A. Pendahuluan
al-Quran adalah kitab
yang agung dan sempurna, juga merupakan kitab suci yang menempati posisi
sentral dan sumber inspirasi bagi umat Islam khususnya dan dunia pada umumnya.
Tak terhitung kitab atau buku yang ditulis di dunia ini disebabkan informasi,
hukum dan berbagai perilaku yang harus dilakukan oleh manusia yang diperoleh
dari al-Quran. Namun, ayat-ayat
al-Quran tersebut banyak yang masih bersifat global, sehingga menuntut umat
Islam untuk melakukan studi atas kandungan isinya. Upaya untuk memahami kitab Allah
(al-Quran) serta
menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki, serta mengeluarkan
hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya disebut tafsir.
Mufasir pertama
dalam sejarah adalah Rasulullah Saw sebagai
penerima wahyu dari pemegang otoritas wahyu itu sendiri, yaitu Allah Swt Setelah Rasulullah Saw wafat, tidak ada lagi tempat bertanya yang
kebenaran tafsirnya bisa diyakini. Maka para sahabat Nabi menafsirkan secara
ijtihad dalam memahami al-Quran, khususnya
mereka yang tergolong memiliki kemampuan tafsir, seperti Ali bin Abi Thâlib, Ibn ‘Abbâs, ‘Ubay ibn Ka’ab dan Ibn
Mas’ûd, berlanjut sampai masa tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Pada
masa generasi yang disebut terakhir inilah tafsîr Ibn Katsîr muncul (abad
ke VIII H), yang merupakan salah satu kitab tafsir yang populer dan masyhur.
Tafsîr Ibn Katsîr
merupakan kitab yang paling banyak diterima dan tersebar di tengah umat Islam.
Penafsiran beliau sangat kaya dengan riwayat, baik hadis maupun atsar, sehingga sangat
bermanfaat dalam berbagai displin ilmu agama, seperti aqidah, fiqh, dan lain
sebagainya. Sangat wajar apabila Imâm al-Suyûthi berkata: “Belum
pernah ada kitab tafsir yang semisal dengannya.”
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mencoba menelaah secara
terperinci akan biografi pengarang kitab tafsir tersebut dan mengulas tentang
tafsir tersebut, dimulai dari bentuk fisik tafsir itu sendiri, latar belakang penulisan, bagaimana metode
penulisan, metode penafsiran, corak tafsir
itu sendiri, dan lain-lain. Bahkan, eksistensi tafsir tersebut dalam dunia
Islam hingga penelitian dan analisis terhadap kitab tafsir tersebut.
B.
Biografi: Selayang Pandang Pengarang Tafsîr Ibn Katsîr
Penulis kitab tafsir ini adalah Imâm al-Jalil Al-Hafiz Imad ad-Dîn,
Abî al-Fidâ’ Ismâ’il ibn Umar ibn Katsîr ibn Dhau’ ibn Dzar’i al-Bashri
al-Dimasyqî, al-Qurasyî, al-Syâfi’î. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Abu
al-Fidâ’, Namun, beliau dikenal dengan
julukan Ibn Katsîr, yaitu julukan yang disandarkan pada kakeknya (Katsîr). Ibn Katsîr adalah seorang ulama syâfi’î dan salah satu
dari ahli hadis, dilahirkan di desa ibunya yaitu desa mijdal yang berada di
Bashra. Menurut Solah Abdul Fatah al-Khalidi dalam bukunya Ta’rifu
al-Dârisin bi Manâhijil Mufassirîn, Ibnu Katsîr lahir pada tahun 700 H/1300 M .[1] Berbeda dengan Solah Abdul Fatah Al-Khalidi, Mannâ’ Khalîl al-Qattân
menyebutkan didalam bukunya Studi Ilmu-ilmu Quran bahwa Ibn Katsîr
dilahirkan pada tahun 705 H/1305
M.[2] Namun,
dibeberapa literatur yang penulis telaah, disebutkan bahwa Ibn Katsîr lahir
pada tahun 700 H/1300 M.
Ayahnya berasal
dari Bashra, bernama Syihâb al-Dîn
Abu Hafsh Umar ibn Katsîr.
Ia adalah salah seorang alim di kotanya, imam dan khatib di
kampungnya. Ayahnya wafat ketika Ibn Katsîr berumur tiga tahun. Selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahâb yang mendidik dan mengasuh Ibn Katsîr kecil, dan membawanya ke Damaskus. Pada
saat itu, beliau berguru pada ulama-ulama besar di Damaskus.[3]
1.
Pendidikan dan Aktivitas Keilmuan Ibn Katsir
Ketika berumur 6
tahun Ibnu Katsir pergi dan menetap di kota Damaskus, ibu
kota Syiria. Setibanya di Damaskus Ibnu Katsîr mendalami ilmu fiqh kepada Syaikh Burhan al-Dîn
Ibrâhim Ibn Abdi al-Rahman
al-Fazzari (w. 729) yang biasa
dikenal dengan sebutan Ibn al-Farkah. Kemudian, Ibn Katsîr belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada Syaikh Kamal al-Dîn bin Qodi Syuhbah. Lalu
ia berguru kepada; Isa bin Mut’im, Syaikh Ahmad bin Abî Thâlib
al-Muammarî (w. 730), Ibn Asakir (w. 723), Ibn Syayrazi, Syaikh Syamsu al-Dîn
al-Dzahabi (w. 748), Syaikh Abû Mûsa al-Qurâfî, Abû al-Fatah al-Dabusi, Syaikh Ishaq ibn al-Amadi (w.
725), Syaikh Muhammad ibn Zurad.
Kesungguhannya didalam menuntut ilmu membuatnya tidak hanya mengupas ilmu
dibidang fiqh, lebih dari itu, Ibn Katsîr pun menelusuri keilmuan dibidang lain
seperti tafsir, hadis, bahkan sejarah. Kesungguhan, kecerdasan serta daya hafal
yang kuat membawa sang imam menjadi sosok yang memiliki kredibilitas bukan
hanya dibidang tafsir, akan tetapi Ibn Katsîr pun dikenal sebagai ahli hadis
bahkan sejarah. Karya Ibn Katsîr dibidang hadis seperti “al-Takmîl fî
Makrifati al-Tsiqât wa al-Dlu’afâ’ wa al-Majâhil” atau karya beliau “ Jami’
al-Masânid wa al-Sunan “ menjadi bukti nyata bahwa selain tokoh dalam
dunia tafsir, Ibnu Katsir juga tokoh dalam dunia hadis, atau karyanya “al-bidayah
wa an-nihayah” menjadi bukti akan kompetensinya di bidang sejarah.
Pada ketika beumur 11 tahun, Ibn Katsîr berhasil menghafal al-Quran dibawah
bimbingan Syaikh Ghailan al-Ba’labaki, hal ini bertepatan dengan kedatangan
Syaikh al-Hafiz Ibn Jamâ’ah di kota Damaskus. Ibn Katsîr pun menemuinya
untuk berguru, dari Syaikh al-Hafiz Ibn Jamâ’ah inilah Ibn Katsîr
belajar takhrij hadis kitab ar-rafi’î (as-syarh al-kabir)
sebuah kitab fiqh mazhab syâfi’î.[4]
Dalam bidang hadis, ia banyak belajar dari ulama-ulama
Hijaz. Ibn Katsîr mempelajari Sahîh Muslim berguru kepada Syaikh Nazmu
al-Dîn bin al-Asqalâni, dan Ia memperoleh ijazah dari al-Wani. Ia
juga dididik oleh pakar hadis terkenal di Suriah yakni Jamal ad-Dîn al-Mizzi
(w. 742 H/1342 M), al-Mizzi kagum dengan beliau
sehingga menihkahkan Ibn Katsîr dengan anak perempuannya (Zainab).
Dalam waktu yang cukup lama, ia
hidup sebagai orang yang sederhana dan tidak terkenal. Popularitasnya dimulai
ketika ia terlibat dalam penelitian untuk menetapkan hukuman terhadap seorang
zindiq yang didakwa menganut paham hulul (inkarnasi). Penelitian ini
diprakarsai oleh Gubernur Altunbuga al-Nasirî di akhir tahun 741 H/ 1341 M.
