PENDAHULUAN
Kedudukan
menjadi imam/pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa adalah sebuah keutamaan
besar. Bahkan ia adalah do’a orang-orang yang sholeh. Sebagaimana firman Allah ‘Azza
wa Jalla,
tûïÏ%©!$#ur cqä9qà)t $oY/u ó=yd $oYs9 ô`ÏB $uZÅ_ºurør& $oYÏG»Íhèur no§è% &úãüôãr& $oYù=yèô_$#ur úüÉ)FßJù=Ï9 $·B$tBÎ) ÇÐÍÈ
Artinya: “dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami,
anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai
penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.. [QS. Al Furqon (25) : 74]
Menjadi imam dalam sholat adalah merupakan
salah satu cakupan dari ayat di atas. Namun sebagian orang –Allahu a’lam-
karena terlalu bersemangat dalam meraih kedudukan yang mulia ini, mereka tidak segan-segan
meraih posisi ini padahal ia tidaklah layak untuk itu dan masih ada orang yang
layak untuk itu.
Oleh karena itulah saya memilih topik
pembahasan kali ini mengenai masalah yang berhubungan dengan hal tersebut yaitu
manakah yang lebih berhak menjadi imam seorang qori atau seorang yang fakih tentang
hukum-hukum (terutama sholat)? Lalu bagaimana shalat yang diimami anak yang
belum baligh? Apakah sah shalatnya?
PEMBAHASAN
A.
Hadis Tentang Orang Yang Paling Berhak Menjadi
Imam
Hadis
Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam كتاب المساجد ومواضع الصلاة , باب من أَحق بالإِمامة؟, dengan lafal :
حدّثنا قُتَيْبَةُ بْنُ
سَعِيدٍ . حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم:
إِذَا كَانُوا ثَلاَثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ . وَأَحَقُّهُمْ
بِالإِمَامَةِ أَقْرَأُهُمْ[1]
Quthaibah bin Sa’id telah memberitahukan
kepada kami, Abu Awanah telah memberitahukan kepada kami, dari Qathadah, dari
Abu Nadhrah, dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda :
apabila ada tiga orang, maka hendaklah salah seorang dari mereka bertindak
sebagai imam, dan yang paling berhak menjadi imam adalah orang yang paling
bagus bacaan Al-Qur’annya.”
Adapun hadis yang senada maknanya, yang juga
diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab dan bab yang sama dengan lafal :
وحدّثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ وَ أَبُو سَعِيدٍ الأَشَجُّ . كِلاَهُمَا عَنْ أَبِي خَالِدٍ .
قَالَ أَبُو بَكْرٍ : حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الأَحْمَرُ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ
إِسْمَاعِيلَ بْنِ رَجَاءٍ عَنْ أَوْسِ بْنِ ضَمْعَجٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ
الأَنْصَارِيِّ ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: «يَؤُمُّ
الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ الله. فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً.
فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ. فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً.
فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً. فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ
سِلْماً. وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ. وَلاَ يَقْعُدْ
فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ» قَالَ الأَشَجُّ فِي
رِوَايَتِهِ مَكَانَ سِلْماً سِنّاً.[2]
Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Sa’id
al-Asyaj telah memberitahukan kepada kami, mereka berdua meriwayatkan dari Abu
Khalid. Abu Bakar berkata, ‘Abu Khalid al-Ahmar telah memberitahukan kepada
kami dari al-A’masy, dari Isma’il bin Raja’ dari Aus bin Dham’aj, dari Abu
Mas’ud al-Anshari, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “orang yang menjadi
imam pada suatu kaum ialah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya, apabila
bacaannya terdapat kesamaan, maka utamakanlah yang paling mengerti tentang
sunnah, jika pemahaman mereka terhadap sunnah sama, maka utamakanlah yang
paling pertama melakukan hijrah, jika waktu hijrah mereka sama, maka
utamakanlah yang paling pertama masuk islam. Dan tidak boleh menjadi imam bagi
orang yang tengah berada di wilayah kekuasaannya, serta tidak boleh duduk
dirumah orang lain diatas tempat tidurnya, kecuali dengan izinnya.
Al-Asyaj dalam riwayatnya menggantikan nam
“islam” dengan “umur”
B. Syarah Hadis
Rasulullah SAW bersabda,
وَأَحَقُّهُمْ بِالإِمَامَةِ
أَقْرَأُهُمْ
“Dan orang yang paling berhak menjadi imam
adalah orang yang paling bagus bacaan (Al-Qur’an) nya.”
Dalam riwayat Ibn Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW
bersabda : “orang yang menjadi imam pada suatu kaum ialah orang yang paling
bagus bacaan Al-Qur’annya, apabila bacaannya terdapat kesamaan, maka
utamakanlah yang paling mengerti tentang sunnah.”
