shalat Idul Fitri dan Idul Adha, Jenazah,
Zakat,Pembagian Zakat, Sederhana Puasa, I;Tikaf, Haji, Penyembelihan Kurban,
Hewan Buruan, dan Sembelihan, Makanan dan Keterangan Tentang Halal Haramnya,
Nadzar, Berhubungan Dengan Hewan Kurban dan Nadzar.
Jilid
2 : Pembahasan tentang Jual Beli, Gadai,
Suf’ah (hak membeli lebih dulu), Hibah, Luqathah (barang temuan), al-Laqith, Fara’id
(pembagian warisan), Wasiat, Jizyah, Kitab memerangi pemberontak (Ahlu Baghyi dan
orang-orang murtad), Perlombaan dan Memanah, Hukum memerangi musyrikin dan
masalah harta kafir Harbi, Nikah, Mahar, Syighar, Nafkah, Luka-luka yang
disengaja, Hudud dan sifat pengasingan, Peradilan dan Hakim.
Jilid
3 : Perbedaan pandangan Ali dan
Abdullah bin mas’ud radhiallahu’anhum-Pembahasan tentang perbedaan pendapat
Malik dan Syafi’i rahimahumullah-pembahasan tentang pembebasan budak, rangkuman
ilmu, Sifat larangan rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, Pembahasan
tentang membatalkan, Istihsan (menganggap baik sesuatu), Pembahasan tentang
bantahan terhadap Muhammmad bin Al-Hasan, Pembahasan tentang siyar (sejarah)
Al-Auza’i, Pembahasan tentang Undian, Pembahasan tentang hukum-hukum Tadbir
(menjanjikan kemerdekaan bagi budak setelah majikan meninggal dunia), Pembagian
tentang Al-Mukatab.
Dalam
format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang terdapat kitab-kitab
lain yang juga dibukukan dalam satu kitab al-Umm diantaranya adalah :
1.
Al-Musnad,
berisi sanad Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi dan juga untuk
mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru imam asy-Syafi’i.
2.
Khilafu
Malik, berisi bantahan-bantahannya terhadap
Imam Malik gurunya.
3.
Al-Radd
‘Ala Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaannya
terhadap mazhab ulama Madinah dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan, Murid Abu
Hanifah.
4.
Al-Khilafu
Ali wa Ibn Mas’ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang berbeda antara
pendapat Abu Hanifah dan Ulama Irak dengan Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin
Mas’ud.
5.
Sair
al-Auza’i, berisi pembelaannya atas imam
al-Auza’i dari serangan Imam Abu Yusuf.
6.
Ikhtilaf
al-Hadits, berisi keterangan dan penjelasan
asy-Syafi’i atas hadits-hadits yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga
ada yang dicetak tersendiri.
G.
Kelebihan
dan Kekurangan Kitab al-Umm
Kitab ini merupakan
kitab induk imam mazhab Syafi’i. dan ditulis dengan pembahasan yang tidak
terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, sehingga memudahkan pembaca
dalam memahmi kata demi kata Imam Syafi’i. meskipun di dalam kitab ini
disertakan pendapat ulama lain, namun bisa dikatakan bahwa kitab ini asli
mazhab Syafi’i. Sehingga bagi pembaca atau pemula yang mau mendalami mazhab
Syafi’i cukup dengan kitab ini.
Adapun kekurangan kitab
ini adalah masih ada beberapa kata yang belum bisa dicerna oleh pembaca yang
pemula belajar mazhab.
H. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas tadi bisa kita ambil kesimpulan bahwa al-Syafi’i yang selama
ini dikenal ahli fiqih ternyata juga mempunyai perhatian terhadap hadis.
Di
dalam kitab al-Umm terdapat sejumlah hadis yang menjadikan rujukan istinbatnya
dalam mengambil hukum. Sebagi seorang ulama yang digelar Nasir al-Sunnah, sudah
barang tentu al-Syafi’i telah melakukan penyaringan hadis-hadis yang beliau
pakai. Oleh karenanya suatu hal menarik bagi kita untuk dijadikan bahan
penelitian tentang keshahihan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i.
Daftar Pustaka
Abdurrahman,
Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta :
Teras), Cet-2, Tth.
Qohar,
Adnan, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar Offset), Cet-2, Juni 2009
Suryadilaga,
Alfatih, Ulumul Hadis, (Yogyakarta :
Teras), Cet-1, Tth.
Rahman,
Zyfran, Kajian Sunnah Nabi Sebagai Sumber
Hukum Islam, (Jakarta : Cv. Pedoman Ilmu Jaya), Cet-1, 1995
Al-‘Aqil,
Muhammad bin A. W, Manhaj Aqidah Imam
Asy-Syafi’i Rahimahullah (terj), (Jakarta : Pustaka Imam asy-Syafi’i),
Cet-6, 2011
Asy-Syafi’i,
Muhammad bin Idris, Musnad al-Imam al-Syafi’i,
(Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah).
http://rumaysho.com/belajar-Islam/teladan/4216-imam-syafii-dan-murid-muridnya.html
[1] M. Alfatih
Suryadilaga, Ulumul Hadis,
(Yogyakarta : Teras), Cet-1, h.194
[2] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta : Teras), Cet-2, h.286.
[3] Lihat Musnad
al-Imam al-Syafi’i, h, 9.
[4] Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum
Islam, (jakarta : Cv. Pedoman Ilmu Jaya), Cet-1, 1995, h. 223.
[5] Adnan Qohar, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar Offset), Cet-2, Juni 2009, h. 161.
[6] M. Alfatih
Suryadilaga, Ulumul Hadis, h. 194.
[7] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, h. 287.
[8] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, h. 287.
[9]Imam Malik wafat
pada tahun 179 H.
[10] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, h. 288.
[11] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, h. 289.
[12] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, h. 291.
[13] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, h. 290
[14] Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, h. 291.
[15] http://rumaysho.com/belajar-Islam/teladan/4216-imam-syafii-dan-murid-muridnya.html
[16] http://rumaysho.com/belajar-Islam/teladan/4216-imam-syafii-dan-murid-muridnya.html
[17] http://rumaysho.com/belajar-Islam/teladan/4216-imam-syafii-dan-murid-muridnya.html
[18] Zufran Rahman,
Kajian Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam, h. 224.
[19] Muhammad bin A. W.
al-Aqil, Manhaj Aqidah Imam asy-syafi’i
Rahimahullah (terj), (Jakarta : Pustaka Imam asy-Syafi’i), Cet-6, h. 51.
[20] Lihat Kitab karangan
Muhammad Abu Zahrah, yaitu : Al-Syafi’i
Hayatuhu wa ‘Asruhu wa ‘Ara’uhu wa Fiqhuhu, h. 160.
[21] Indal Abror
Langganan:
Postingan (Atom)