Pada tahun 748 H/1341 M ia
menggantikan gurunya Muhammad ibn Muhammad al-Dzahabi di sebuah lembaga pendidikan Turba Umm Sâlîh.
Selanjutnya ia juga diangkat menjadi kepala lembaga pendidikan hadis di Dâr al-Hadîs al-Asyrafiyah
setelah Hakim Taqiuddin al-Subkî wafat yaitu kepala terdahulu yang
ia gantikan. Kemudian di tahun 768 H/1366 M ia diangkat menjadi guru besar oleh
Gubernur Mankali Buga di Masjid Umayah Damaskus.[5]
Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada
beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibn Katsir; mereka adalah:
a. Ibn Taymiyyah (728 H).
Banyak sekali sikap Ibn Katsîr yang terwarnai dengan Ibn Taymiyah, baik itu
dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya
sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibn Taymiyyah.
b. Syaikh Abû Abdillâh
Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi
c. Syaikh Abû Abbâs
Ahmad al-Hijar (Ibn al-Syahnah)
d. Syaikh Abu Ishâq Ibrâhim al-Fazarî
e. Syaikh al-Hâfidz
Kamal al-Diîn Abdul Wahhâb
f.
Imâm Kamal al-Dîn Abû Ma’ali Muhammad bin Zamalkanî
g. Imâm Muhyiyu al-Dîn Abû
Zakariyâ Yahya al-Syaibanî
h. Imâm Muhammad
Qosim al-Barzalî
i.
Syaikh Syamsu al-Dîn
Abû Nashr Muhammad al-Syirazi, dan lain-lain.
Selain memiliki
banyak guru, Ibn Katsîr juga
memiliki banyak murid, diantaranya:
a. Muhammad
bin Muhammad bin Khodri al-Quraysî
b. Mas’ûd al-Anthâki al-Nahwi
c. Muhammad ibn Abî Muhammad
al-Juzri (Syaikh Ilmu Qirâat)
d. Muhammad ibn Ismâil
j.
Imâm Ibn Abî ‘Uzz al-Hanafi, dan lain-lain.
2.
Karya-karya Ibn Katsîr
Sosok ulama seperti Ibn Katsîr, memang jarang kita temui,
ulama yang lintas kemampuan dalam disiplin ilmu. Spesialisasinya tidak hanya satu
jenis ilmu saja. Selain itu, ia juga sangat produktif dalam karya, telah banyak
karya-karya yang lahir dari tangan dan ketajaman berpikirnya. Diantara karya-karya
beliau adalah:
- Tafsîr bn Katsîr (Tafsîr al-Qurân al-Azhîm)
- al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Buku ini membahas tentang sejarah. Buku ini sering dijadikan rujukan para peneliti sejarah. Sumbernya begitu otentik. Karyanya ini berisikan berbagai tinjauan sejarah. Pertama, pemaparan tentang sejarah dan kisah Nabi-nabi beserta umatnya di masa lalu. Kisah ini ditopang dengan dalil-dalil yang kuat, baik itu dari Alquran maupun al-Sunnah, juga pendapat-pendapat para mufasir, muhadis dan sejarawan. Kedua, Ia menguraikan secara jelas mengenai bangsa Arab jaman jahiliyah, kemudian bangsa Arab ketika kedatangan Nabi Saw dan perjalanan dakwah Nabi Saw beserta para sahabatnya. Buku ini di akhiri dengan kisah Dazzal, juga ia ungkapkan mengenai tanda-tanda kiamat lainnya
- al-Takmîl fî Makrifati al-Tsiqât wa al-Dlu’afâ’ wa al-Majâhil. Buku ini adalah rujukan dalam ilmu hadis serta untuk mengetahui jarh wa ta’dil. karya ini adalah karya gabungan dua karya imam al-Dzahabi yaitu Tahdzîbu al-Kamâl fî Asmâ`i al-Rijâl dan Mîzân al-I’tidâl fî Naqdi al-Rijâl dengan tambahan dalam jarh wa ta’dil
- al-Hadyu wa al-Sunan fî al-Ahâdis al-Masânid atau yang mashur dengan istilah Jâmi’ al-Masânid. Dalam kitab ini, Ibnu Katsîr menggabungkan kitab Musnad Imâm Ahmad (w. 241), al-Bajjâr (w. 291), Abî Ya’la (w. 307) Ibn Abî Syaybah (w. 297), bersama kitab kutub al-Sittah. Kemudian Ia menyusunnya dengan bab per bab
- al-Sîrah al-Nabawiyah
- al-Musnad al-Syaikhân (Musnad Abu Bakar dan Umar)
- Syamâil al-Rasûl wa Dalâilu Nubuwwatihi wa Fadlâilihi wa Khashâ’isihi (dikutip dari kitab Bidâyah wa Nihâyah)
- Ikhtishar al-Sîrah al-Nabawiyah. Di ambil dari Bidâyah wa Nihâyah terkhusus mengenai kisah bangsa Arab jaman jahiliyah dan jaman Islam serta sirah Nabi Saw
- Ahâdîts al-tawhîd wa al-Rad ‘alâ al-Syirk
- Syarah al-Bukhâri (tidak selesai)
- Takhrîj Ahâdîts Muktashar ibn al-Hâjib
- Takhrîj Ahâdîts Adillatu al-Tanbîh fî Fiqh al-Syâfi’î
- Muktashar kitab Bayhaqi (al-Madkhal ilâ al-Sunan)
- Ikhtishar ‘Ulûm al-Hadîts li Ibn al-Shalâh
- Kitâb al-Simâ’
- Kitâb al-Ahkâm (tidak selesai hanya sampai bab haji saja)
- Risâlah al-Jihâd
- Thabâqât al-Syafi’iyyah
- Al-Kawâkib al-Dirâri (dikutip dari kitab bidâyah wa nihâyah)
- Al-Ahkâm al-Kabîrah
- Manâqib Al-Wadih An-Nafis fi Manaqib Al-Imam Muhammad bin Idris. (Imam al-syâfi’i), dan lain-lain.[6]
3.
Aliran Ibn Katsîr
Ibn Katsîr adalah seorang ulama yang beraliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dan
mengikuti manhaj Salafu al-Salih dalam beragama, baik itu
dalam masalah aqidah, ibadah maupun akhlak. Kesimpulan seperti itu dapat dibuktikan melalui
hasil karyanya yang banyak, termasuk di dalamnya kitab Tafsîr Ibn Katsîr. [7]
4.