Hadis ini dijadikan dalil bagi yang
berpendapat bahwa orang yang lebih tahu tentang Al-Qur’an, lebih didahulukan
menjadi imam daripada orang yang lebih mengerti tentang hukum fiqih.
Perkataan ’’Lalu jika
mereka sama dalam bacaannya, maka hendaklah yang lebih tahu tentang sunnah
(Nabi)” itu, Syarih berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa kelebihan ilmu diutamaan
dari kele- bihan-kelebihan lain tentang agama.
Perkataan ’’Lalu jika mereka sama di dalam
sunnah, maka hendaklah yang lebih dahulu hijrahnya” itu, Syarih berkata: Hijrah
yang lebih didahulukan dalam keimaman di sini, tidak terbatas pada ’’hijrah” di
zaman Nabi saja. Bahkan
’’hijrah” yang tidak akan terputus sampai hari qiyamat, sebagaimana
yang dituturkan oleh beberapa hadits. ' Dan begitulah pendapat Jumhur.[3]
Sedangkan Imam Malik, Imam
Asy-Syafi’i, dan para sahabat, mereka berpendapat bahwa orang yang paham agama
harus didahulukan daripada orang yang memiliki bacaan yang bagus, karena
sesuatu yang dibutuhkan dalam hal bacaan sudah pasti sama kaidahnya, sedangkan
dalam masalah fikih tidak pasti. Sebab, terkadang permasalahan dalm shalat yang
tidak mudah diketahui kebenarannya, kecuali bagi yang telah
memiliki pemahaman dalam masalah agama. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam
mengedepankan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu
dibandingkan shahabat-shahabat lainnya, padahal Nabi telah memberitahukan
bahwasanya ada shahabat lain yang lebih banyak dan bagus bacaannya dibandingkan
Abu Bakar.
Selanjutnya, kelompok ini juga mengomentari
hadits di atas dengan mengatakan bahwa orang yang bagus bacaannya pada masa
shahabat adalah orang-orang yang telah paham agama." Namun, sabda Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang
mengatakan, "apabila
dalam bacaannya terdapat kesamaan, rnaka utamakanlah yang paling mengerti
tentang sunnah" adalah
sebagai dalil dikedepankannya orang yang bagus bacaannya secara mutlak. Sementara
itu, kami memiliki pandangan berbeda, sebagaimana dipilih oleh satu kelompok
dari kalangan sahabat-sahabat kami, yaitu bahwa orang yang memiliki sifat warn' (takwa) lebih didahulukan daripada ahli fikih
dan yang bagus bacaannya karena tujuan akhir dari mengimami shalat akan
diwujudkan dari orang-orang yang bersifat wara' lebih
banyak dibandingkan orang lain.
Sabda Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam selanjutnya, "jika pemahaman mereka terhadap sunnah sama, maka
(utamakanlah) yang paling pertama melakukan hijrah," Para sahabat kami
mengatakan bahwa ada dua kelompok yang termasuk dalam kategori ini. Pertama;
orang- orang yang melakukan hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam pada masa
ini karena menurut kami, hijrah akan tetap berlaku sampai hari Kiamat, demikian
juga menurut jumhur ulama. Sedangkan sabda Rasul Shallallahu
Alaihi iva Sallam, "Tidak ada hijrah setelah Fath (Penaklukan kota
Mekah)", maksudnya adalah tidak ada lagi hijrah dari Mekah karena
kota itu telah'menjadi negeri Islam. Ataupun maksudnya adalah tidak ada hijrah
yang lebih utama daripada keutamaan hijrah sebelum Fath (Penaklukan kota Mekah). Masalah ini akan kami jelaskan pada tempatnya
secara detail, Insya Allah Ta'ala.
Kedua; anak ketumnan kaum
Muhajirin (orang-orang yang telah berhijrah) kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Sehingga,
apabila ada dua orang yang sama pengetahuannya terhadap masalah fikih (hukum
agama) dan bacaan Al-Qur'an, salah satunya adalah anak kaum Muhajirin yang
lebih dahulu hijrah, sementara yang lainnya hijrah setelah yang tadi, maka yang
pertama kali hijrah itulah yang lebih diutamakan menjadi imam. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"jika waktu hijrah mereka sama, maka
(utamakanlah) yang paling pertama masuk Islam." Dalam riwayat
lain, "yang lebih tua", dan riwayat
lainnya "Orang
yang lebih tua umurnya",
Maksudnya, apabila mereka
sama dalam masalah kefaqihannya, bacaannya, dan hijrahnya
kemudian salah satu dari keduanya ternyata lebih dahulu masuk Islam, atau lebih
tua umurnya, maka orang inilah yang lebih dikedepankan karena hal tersebut
merupakan fadhilah
(keutamaan) bagi orang tersebut.
