PENDAHULUAN
Untuk menerjuni sesuatu ilmu apapun seseorang
perlu mengetahui dasar-dasar umum dan ciri-ciri khasnya. Ia terlebih dahulu
harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ilmu-ilmu tersebut dan ilmu-ilmu
lain yang menunjang dan diperlukan dalam kadar yang dapat membantu mencapai
tingkat ahli dalam didiplin ilmu tersebut, sehingga disaat memasuki detail
permasalahannya, ia memilih dengan lengkap kunci pemecahannya. Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa Arab sehingga kaidah-kaidah yang diperlukan para
mufassir dalam memahami Al-Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman
asas-asasnya, penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan rahasia-rahasianya.
Dalam makalah ini kami mencoba membahas
mengenai salah satu kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir jika ingin
menafsirkan Al-Qur’an yaitu ‘athaf, semoga makalah ini bisa diambil manfa’atnya
bagi kita semua.
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Athaf
اَلْعَطْفُ هُوَ تَابِعٌ يَتَوَسَّطُ
بيْنَهُ وَبَيْنَ مَتْبُوْعِهِ أحَدُ حُرُوفِ الْعَطْفِ
Artimya: ‘Athaf ialah tabi’ yang dipisah
dari matbu’nya oleh salah satu huruf
‘ataf[1]
Contoh :
رايت محمّدا وبكرا
Artinya : Aku telah melihat Muhammad dan Bakar.
Lafadz Bakar mengikuti kepada
lafadz Zaid yang ditengah-tengahi oleh Wawu huruf ‘ataf. Lafadz Bakar
(di-‘ataf-kan) sedangkan lafadz Muhammad yang di-‘ataf-inya (Ma’thuf ‘alaih).
Contoh lain seperti :
اكلت الرّزّ واللحم
Artinya : Aku memakan nasi dan daging
اشتريت الدّفتر والقلم
Artinya : Aku telah membeli buku tulis dan pena[2]
B. Macam-macam huruf ‘ataf
اَلْوَاوُ
= Untuk
menghubungkan (dan)اَلْفَاءُ = Kemudian/lalu
ثُمَّ = kemudian
أَمْ = atau (memilih atau membandingkan)
أَوْ = atau (memilih salah satu)
لَكِنْ = tetapi
لا = Bukan/tidak
بَلْ = tetapi/bahkan
حتّى = hingga/bahkan[3]
Adapun contoh dari 9 huruf ‘ataf tersebut
1.
اَلْوَاو, Contoh:
جاء زيد و عمرو
Telah datang
Zaid dan ‘Amr (bersamaan)
2.
اَلْفَاءُ, Contoh:
جاء زيد فعمرو
Telah datang
Zaid lalu ‘Amr (berurutan)
3.
ثُمَّ , Contoh:
جاء زيد ثمّ عمرو
Telah datang
Zaid kemudian ‘Amr (terselang lama)
4.
او
, Contoh:
جاء زيد او عمرو
Zaid atau
‘Amr telah datang (diragukan)
5. ام , Contoh:
جاء زيد ام عمرو
Zaid atau
‘Amr telah datang (diragukan)
6.
بل
, Contoh:
ما جاء زيد بل عمرو
Zaid tidak
datang melainkan ‘Amr
7.
لكنّ
, Contoh:
ما جاء زيد لكنّ عمرو
Zaid tidak
datang tetapi ‘Amr (datang). (maksudnya sama dengan بل).
8.
لا
, Contoh:
جاء زيد لا عمرو
Zaid telah
datang, ‘Amr tidak.
9.
حتّى
, Contoh:
اكلت السّمك حتّى رأسها
Aku telah
memakan ikan hingga kepalanya.[4]
العتف امّا ذو بيان او نسق +
والغرض الآن بيان ما سبق.
‘Athaf adakalanya untuk menjelaskan, atau merentetkan; tujuan
dalam pembahasan ini adalah menjelaskan perihal ‘ataf bayan (‘ataf yang
menjelaskan lafadz sebelumnya).