Kondisi Sosial Pada Masa Ibn Katsîr
Kondisi pada saat itu, dunia Islam tengah diliputi tragedi yang sangat
memilukan, yaitu dengan dihadapkannya mereka pada sifat biadab dari Bangsa
Tartar, di mana banyak ulama dan kaum Muslimin yang dibantai, buku-buku penting
dimusnahkan, dan pusat-pusat peradaban lslam dihancurkan, semua itu tidak
pernah mematikan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di antara
ketakutan demi ketakutan yang terus meneror, dia mengayuhkan langkahnya untuk
menuntut ilmu kepada para ulama yang masih tersisa. Ibn Katsîr adalah seorang
pemikir dan ulama Muslim. Tercatat, guru pertamanya adalah Syaikh Burhan al-Dîn Ibrâhim Ibn Abdi al-Rahman al-Fazzari (w. 729), seorang ulama penganut mazhab Syâfi’î. Ia berguru kepada Ibnu Taymiyyah
di Damaskus, Suriah dan kepada Ibn al-Qayyim.[8]
Pada akhir
usianya beliau diuji dengan kehilangan pandangan (buta). Ibn al-Juzri
salah seorang murid dari Ibn Katsîr berkata, Ibn Katsîr berkata kepadanya: Aku
masih tetap menulis kitab (Jami’ al-Masânid) pada waktu
malam dengan cahaya yang semakin meredup sehingga mengakibatkan pandanganku
semakin melemah.[9]
Akhirnya, pada bulan Sya’ban 774 H/Februari 1373 M, mufasir ini
wafat di Damaskus. Jenazahnya dimakamkan di samping makam Ibnu Taymiyah, di Sufiyah Damaskus.[10]
C. Telaah Kitab Tafsîr Ibn Katsîr (Tafsîr al-Qurân al-Azhîm)
Mengenai nama tafsir yang dikarang
oleh Ibn Katsîr ini, tidak ada data yang dapat memastikan berasal dari
pengarangnya. Hal ini karena dalam kitab tafsir dan karya-karya lainnya, Ibn
Katsîr tidak menyebutkan judul/nama bagi kitab tafsirnya, padahal untuk
karya-karya lainnya ia menyebutkannya. Demikian pula dalam kitab-kitab biografi yang disusun
oleh ulama klasik, tidak
ada yang menyebutkan judul karyanya ini.[11]
Meski demikian, para penulis sejarah tafsir al-Quran, seperti Muhammad Husain al-Dzahabi dan Muhammad ‘Ali al-Sabuni,
menyebut tafsir karya Ibn Katsîr ini dengan nama Tafsîr al-Qurân
al-Azhîm.[12]
Tafsir ini disusun oleh Ibn Katsîr
berdasarkan sistematika tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf
al-Quran, yang lazim disebut sebagai sistematika tartîb mushâfi.[13]
Tafsîr Ibn Katsîr adalah salah satu kitab tafsir yang terkenal dengan
menggunakan pendekatan periwayatan atau yang biasa disebut tafsîr bi al-ma’tsûr.
Dalam kitab tafsirnya, Ibn Katsîr lebih banyak mencantumkan periwayatan baik
dari hadis-hadis Nabi, perkataan para sahabat dan tabi’in sebagai sumber dari argumentasinya,
tak jarang Ibnu Katsir juga memberikan penjelasan tentang jarh wa ta’dil pada periwayatan, mensahihkan dan
mendhaifkan hadis.[14]
Setiap kitab
tafsir memliki kecenderungan yang berbeda dalam penafsirannya. Pada Tafsîr
al-Qurân al-Azhîm ini, kecenderungan yang nampak adalah dari segi ahkam/fiqh.
Hal ini dapat disimpulkan, karena Ibn Katsîr selalu memberi penjelasan yang
luas disertai dengan pendapat para pada setiap ayat ahkam/fiqh.
1.
Bentuk Fisik Tafsîr Ibn Katsîr
Pada
mulanya buku ini ditulis dengan 10 jilid, tetapi
kemudian dicetak dengan 4 jilid yang
sangat tebal setiap jilidnya. Pada terbitan
Dâr al-Jîl, Beirut,
tahun 1991, kalasifikasinya seperti berikut:
a.
Jilid I, dari surat al-Fatihah sampai surat
an-Nisâ. Jumlah halaman 552 halaman
b.
Jilid II, dari surat al-Mâidah sampai surat al-Nahl. Jumlah halaman 573 halaman
c.
Jilid III, dari surat al-Isrâ samapai surat Yâsîn. Jumlah halaman 558 halaman
2.
Pencetakan Tafsîr Ibn Katsîr
Pencetakan penafsiran ini untuk pertama kalinya di percetakan pemerintah
pada tahun 1300 H ke 1302 H. kemudian dicetak ulang dalam sembilan volume atas
perintah Yang Mulia Raja Abdul Aziz ibn Abdul Rahman al-Saud, pada tahun tahun
1343 sampai 1347 H. Kitab ini pernah digabung penerbitannya dengan Ma’alim
At-Tanzil karya Al-Baghawi, namun akhirnya diterbitkan secara independen
dalam empat jilid berukuran besar.[16]
Kemudian dicetak secara komersial, yang didalamnya tidak lagi ada
pentashihanya, dan tidak ada revisinya, tapi hanya mencantumkan edisinya oleh al-Manar, mereka
mengambil pentashihan dan revisi yang sudah ada, dan hanya menambahi dan
mengurangi yang mampu saja.
3.
Latar Belakang Penulisan Tafsîr Ibn Katsîr
Dalam pendahuluan kitabnya Ibn Katsîr menjelaskan urgensi tafsir, para
ulama tafsir dari sahabat dan tabi’in, dan metode tafsir yang paling baik. Ibn Katsîr
mengatakan dalam pendahuluan kitab tafsirnya, bahwa kewajiban yang terpikul di
pundak para ulama ialah menyelidiki makna-makna kalamullah dan menafsirkannya,
menggali dari sumber-sumbernya serta mempelajari hal tersebut dan
mengajarkannya, sebagaimana yang disebutkan dalam kalam-Nya:
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ
ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
Artinya: “Dan
(ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan
jangan kamu menyembunyikannya.” Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang
punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk
tukaran yang mereka terima.” (QS. ‘Âli Imrân: 187)
Allah Swt mencela sikap
kaum ahli kitab sebelum kita, karena mereka berpaling dari Kitabullah yang
diturunkan kepada mereka, mengejar
keduniawiaan serta menghimpunnya, dan sibuk dengan semua hal yang sama sekali
tidak ada kaitannya dengan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt melalui kitab-Nya.
Maka sudah
menjadi kewajiban bagi kaum muslim untuk menghentikan semua perbuatan yang
menyebabkan mereka (kaum ahli kitab) dicela oleh Allah Swt, dan kita
wajib pula mengerjakan hal-hal yang diperintahkan Allah Swt, yaitu mempelajari
Kitabullah yang diturunkan kepada kita, mengajarkannya, memahaminya dan
memberikan pengertian tentangnya.[17]
Dengan kalam Allah di atas, maka menurut Ibn Katsîr wajib bagi ulama untuk
menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam kalam Allah dan tafsirnya.
4.
Referensi
Tafsîr Ibn Katsîr
Setelah diteliti oleh para muhaqqiq dalam
bidang tafsir dan hadis, Tafsir Tafsîr Ibn Katsîr sangat ilmiah dan kaya dengan
referensi yang sulit di dapat. Bahkan sekarang ada beberapa jenis referensi
yang sudah tidak ada dan sangat sulit dicari. Betapa karya ini kaya dengan ilmu
yang menyimpan mutiara-mutiara berharga, karena Ibn Katsîr menjadikan referensi
karyanya yang diambil dari berbagai disiplin ilmu, baik itu tafsir, ilmu
tafsir, hadis, ilmu-ilmu hadis, lughah, sejarah, fiqh, ushul fiqh, bahkan
geografi. Dari hasil penelitian, Tafsîr Ibn Katsîr menjadikan rujukannya tidak
kurang dari 241 referensi yang terkumpul dari berbagai disiplin ilmu. Dari
jumlah itu bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
a.
Kutûb al-Muqaddasah;
al-Quran, al-Taurat dan Injil
b.
Tafsir dan
ilmunya, tidak kurang dari 36 judul buku dari berbagai pengarang
c.
Hadis,
syarh hadis dan ilmu-ilmunya terdiri dari 71 judul buku dari berbagai pengarang
d.
Fiqh dan
ilmu ushul fiqh yang terhipun dari 32 judul buku
e.
Sejarah tidak
kurang dari 25 judul buku
f.
Bahasa dan
disiplin ilmunya 4 judul buku
g.
Kategori
berbagai disiplin ilmu terdiri dari 44 judul buku.
h.
Kategori
karya umum, 7 judul buku
i.
Naql
langsung dari guru-guru Ibn Katsîr
j.
Kategori
umum yang tidak bisa dilacak kurang lebih 13 jenis.[18]
5.
Metode Penulisan
Adapun sistematika penulisan kitab tafsir ini adalah:
a. Pada permulaan tafsir ini
diawali dengan muqadimah yang panjang, di dalam muqadimah ini berisikan tentang
banyak hal yang berhubungan dengan al-Quran dan tafsirnya. Akan tetapi
kebanyakan dari isi muqadimahnya merupakan saduran dari perkataan Ibnu Taimiyah
yang diambil dari Muqadimah kitab beliau, yakni kitab usûl al-tafsîr.
b. Ayat al-Quran ditulis
lengkap, baru kemudian diberikan penafsiran. Dan seringkali di dalam
penafsirannya disertakan ayat lain untuk menafsirkan ayat tadi.[19]
c. Ibnu Katsir menggunakan
hadis dan riwayat, menggunakan ilmu jarh wa ta’dil, melakukan
komparasi berbagai pendapat, dan mentarjih sebagiannya, serta mempertegas
kualitas riwayat-riwayat hadis yang sahih dan yang dhaif.[20]
d. Ibn Katsîr menyebutkan
hadis-hadis marfu’ yang berkaitan denga ayat itu, serta menyertakan pendapat-pendapat
para sahabat dan para tabi’in. Beliau tidak hanya menyertakan pendapat dari
para sahabat dan tabi’in saja, akan tetapi beliau juga mentarjih diantara
pendapat mereka. Melemahkan pendapat yang lemah dan mensahihkan pendapat yang
sahih serta melakukan jarh wa ta’dil terhadap para rawi hadis tersebut.
e. Kebanyakan penafsiran dari
Ibn Katsîr mengutip dari tafsirnya Ibn Jarîr al-Thabariy, tafsir Ibn Abî Hâtim,
tafsirnya Ibn A’thiyyah. Akan tetapi tafsir Ibn Katsir ini berbeda dengan
kitab tafsir lainnya. Hal ini dikarenakan di dalam tafsirnya beliau menjelaskan
tentang kemunkaran israiliyat. Kadang kala beliau menjelaskan secara umum dan
kadangkala menjelaskannya secara khusus.[21]
f.
Selain itu, beliau juga selalu memaparkan masalah-masalah hukum yang
ada dalam berbagai madzhab, kemudian mediskusikannya secara komprehensif.[22]
Ibn Katsîr menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan sunnah,
dengan perkataan sahabat, perkataan tabi’in dan bahasa Arab, kemudian
menyimpulkan hukum-hukum dan dalil-dalil dari ayat al-Quran.
1)
Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran[23]
Contoh Tafsir al-Quran dengan al-Quran adalah:
Ketika Ibnu Katsîr manafsirkan tentang isti’azah dan menjelaskan
hukum-hukumnya, demikian ia menghadirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan urusan
orang mukmin tentang perlindungan dari syetan.
Kalam Allah dalam al-Quran:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ
نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan jika kamu
ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah.” (QS. al-A’raf:
200
وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ
الشَّيَاطِينِ
Artinya: “Dan
Katakanlah: Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan
syetan.” (QS. al-Mukminûn: 97)
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ
نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu
gangguan, Maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Fushilat: 36)
Inilah tiga
ayat yang tidak ada pertentangan di dalam maknanya,
yang saling menjelaskan, ayat yang satu dengan yang lainnya, dan di dalam ayat ini
menjelaskan bahwasanya Allah menyuruh berbuat baik kepada manusia, dan
Allah Swt memerintahkan
untuk berlindung dari kejahatan syaitan.[24]
Ibnu Katsîr dalam
tafsirnya banyak menafsirkan al-Quran dengan hadis, dan hadis-hadis yang marfu’
dari Nabi Saw sangat
banyak dalam tafsirnya. Dalam pengambilan hadis-hadis dari kitab-kitab sunnah,
ia menyebutkan semua sanad-sanad hadis tersebut.
Ibnu Katsîr dalam
menafsirkan satu ayat memasukkan satu hadis, dua hadis dan juga tiga hadis
sekaligus, kadang-kadang menyebutkan lebih banyak dari itu, dan kadang-kadang
juga dalam menafsirkan satu ayat ia memasukkan banyak hadis yang mencapai lebih
dari 10 hadis.
Contoh tafsir
al-Quran dengan sunnah adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {لِلَّهِ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ
تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ
يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ} اشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثم جَثَوْا عَلَى الرُّكَبِ، وَقَالُوا: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، كُلِّفْنَا مِنَ الْأَعْمَالِ مَا نُطيق: الصَّلَاةُ
وَالصِّيَامُ وَالْجِهَادُ وَالصَّدَقَةُ، وَقَدْ أُنْزِلَ عَلَيْكَ هَذِهِ
الْآيَةُ وَلَا نُطِيقُهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتُرِيدُونَ
أَنْ تَقُولُوا كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ مِنْ قَبْلِكُمْ: سَمِعْنَا
وَعَصَيْنَا؟ بَلْ قُولُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا، غُفْرَانَكَ رَبَّنَا
وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ.[26]
Setelah
menafsirkan al-Quran dengan al-Quran dan dengan sunnah, Ibnu Katsîr menafsirkan
al-Quran dengan pendapat sahabat dan tabi’in. Dalam mengambil pendapat sahabat
dan tabi’in, Ibn Katsîr banyak mengutip dari kitab-kitab tafsir yang
ma’tsur lainnya, seperti kitab tafsir Ibn
Jarîr al-Thabariy,
Ibn Abî Hâtim, Ibn Munzir dan Ibn Mardawaih.
Tafsir Ibnu
Katsîr memasukkan perkataan sahabat di dalam kitab tafsirnya seperti; perkataan
al-Khulafâ’ al-Rasyidîn, Ibn ‘Abbâs, Ibn Mas’ûd,
Abû Ibn Ka’ab, Abdullah ibn Umar,
Abdullah ibn ‘Amr, Abû
Hurairah, Abû Darda’, Mu’az ibn Jabâl, Qatâdah dan lain-lain.
Untuk perkataan ulama tafsir dari tabi’in, seperti; Mujâhid, Atha’ Ibn Abî Rabah,
‘Akramah, Thawas al-Yamanî, Abû Aliyah, Zaid ibn Aslam, Sa’id ibn Musayyab, Muhammad
ibn Ka’ab al-Qarzhî, Sa’id ibn Jubair, Hasan al-Bashrî, Masruq ibn al-Ajda’,
Abu Wa’il, Muqâtil ibn Hayyân, Muqâtil ibn Sulaiman al-Balakhî, Rabi’ ibn Anas,
dan lain-lain.
Contoh tafsir
al-Quran dengan perkataan sahabat dan tabi’in:
{فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ
مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ}
قَالَ
السُّدِّيُّ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ وَعَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
وَعَنْ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيِّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَعَنْ أُنَاسٍ مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ:
{فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ} قَالَ: شَكٌّ، {فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا} قَالَ:
شَكًّا.[28]
Menurut kesepakatan para Dosen Tafsir Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga yang diterangkan didalam sebuah buku yang
berjudul Studi Kitab Tafsir menyebutkan bahwa Ibn Katsîr sering kali
mengutip pendapat Ibnu Abbâs dan Qatadah pada level sahabat. Pada level tabi’in ia tidak mengambilnya sebagai hujjah jika para
tabi’in itu tidak terjadi kesepakatan dalam pendapat. Sedangkan pada level
ulama’ yang sering dikutip oleh Ibnu
Kasir dalam tafsirnya adalah pendapat Ibn Jarîr al-Thabariy.[29]
4)
Menafsirkan al-Quran dengan bahasa Arab
Ibn Katsîr
menafsirkan al-Quran dengan kaidah bahasa Arab, dengan menjelaskan kesulitan
yang terdapat di dalamnya. Ia menafsirkan al-Quran dengan syair Arab dan
membolehkannya. Dan ia merujuk kepada perkataan ulama ahli bahasa seperti
al-Firâ’, Abû Ubaidah, Akhfâsy, al-Kisâ’iy,
Tsa’labiy dan lain-lainnya.
Contoh tafsir
al-Quran dengan bahasa Arab:
تفسير
الأية فى سورة البقرة: الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
قال
ابن كثير: وَأَصْلُ الصَّلَاةِ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ الدُّعَاءُ، قَالَ
الْأَعْشَى:
5)
Menyimpulkan hukum-hukum dan dalil-dalil dari ayat al-Quran
Ibnu Katsîr dalam menyimpulkan hukum-hukum tentang ayat di dalam kitab
tafsirnya, dia menjelaskan dengan argumen-argumen yang jelas, dan menguraikan
serta mengeluarkan hukum fiqh ketika menafsirkan ayat hukum.