فذو البيان تابع شبه الصفه +
حقيقة القصد به منكشفة
‘Athaf
bayan adalah tabi’ yang menyerupai sifat, dengan melaluinya makna yang dimaksud
dapat terungkapkan.[5]
Contoh:
اقسم بالله ابو حفص عمر
Telah
bersumpah kepada Allah, Abu Hafsh yaitu Umar.[6]
Lafadz Umar merupakan ‘athaf bayan karena
berfungsi menjelaskan lafadz Abu Hafsh.
Mengingat ‘athaf bayan itu mirip dengan
sifat, maka harus menyesuaikan diri dengan matbu’nya, perihal sama dengan naat.
Untuk itu harus disesuaikan dengan matbu’nya baik dalam masalah ta’rif atau
tankirnya, baik dalam masalah tadzkir atau ta-nits-nya, baik dalam hal ifrad,
tatsniyah, atau jamaknya.
قد يكونان منكّرين كما يكونان معرّفين
Terkadang
‘Athaf dan ma’thuf kedua-duanya dalam bentuk nakirah, dan terkadang pula
kedua-duanya dalam bentuk ma’rifah.
Sebagian besar ulama nahwu berpendapat,
bahwa ‘athaf bayan dan matbu’nya kedua-duanya nakirah merupakan hal yang
dilarang. Sedangkan segolongan ahli Nahwu diantaranya Ibnu Malik, berpendapat
bahwa hal itu diperbolehkan. Dengan demikian berarti keduanya memperbolehkan
dalam bentuk nakirah, sebagaimana boleh keduanya dalam bentuk ma’rifah. Menurut
suatu pendapat diantara contoh ‘athaf dan matbu’nya kedua duanya nakirah adalah
firman Allah SWT:
*
ª!$#
âqçR
ÅVºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
4 ã@sWtB
¾ÍnÍqçR
;o4qs3ô±ÏJx.
$pkÏù
îy$t6óÁÏB
( ßy$t6óÁÏJø9$#
Îû
>py_%y`ã
( èpy_%y`9$#
$pk¨Xr(x.
Ò=x.öqx.
AÍhß
ßs%qã
`ÏB
;otyfx©
7p2t»t6B
7ptRqçG÷y
w
7p§Ï%÷°
wur
7p¨Î/óxî
ß%s3t
$pkçJ÷y
âäûÓÅÓã
öqs9ur
óOs9
çmó¡|¡ôJs?
Ö$tR
4 îqR
4n?tã
9qçR
3 Ïöku
ª!$#
¾ÍnÍqãZÏ9
`tB
âä!$t±o
4 ÛUÎôØour
ª!$#
@»sWøBF{$#
Ĩ$¨Y=Ï9
3 ª!$#ur
Èe@ä3Î/
>äóÓx«
ÒOÎ=tæ
ÇÌÎÈ
Artinya: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit
dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak
tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan)
kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang
minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya
di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang
Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nuur: 35)
`ÏiB
¾Ïmͬ!#uur
æL©èygy_
4s+ó¡ãur
`ÏB
&ä!$¨B
7Ï|¹
ÇÊÏÈ
Artinya: “di hadapannya ada Jahannam dan
Dia akan diberi minuman dengan air nanah”. (Q.S. Ibrahim : 16)
Lafadz ptRqçG÷y adalah ‘ataf bayan terhadap lafadz otyfx© dan lafadz Ï|¹ adalah ‘athaf bayan bagi lafadz ä!$¨B.[7]
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai
boleh tidaknya meng-‘ataf-kan kepada khabar (kalimat berita) kepada kalimat
insya’ (bukan kalimat berita). Sebagian besar mereka tidak membolehkan
seperti Ibn Malik dan Ibn Ushfur[8],
sedang golongan lain yang membolehkannya dengan mengambil contoh ayat وبشر المؤمنين (as-Shaff
:13) yang di-‘athaf-kan pada bqãZÏB÷sè? yang
terdapat dalam ayat sebelumnya
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
ö@yd
ö/ä39ßr&
4n?tã
;ot»pgÏB
/ä3ÉfZè?
ô`ÏiB
A>#xtã
8LìÏ9r&
ÇÊÉÈ tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
¾Ï&Î!qßuur
tbrßÎg»pgéBur
Îû
È@Î6y
«!$#
óOä3Ï9ºuqøBr'Î/
öNä3Å¡àÿRr&ur
4 ö/ä3Ï9ºs
×öyz
ö/ä3©9
bÎ)
÷LäêZä.
tbqçHs>÷ès?