Contoh tafsir
dalam menyimpulkan hukum-hukum dan dalil-dalil dari ayat al-Quran:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ
تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا}.
هَذِهِ
الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ فِيهَا أَحْكَامٌ كَثِيرَةٌ. مِنْهَا:
إِطْلَاقُ النِّكَاحِ عَلَى الْعَقْدِ
وَحْدَهُ، وَلَيْسَ فِي الْقُرْآنِ آيَةٌ أَصْرَحُ فِي ذَلِكَ مِنْهَا.
وَفِيهَا دَلَالَةٌ لِإِبَاحَةِ طَلَاقِ
الْمَرْأَةِ قَبْلَ الدُّخُولِ بها.
وَقَوْلُهُ: {الْمُؤْمِنَاتِ} خَرَجَ مَخْرَجَ
الْغَالِبِ؛ إِذْ لَا فَرْقَ فِي الْحُكْمِ بَيْنَ الْمُؤْمِنَةِ
وَالْكِتَابِيَّةِ فِي ذَلِكَ بِالِاتِّفَاقِ.
وَقَدِ اسْتَدَلَّ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَسَعِيدُ
بْنُ المسَيَّب، وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَعَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ، زَيْنُ الْعَابِدِينَ،
وَجَمَاعَةٌ مِنَ السَّلَفِ بِهَذِهِ الْآيَةِ عَلَى أَنَّ
الطَّلَاقَ لَا يَقَعُ إِلَّا إِذَا تَقَدَّمَهُ نِكَاحٌ؛ لِأَنَّ اللَّهَ
تَعَالَى قَالَ: {إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ} ،
فَعَقَّبَ النِّكَاحَ بِالطَّلَاقِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَصِحُّ وَلَا يَقَعُ
قَبْلَهُ. وَهَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، وَطَائِفَةٍ
كَثِيرَةٍ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ، رَحِمَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى.
وَقَوْلُهُ: {فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ
عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا} : هَذَا أَمْرٌ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ:
أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا طُلِّقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا
فَتَذْهَبُ فَتَتَزَوَّجُ فِي فَوْرِهَا مَنْ شَاءَتْ.
وَقَوْلُهُ: {فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ
سَرَاحًا جَمِيلا} : الْمُتْعَةُ هَاهُنَا أَعَمُّ مِنْ أَنْ تَكُونَ نِصْفَ
الصَّدَاقِ الْمُسَمَّى، أَوِ الْمُتْعَةُ الْخَاصَّةُ إِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ
سَمَّى لَهَا.[31]
Ibn Katsîr menyajikan
sekelompok ayat yang berurutan yang dianggap berkaitan dan berhubugan dalam
tema kecil. Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman adanya munāsabah
ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam tartīb mushafī. Dengan begini akan diketahui adanya
keintegralan pembahasan al-Quran dalam satu tema kecil yang dihasilkan kelompok
ayat yang mengandung munasābah antar ayat-ayat al-Quran, sehingga mempermudah
seseorang dalam memahami kandungan al-Quran serta yang penting adalah terhindar
dari penafsiran secara parsial yang bisa keluar dari maksud nash.[32]
Dari cara tersebut, menunjukan adanya pemahaman lebih utuh yang dimiliki
Ibn Katsîr dalam memahami munâsabah dalam urutan ayat, selain munâsabah antar
ayat (tafsir al-Qur’an dengan al-Quran) yang telah diakui kelebihannya oleh
para peneliti.
6.
Metode Penafsiran
Metode penafsiran adalah
metode tertentu yang digunakan oleh mufasir dalam penafsirannya. Pada umumnya
metode ini terbagi menjadi empat, yaitu metode tahlîlîy (analitis), ijmâlîy (global), muqârin
(perbandingan), dan mawdhû’iy (tematik).[33] Dan setiap
metode yang digunakan pasti memiliki suatu ciri dan spesifikasi
masing-masing.
Tafsîr al-Qurân al-Azhîm ini dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir
dengan metode tahlîlîy (analitis). Karena dalam menafsirkan setiap ayat,
Ibn Katsîr menjelaskannya secara rinci dengan mencantumkan beberapa periwayatan
yang lalu digunakan sebagai pendukung dari argumentasinya.
Yang dimaksud dengan metode tahlîlîy adalah menafsirkan
ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan ayat-ayat al-Quran dan memaparkan berbagai
aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan dari mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut .[34]
Dalam menerapkan
metode ini biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung oleh al-Quran, ayat
demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf.
Uraian tersebut menyangkut beberapa aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan
seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat,
kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasâbat),
dan tak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan berkenaan dengan
tafsiran ayat tersebut baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, maupun para
tabi’in, dan tokoh tafsir lainnya.
Meski demikian,
metode penafsiran kitab ini pun dapat dikatakan semi mawdhû’iy (tematik), karena
ketika menafsirkan ayat ia mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu
konteks pembicaraan ke dalam satu tempat baik satu atau beberapa ayat,[35] kemudian ia
menampilkan ayat-ayat lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang
ditafsirkan itu.
Bagaimanapun
bentuk metodologi yang dipakai, ia tetap merupakan produk ijtihadi atau hasil
dari olah pikir manusia yang memiliki keterbatasan. Dan keterbatasan inilah
yang menimbulkan ketidak sempurnaan, maka pada metode ini dapat kita temukan
kelebihan dan kekurangan yang akhirnya menjadi ciri-ciri yang ada pada setiap
metode.
Tafsîr Ibn Katsîr
termasuk kategori tafsîr bil ma’tsûr. Ini terbukti karena beliau
sangat dominan dalam tafsirannya memakai riwayat atau hadis,
dan pendapat sahabat dan tabi’in. Dapat dikatakan bahwa dalam tafsir ini yang
paling dominan ialah pendekatan normatif historis yang
berbasis utama kepada hadis atau riwayat. Namun Ibn Katsir pun
terkadang menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat.
Adapun corak
penafsiran dalam Tafsîr Ibn Katsîr adalah
menitikberatkan kepada masalah fiqh. Beliau
mengetengahkan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh dan menyelami
madzhab-madzhab serta dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh mereka, manakala
membahas tentang ayat yang berkaitan dengan masalah hukum. Tetapi meski
demikian, beliau mengambil cara yang pertengahan, singkat, dan tidak
berlarut-larut sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan ulama fiqh ahli tafsir
dalam tulisan-tulisan mereka.[36]
7.
Penafsiran Ibn Katsîr Terhadap Ayat-ayat Tertentu
Di dalam dunia tafsir al-Quran, ada beberapa hal yang
“kontroversial” mengenai sikap dan pandangan mufasir itu sendiri dalam menyikapi
suatu ayat tertentu. Mengenai hal itu, di bawah ini akan dikemukakan beberapa
hal yang terkait dengan sikap dan pandangan Ibn Katsîr ketika menafsirkan ayat tersebut. Hal-hal dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Tentang ayat-ayat
Israiliyat
Ibn Katsir menggunakan daya kritisnya yang tinggi terhadap
cerita-cerita Israiliyat. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini
bahwa beliau mengatakan sehubungan dengan tafsir surat al-Baqarah ayat 67 dan
ayat-ayat sesudahnya. Yaitu dalam kalam-Nya:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً…
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
seekor sapi betina. (Q.S. al-Baqarah: 67),
hingga akhir ayat tentang kisah ini.[37]
Ibn Katsîr mengetengahkan suatu kisah yang cukup panjang, beliau
menerangkan tentang pencarian mereka terhadap sapi tertentu dan keberadaan sapi
itu ditangan seorang lelaki Bani Israil yang sangat berbakti kepada orang
tuanya, hingga akhir kisah. Lalu Ibn Katsîr meriwayatkan semua pendapat
yang menanggapi hal ini dari sebagian ulama salaf. Setelah itu
beliau mengatakan, yang teksnya berbunyi seperti berikut, “Riwayat-riwayat
ini bersumber dari Ubaidah, Abû ‘Aliyah, al-Saddi,
dan lain-lainnya, mengandung
perbedaan pendapat. Tetapi makna lahiriyahnya menunjukkan bahwa kisah-kisah
tersebut diambil dari kitab-kitab Bani Israil,
dan termasuk kategori kisah yang boleh diambil, tetapi tidak boleh dibenarkan dan tidak boleh
pula didustakan. Karena itu tidak dapat dijadikan pegangan kecuali apa yang
selaras dengan kebenaran yang ada pada kita. Hanya Allah-lah yang Maha
Mengetahui.” [38]
Demikian juga terhadap riwayat-riwayat Israiliyat yang
dinilainya tidak dapat dicerna oleh akal sehat, ia terkadang meriwayatkannya
disertai peringatan, misalnya ketika ia menafsirkan Qs. al-Baqarah (2): 102 yang berisi kisah Harut dan Marut,
dan ketika menafsirkan Qs. al-Ahzab (33): 37 yang berisi tentang kisah Nabi dan
Zainab ibn Jahsy. Bahkan, meskipun meriwayatkannya, ia pun terkadang
membantahnya dengan keras. Misalnya, ketika ia menafsirkan Qs. al-Mâidah (5): 22
yang menceritakan tentang keengganan kaum Nabi Musa As. untuk melaksanakan
perintahnya memasuki Palestina karena terdapat orang-orang yang gagah perkasa (qaumun jabbarun). Dalam riwayat-riwayat yang dikutipnya diceritakan tentang
ciri- ciri fisik qaumun jabbarun yang menyatakan bahwa salah seorang penghuni
negeri itu adalah cucu Nabi Adam As. yang tinggi badannya 3.333 1/3 hasta. Ia
mengomentarinya bahwa hal tersebut mustahil dan bertentangan dengan dalil yang
kuat dari Sahîh al-Bukhâri dan Muslim yang menyatakan
bahwa Allah menciptakan Adam dengan tinggi badan 60 hasta, setelah itu sampai
sekarang Dia menciptakan (manusia tingginya) kurang dari itu.[39]
Adakalanya riwayat-riwayat Israiliyat yang ia pakai
hanyalah sekedar “aksesoris” untuk menambah penjelasan, seperti tentang
nama-nama ashâb al-kahf, jumlah dan warna anjing mereka, dan tentang
jenis kayu yang menjadi bahan baku tongkat Nabi Musa As. Tetapi, riwayat Isrâiliyat
yang nyata-nyata tidak sejalan atau bertentangan dengan ajaran Islam tidaklah dipakai oleh Ibn Katsîr.[40]
b. Tentang ayat-ayat hukum
Sebagai seorang ahli hukum dalam Islam,
ketika menafsirkan ayat-ayat yang bernuansa hukum, Ibn Katsîr memberikan
penjelasan yang relatif lebih luas, apalagi ketika menafsirkan ayat-ayat yang
dipahami secara berbeda-beda di kalangan para ulama. Dalam hal ini, ia kerap
kali menyajikan diskusi dengan mengemukakan argumentasi masing-masing,
termasuk pendapatnya sendiri, misalnya ketika menafsirkan Qs. al-Baqarah (2):
185 yang berisi tentang perintah berpuasa di bulan Ramadhan, dan perintah menggantinya bagi orang yang
sakit dan dalam perjalanan
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا
هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dari penafsiran-penafsirannya dalam
masalah-masalah fiqh ini, terlihat bahwa ia adalah
seorang yang moderat dan toleran.
c. Tentang naskh (penghapusan).
Dalam masalah ini, Ibn Kasîr termasuk yang
berpendapat bahwa naskh
dalam al-Quran itu ada. Menurutnya, naskh ialah
penghapusan hukum atau ketentuan yang terdahulu dengan hukum yang terdapat
dalam ayat yang muncul lebih belakangan. Adanya penghapusan ini merupakan
kehendak Allah sesuai kebutuhan demi kemaslahatan, sebagaimana al-Quran banyak me-naskh ajaran-ajaran sebelumnya.
Contohnya ialah penghapusan hukum pernikahan antara saudara kandung sebagaimana
yang dilakukan oleh putra-putri Nabi Adam As., penghapusan penyembelihan Ibrâhim
As. atas putranya yakni Ismâil As., dan sebagainya.
d.
Tentang muhkam dan mutasyâbih
Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa dalam hal ini beliau
mengikuti pendapat Muhammad Ibn Ishâq ibn Yasar, yang
berpendapat bahwa ayat-ayat al-Quran yang muhkam merupakan argumentasi Tuhan, kesucian hamba, dan untuk mengatasi
perselisihan yang batil. Pada ayat-ayat tersebut, tidak ada perubahan dan
pemalsuan. Sedangkan pada ayat-ayat yang mutasyâbih tidak ada
perubahan dan pentakwilan. Allah hendak menguji hamba-hambanya melalui ayat ini
sebagaimana dalam hal halal dan haram; apakah dengannya akan berpaling kepada
yang batil, dan berpaling dari kebenaran.[41]
e.
Tentang ayat-ayat tasybîh (antropomorfis)
Dalam
mengartikan ayat-ayat semacam ini ia nampaknya mengikuti pendapat ulama salaf al-Sâlih yang berpendapat tidak adanya penyerupaan (tasybîh) perbuatan Allah dengan hamba-hamba-Nya. Ia memilih “membiarkan”
atau tidak mengartikan lafaz-lafaz tasybîh dalam al-Quran seperti kursî, ‘arsîy, dan
istawâ
yang terdapat dalam al-Quran. Lagi-lagi
dalam hal ini, dominasi riwayat atau hadis sangat kuat mempengaruhi
penafsirannya, dan sama sekali tidak mentakwilnya. Dalam menafsirkan ayat-ayat
semacam ini, ia menjelaskan dengan mengutip pendapat sejumlah ulama. Ia juga
mengutip hadis-hadis.
d.
Tentang
ayat-ayat yang dipahami secara berbeda-beda.
Pada
dasarnya pada banyak ayat, khususnya menyangkut pembahasan hukum atau fiqh, perbedaan
penafsiran dapat saja, bahkan seringkali terjadi.
Namun, di sini ingin ditegaskan kembali bahwa kontroversi dan terkadang
kontradiksi penafsiran di kalangan para ulama itu, oleh Ibn Katsîr
biasanya dideskripsikan, didiskusikan dan dianalisis secara rinci. Sebagai
contoh ketika ia
menafsirkan surat al-Isrâ’ (17): 15
مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا
يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
Dalam
menafsirkan ayat ini, ia mengemukakan 6 buah hadis, dan juga mengemukakan 3 pendapat
tentang anak-anak yang musyrik.
Ketiga pendapat
tersebut ialah: pertama, bahwa mereka masuk surga; kedua, merupakan usaha orang tuanya; dan ketiga, tidak memberikan
komentar/menangguhkan (tawaqquf).[42]
D.
Eksistensi Tafsîr Ibn Katsîr dalam Dunia Islam
1.
Komentar Ulama
Para pakar tafsir dan Ulûm al-Qurân umumnya menyatakan
bahwa Tafsîr Ibn Katsîr ini merupakan kitab tafsîr bi al-Ma’sûr
terbesar kedua setelah Tafsîr al-Thabarîy. Namun menurut Subhi al-Salih,
dalam berbagai aspek, kitab Tafsîr Ibn Katsîr ini memiliki keistimewaan jika
dibandingkan dengan Tafsîr al-Thabarîy, seperti dalam hal ketelitian sanadnya,
kesederhanaan ungkapannya, dan kejelasan ide pemikirannya.
Kelebihan lain dari kitab tersebut penafsiran ayat dengan
ayat atau al-Quran dengan al-Quran, dan dengan hadis yang tersusun ecara semi
tematik, bahkan Ibn Katsîr dapat dikatakan sebagai perintis dalam hal ini.