ÇÊÊÈ
Golongan yang tidak
membolehkan mengatakan, lafadz bqãZÏB÷sè? semakna dengan آمنوا dengan demikian ia adalah
kalimat khabar yang bermakna insya’. Maka sah-lah meng-‘Athaf-kan kalimat
insya’ وبسّر kepadanya.[9]
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
bahwa ‘Athaf ialah tabi’ yang dipisah dari matbu’nya oleh salah satu huruf.
Adapun huruf-huruf ‘athaf ada 9 yaitu:
اَلْوَاوُ
= Untuk
menghubungkan (dan), اَلْفَاءُ
= Kemudian/lalu, ثُمَّ = kemudian
أَمْ = atau (memilih atau membandingkan), أَوْ = atau (memilih salah satu)
لَكِنْ = tetapi, لا = Bukan/tidak, بَلْ = tetapi/bahkan, حتّى = hingga/bahkan.
أَمْ = atau (memilih atau membandingkan), أَوْ = atau (memilih salah satu)
لَكِنْ = tetapi, لا = Bukan/tidak, بَلْ = tetapi/bahkan, حتّى = hingga/bahkan.
‘Athaf adakalanya untuk menjelaskan, atau
merentetkan, ‘athaf yang seperti ini disebut ‘athaf bayan. ‘Athaf bayan adalah
tabi’ yang menyerupai sifat, dengan melaluinya makna yang dimaksud dapat
terungkapkan.
Sebagian besar ulama nahwu berpendapat,
bahwa ‘athaf bayan dan matbu’nya kedua-duanya nakirah merupakan hal yang
dilarang. Sedangkan segolongan ahli berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan.
Ada lagi Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya meng-‘ataf-kan
kepada khabar (kalimat berita) kepada kalimat insya’ (bukan kalimat berita).
DAFTAR PUSTAKA
al-Qattan, Manna Khalil, Mabahits fi
‘Ulum al-Qur’an, Terj.
Mudzakir AS,
Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, litera
AntarNusa, Bogor,
2000.
Anwar, Moch., Ilmu Nahwu (Terjemah Matan Jurumiyah dan
Imrithy), Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1997.
As- Suyuthi, Jalaluddin, al- Itqan fi Ulumil Qur’an,
jilid II, Indika Pustaka, Surakarta, 2009.
bin Malik, Muhammad bin ‘Abdullah, Matan Alfiyyah,
Terj. Moch. Anwar, Al-Ma’arif, Bandung, 1996.
Dayyab, Hifni Bek, dkk., Kaidah Tata Bahasa Arab,
Darul Ulum Press, Jakarta, 1997.
Ibnu ‘Aqil, Bahauddin Abdullah, Alfiyyah Syarah Ibnu
‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar, CV Sinar Baru, Bandung 1992.
Sunarto, Ahmad, Kaidah-Kaidah Bahasa Arab (Terjemah
Qawa’idul Lughah al-‘Arabiyah), Al-Hidayah, Surabaya, 1990.
[2] Moch. Anwar, Ilmu Nahwu (Terjemah Matan Jurumiyah dan Imrithy),
(Bandung Sinar Baru Algesindo, 1997), h. 112.
[3] Ahmad Sunarto, Kaidah-Kaidah Bahasa Arab (Terjemah
Qawa’idul Lughah al-‘Arabiyah), (Surabaya: Al-Hidayah, 1990), h. 136.
[4] Moch. Anwar, Ilmu Nahwu (Terjemah Matan Jurumiyah dan Imrithy)...,
h. 112-113.
[5] Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil,
terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: CV Sinar Baru, 1992), h. 652.
[6] Muhammad bin ‘Abdullah bin Malik, Matan Alfiyyah, Terj. Moch. Anwar,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1996), h. 283.
[7] Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil,
terj. Bahrun Abu Bakar..., h. 653.
[8] Jalaluddin As-
Suyuthi, al- Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, jilid II, (Surakarta: Indika Pustaka,
2009), h. 81.
[9] Manna Khalil al-Qattan, Mabahits
fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj.
Mudzakir AS,
Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (Bogor: litera AntarNusa, 2000), h. 293.
0 komentar:
Posting Komentar