Selain itu, dalam tafsir ini banyak memuat informasi dan kritik tentang riwayat
Israilliyyat, dan mengindari kupasan-kupasan linguistik yang cendrung
bertele-tele, karena itu lah al-Suyûthî (w. 911) memujinya sebagai kitab tafsir
yang tiada tandingannya.[43]
Imâm al-Suyûthî dan al-Zarqâni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar; “Sesungguhnya
belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini”. [44]Dalam hal ini Rasyid Ridha berkomentar; “Tafsir ini merupakan tafsir
paling masyhur yang memberian perhatian besar pada riwayat-riwayat dari para
mufasir salaf, menjelaskan mana-mana ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan
masalah i’rab dan cabang-cabang balâghah yang pada umumnya
dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufasirin, menghindar dari
pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam
memahami al-Quran secara umum atau hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.”[45]
Namun, tidak berarti kitab ini luput dari kekurangan dan kritik. Muhammad
al-Ghazali menyatakan didalam sebuah bukunya yang diterjemahkan oleh Masykur
Hakim dan Ubaidillah dengan judul “Berdialog dengan al-Quran: Memahami Pesan
Kitab Suci dalam Kehidupan Masa Kini” bahwa walaupun Ibn Katsîr dalam tafsirnya
telah menyeleksi hadis-hadis atau riwayat-riwayat, namun, masih ada juga memuat
hadis yang sanadnya dhaif dan kontradiktif. Hal seperti itu tidak hanya ada
dalam Tafsîr Ibn Katsîr, tetapi juga pada kitab-kitab tafsîr bi al-ma’sûr
lainnya.[46]
Selain itu, secara teknis ia terkadang hanya
menyebutkan maksud hadisnya tanpa menampilkan matan/redaksi hadisnya, dengan
menyebut fî
al-Hadîs (dalam suatu hadis) atau fî al-Hadîs al-akhar (dalam hadis yang lain). Seperti, ketika ia
menafsirkan surah al-Isrâ’ (17): 36.
Hal lainnya ialah ketika menguraikan perdebatan yang berhubungan
dengan masalah fiqh. Ia kadang-kadang terlampau berlebihan, sehingga Mahmud Basuni
Faudah mengkritik “Ibn Katsîr suka melantur jauh dalam membahas masalah-masalah fiqh ketika
menafsirkan ayat-ayat hukum.” Berbeda dengan Basuni Faudah,
Muhammad Husaîn al-Dzahabi menilai
bahwa diskusi-diskusi masalah fiqhnya itu masih dalam
batas-batas kewajaran, tidak berlebihan sebagaimana umumnya mufasir dari
kalangan fuqaha’.[47]
2.
Penelitian dan Analisis Terhadap Tafsîr Ibn Katsîr
Ibn Katsîr sebagaimana
manusia biasa, tentunya tidak akan terlepas dari sifat lupa, maupun salah. Dari
hasil penelitian, terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran
dalam karyanya. Sejauh ini, yang penulis ketahui, catatan tersebut adalah buah
karya para peneliti ulama al-Azhar Mesir, yang melakukan research terhadap karya-karya klasik. Hasil
tahqiq turats yang di gencarkan oleh pihak universitas, setidaknya hal ini
telah memberikan kontribusi yang berharga dalam menjaga warisan klasik. Memang catatan
yang ditujukan kepada tafsir ini tidak mengurangi keilmiahan dan nilai tafsir
ini.
Dalam hal ini, hasil penelitian tersebut diuraikan sebagai berikut;
a. Kesalahan dalam
penyandaran. Contohnya,
dalam tafsir surah Âli ‘Imrân: 169. Ia menyebutkan
riwayat Imâm Ahmad; tsanâ Abdus Samad, tsanâ
Hamâd, tsanâ Tsabit, ‘an Anas marfû’an, “mâ min nafsin tamûtu laha…” al-Hadis. Ibn Katsîr berkata,
“tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“. Hadis ini dikeluarkan oleh Imâm Muslim dari
jalan Hammad dan Qatadah
dari Anas. Imam Muslim tidak mengeluarkan hadis ini dari Tsabit melalui jalur
Anas. Sebenarnya yang meyendiri itu adalah riwayat Imâm Ahmad, “tafarrada bihi Ahmad min tharîq Hamâd“.
b. Kesalahan dalam
nama sahabat yang meriwayatkan hadis, atau penyandaran hadis kepada sahabat,
padahal tidak terdapat hadis sahabat tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir
surah Yusûf: 5. Dalam
penafsiran surah ini, Ia
mengungkapkan hadis yang diriwayatkan oleh Imâm Ahmad
dan sebagian Ahli Sunan dari Muawiyyah ibn Haydah al-Qusyayrî sesungguhnya dia
berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru’ya ‘alâ rajuli thâ`ir mâ lam tu’bar…..“. Seperti
inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah ibn Haydah yang diriwayatkan oleh Imâm Ahmad.
Imâm Abu Dâwud, Imâm al-Tirmidzi dan
Ibn Mâjah serta yang lainnya meriwayatkan hadis dari Abî Rizin al-’Uqayli.
Padahal hadis ini tidak diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin
al-’Uqayli.
c. Kesalahan dalam mata
rantai sanad. Contoh, tafsir surah al-An’am:59 dari Ibn Abî Hâtim dengan
sanadnya kepada Mâlik ibn Sa’îr, tsanâ al-A’mas, dari Yazid ibn Abi Ziyad dari
Abdullah ibn al-Harits dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin….”. Ibn
Katsîr berkata, seperti inilah Ibn Jarir meriwayatkan, Ziyad ibn Yahya al-Hasani
Abû al-Khattab. Sementara dalam Tafsîr Ibn Katsîr didapati bahwa yang
meriwayatkan itu, Ziyad ibn Abdullah al-Hasani Abû al-Khattab. Ini
jelas keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Mâlik ibn Sa’ir melalui
jalan Ziyad ibn Yahya al-Hasani Abû al-Khattab dari Ziyad.
d. Kurang
menyentuh dalam menyandarkan riwayat. Contoh, sebagaimana yang Ia ungkapkan
dalam menafsirkan surah Âli ‘Imrân:180.
Ia mengemukakan hadis, “lâ ya’ti al-rajulu
mawlâhu fayas’aluhu…“. Ibn Katsîr
merasa cukup menyandarkan dalam periwayatannya kepada Ibn Jarir.
Padahal, hadis ini diriwayatkan oleh Imâm Ahmad,
Abû Dawud, Nasâ’i dan yang
lainnya, yang lebih utama untuk di sandarkan.
e. Lupa dalam
menukil beberapa perkataan ulama. Contonya, tafsir surah al-A’raf: 8. Ia
menyebutkan hadis riwayat Imâm al-Tirmidzi. Imam al-Tirmidzi
mengomentari hadis ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa shahhahahu”. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza
al-hadîs hasan gharîb”.[48]
E.
Kesimpulan
Setelah melakukan penelaahan terhadap kitab Tafsîr Ibn Katsîr, baik itu pengarang
maupun hal uyang mnegenai kitabnya, penulis mendapatkan banyak pengetahuan yang
telah penulis tuangkan dalam sebuah presentasi makalah pada mata kuliah
membahas kitab tafsir, hal-hal yang penulis tuangkan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa;
Penulis kitab tafsir ini adalah Imâm al-Jalil Al-Hafiz Imad ad-Dîn,
Abî al-Fidâ’ Ismâ’il ibn Umar ibn Katsîr ibn Dhau’ ibn Dzar’i al-Bashri
al-Dimasyqî, al-Qurasyî yang lahir pada abad ke-8 Hijriyyah. Ia adalah seorang
mufasir yang bermadzhab al-Syâfi’î. Ibnu Katsîr pernah belajar fiqh dan ushul fiqh kepada Syaikh
Burhan al-Dîn Ibrâhim Ibn Abdi al-Rahman al-Fazzari dan kepada Syaikh Kamal
al-Dîn bin Qodi Syuhbah. Ibn Katsîr pun menelusuri keilmuan dibidang lain
seperti tafsir, hadis, bahkan sejarah.
Berdasarkan kalam Allah surat ‘Âli Imrân ayat 187, maka menurut Ibn Katsîr
wajib bagi ulama untuk menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam firman
Allah dan tafsirya. Hal ini lah yang melatar belanginuya sehingga ia tergugah
untuk menulis sebuah kitab tafsir.
Tafsir karya
Ibn Katsîr ini bernama Tafsîr al-Qurân al-Azhîm. Tafsîr Ibn Katsîr adalah salah satu kitab tafsir yang terkenal dengan
menggunakan pendekatan periwayatan atau yang biasa disebut tafsîr bi
al-ma’tsûr. Selain itu, Ibn Katsîr juga menjadikan referensi
karyanya yang diambil dari berbagai disiplin ilmu, baik itu tafsir, ilmu
tafsir, hadis, ilmu-ilmu hadis, lughah, sejarah, fiqh, ushul fiqh, bahkan
geografi.
Adapun sistematika penulisan kitab tafsir ini ialah, Ibn Katsîr menafsirkan
al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan sunnah, dengan perkataan sahabat,
perkataan tabi’in dan bahasa Arab, kemudian menyimpulkan hukum-hukum dan
dalil-dalil dari ayat al-Quran.
Tafsîr al-Qurân al-Azhîm ini dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir
dengan metode tahlîlîy (analitis). Dapat dikatakan bahwa dalam tafsir ini yang
paling dominan ialah pendekatan normatif historis yang
berbasis utama kepada hadis atau riwayat. Namun Ibn Katsir pun
terkadang menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat. Sedangkan mengenai corak peafsiran dalam Tafsîr Ibn Katsîr, beliau
menitikberatkan kepada masalah fiqh. Beliau
mengetengahkan perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh dan menyelami
madzhab-madzhab serta dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh mereka.
Mengenai ayat-ayat tertentu seperti, ayat-ayat Israiliyat Ibn Katsir menggunakan daya kritisnya yang tinggi terhadap
cerita-cerita Israiliyat. Sedangkan dalam menafsirkan ayat-ayat
hukum, sebagai seorang ahli hukum dalam Islam, Ibn Katsîr memberikan penjelasan
yang relatif lebih luas. Lain halnya dengan ayat tentang naskh (penghapusan), dalam
masalah ini, Ibn Kasîr termasuk yang berpendapat bahwa naskh dalam
al-Quran itu
ada. Menurutnya, naskh ialah penghapusan hukum atau ketentuan yang terdahulu dengan hukum
yang terdapat dalam ayat yang muncul lebih belakangan.
Sedangkan, penafsirannay terrhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih, secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam hal
ini beliau berpendapat bahwa ayat-ayat al-Quran yang muhkam merupakan argumentasi Tuhan, kesucian hamba, dan untuk
mengatasi perselisihan yang batil. Ada lagi tentang ayat-ayat tasybîh (antropomorfis), Ia memilih “membiarkan” atau
tidak mengartikan lafaz-lafaz tasybîh. Dan yang terakhir ayat-ayat tentang yang dipahami
secara berbeda-beda. Ibn Katsîr
biasanya mendeskripsikan, mendiskusikan dan meanalisisnya
secara rinci, hal ini terlihat bahwa keilmiahan dalam tafsir beliau.
Para pakar tafsir dan Ulûm al-Qurân umumnya menyatakan bahwa Tafsîr Ibn
Katsîr ini merupakan kitab tafsîr bi al-Ma’sûr terbesar kedua
setelah Tafsîr al-Thabarîy. Meskipun dari
hasil penelitian, terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran
dan kekeliruan dalam tafsir tersebut.
[1]Solah Abdul
Fatah al-Kholidi, Ta’rifu al-Dârisin bi
Manâhijil Mufassirîn (Damaskus: Dâr
al-Qalam, 2012), h. 38.
[2]Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Mabahis
fi ‘Ulûm al-Qurân, terj. Mudzakir AS,
Studi Ilmu-ilmu Quran (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), h. 527.
[4]Abî al-Fidâ’ Ibn Katsîr al-Dimasyqiy, Tafsîr al-Qurân al-Azhîm
(Muqaddimah al-Tahqiq) (Kairo: Dâr al-Taufiqiyyah li al-Turâts, 2009), h. 9.
[5]Dosen UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta:
Teras, 2004), h. 132-133.
[6]Dosen UIN Sunan
Kalijaga, Studi Kitab Tafsir..., h. 134.
[8]Orie Ibn Faroza, Tafsîr Ibn Katsîr dan Pokok Pemikirannya, http://mahasiswastidmnatsir.blogspot.com/2009/02/tafsir-ibnu-katsir-dan-pokok.html (27 Oktober 2014).
[10]Dosen UIN Sunan
Kalijaga, Studi Kitab Tafsir..., h. 134.
[11]Dosen UIN Sunan
Kalijaga, Studi Kitab Tafsir..., h. 135.
[12]Muhammad ‘Alî al-Sabuni, Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr ,
Jilid 1 (Beirut: Dâr al-Qurân al-Karim, 1981), h. 7.
[13]Dosen UIN Sunan
Kalijaga, Studi Kitab Tafsir..., h. 136.
[14]Muhammad Husaîn
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassîrûn (Kuwait: Dâr al-Nâwadir, 2005),
h. 211.
[15]Abi al-Fida’ Ibn Katsîr
al-Dimasyqiy, Tafsîr al-Qurân al-Azhîm (Beirut: Dâr al-Jîl, 1991).
[17]Abî al-Fida’ Ibn Katsîr
al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qurân al-Azhîm, terj. Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2000), h. 7-8.
[18]Pardan S. Sambas, Ibn Katsîr dan Tafsir: Mengkaji
Sosok Ibn Kasîr dan Metode Tafsir http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/27/ibn-katsir-tafsir/ (29 Oktober 2014).
[20]Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Mabahis
fi ‘Ulûm al-Qurân, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu al-Quran
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 456.
[22]Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Mabahis
fi ‘Ulûm al-Qurân, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu
al-Quran..., h. 456.
[23]Dosen UIN Sunan
Kalijaga, Studi Kitab Tafsir..., h. 139.
[25]Dosen UIN Sunan
Kalijaga, Studi Kitab Tafsir..., h. 139.
[27]Dosen UIN Sunan
Kalijaga, Studi Kitab Tafsir..., h. 140.
[29]Dosen UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Tafsir..., h. 141.
[32]Muhammad Sa’id al-Nursiy, Tokoh-tokoh Besar Islam
Sepanjang Sejarah (Jakarta: T.p., t.th.) h. 348.
[34]Mawardi Abdullah, Ulumul
Quran..., h. 168.
[35]Dosen UIN Sunan
Kalijaga, Studi Kitab Tafsir..., h. 138.
[36]Muhammad Husaîn
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassîrûn..., h 214.
[38]Muhammad Husaîn al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassîrûn...,
h. 249-251.
[43]Dosen UIN Sunan
Kalijaga, Studi Kitab Tafsir..., h. 147-148.
[44]Orie Ibn
Faroza, Tafsîr Ibn Katsîr dan Pokok Pemikirannya, http://mahasiswastidmnatsir.blogspot.com/2009/02/tafsir-ibnu-katsir-dan-pokok.html
(27 Oktober 2014).
[45]Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Mabahis
fi ‘Ulûm al-Qurân, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu
al-Quran..., h. 456.
[46]Muhammad
al-Ghazali, Berdialog dengan al-Quran: Memahami Pesan Kitab Suci dalam
Kehidupan Masa Kini, terj. Masykur Hakim dan Ubaidillah (Bandung:
Mizan, 1997), h. 267.
[47]Dosen UIN Sunan
Kalijaga, Studi Kitab Tafsir..., h. 148-149.
[48]Orie Ibn
Faroza, Tafsîr Ibn Katsîr dan Pokok Pemikirannya, http://mahasiswastidmnatsir.blogspot.com/2009/02/tafsir-ibnu-katsir-dan-pokok.html
(27 Oktober 2014).
2 komentar:
maaf, ahagian atas, nahagian pengenalan tu x nmpak.. x dpt nak baca sbb ade gambar tu, gambar tu besar, mohon dialihkan gambar tersebut, terima kasih
Iya.. trimakasih kmbali
Posting Komentar