Sabda Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, "Dan tidak boleh seseorang menjadi imam bagi orang yang
tengah berada di wilayah kekuasaannya." Sebagaimana yang
disebutkan oleh sahabat-sahabat kami dan ulama lainnya, maksudnya adalah para
tuan rumah, pemimpin majlis, dan imam masjid lebih didahulukan daripada orang
lain, meskipun ada orang lain yang lebih paham fikih, lebih bagus bacaannya,
lebih bertakwa, atau bahkan lebih mulia dibandingkan dengan orang yang
disebutkan di atas. Jika tuan rumah itu berkehendak, maka ia bisa maju menjadi
imam dan kalau mau, ia juga bisa mempersilakan orang lain untuk maju, sekalipun
orang yang dipersilakan oleh tuan rumah atau imam masjid itu adalah orang yang
lebih rendah kedudukannya (keutamaannya) dibandingkan dengan orang-orang yang
hadir pada saat itu, karena yang menyuruh adalah orang yang memiliki kekuasaan
pada saat itu sehingga ia boleh menunjuk siapa saja.
Para sahabat kami
mengatakan, "Apabila di dalam rumah itu terdapat seorang pemimpin negeri
atau wakilnya, maka ia lebih didahulukan daripada tuan rumah atau imam fhasjid
serta lainnya karena daerah kekuasaannya lebih umum." Mereka mengatakan, "Sebaiknya para tuan
rumah mempersilakan orang yang lebih utama daripada dirinya."
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "serta tidak boleh duduk di
rumah orang lain di atas tempat tidurnya, kecuali dengan izinnya."
Dalam riwayat lain disebutkan, "Janganlah engkau duduk di tempat tidur yang
ada di dalam rumahnya, kecuali jika telah dipersilakan kepadamu."
Ulama mengatakan bahwa
kata نكرمة , maksudnya adalah الفراش , yakni kasur atau tempat tidur, dan semacamnya yang biasa
digunakan oleh tuan rumah untuk merebahkan diri dan hanya khusus dipakai olehnya.[4]
Dilihat dari konteks
sekarang, di Timur Tengah tidak sedikit anak kecil yang belum baligh menjadi
imam. Apakah sah shalat mereka yang sudah baligh diimami anak kecil, padahal
diantara syarat-syarat imamah adalah baligh. Tiga imam madzhab (Maliki, Hanafi,
dan Hambali) sepakat bahwa orang yang baligh tidak sah bermakmum kepada anak
kecil mumayyiz dalam shalat fardhu. Syafi’iyah menyangkal pendapat tersebut
dengan menyatakan bahwa orang yang baligh boleh bermakmum kepada anak kecil
mumayyiz dalam shalat fardhu, kecuali dalam shalat jum’at. Dalam shalat jum’at
disyaratkan agar imam adalah orang baligh.
Ketiga imam mazhab juga
sepakat bahwa dalam shalat nafilah, sah bagi orang baligh bermakmum kepada anak
kecil mumayyiz. Hanfiyah menyangkal pendapat ini dengan menyatakan bahwa orang
yang baligh tidak sah bermakmum kepada anak kecil secara mutlak, baik dalam
shalat fardhu maupun maupun shalat nafilah. Terakhir, anak kecil yang mumayyiz
sah menjadi imam shalat anak kecil.[5]
Anak yang sudah mumayyiz
dan buta sah menjadi imam, begitu juga orang yang berdiri bagi orang yang
duduk, sebaliknya orang yang duduk sah menjadi imam bagi orang yang bediri.
Juga sah oran yang bershalat fardhu bagi yang bershalat sunat, dan bagi orang
yang bershat sunat bagi yang bershalat fardhu. Orang yang berwudhu bagi yang
bertayammum, dan orang yang bertayammum bagi orang yang berwudhu. Orang yang
musafir bagi yang mu’min, dan yang mu’min bagi yang musafir, serta yang lebih
rendah kedudukannya bagi orang yang lebih tinggi.[6] Bolehlah
orang merdeka bermakmum kepada budak dan orang yang sudah baligh kepada yang
hampir baligh. Dan tidak sah orang laki-laki bermakmum kepada wanita, dan orang
yang baik bacaan fatihahnya kepada yang tidak sempurna bacaan fatihahnya.[7]
Adapun hadis yang
menjelaskan bolehnya orang yang sudah baligh makmum kepada yang belum baligh
ialah sebagai berikut:
انّ عمرو بن سلامة رضى الله عنه كان يؤمّ قومه وهو ابن ستٌّ
او سبع سنين. (رواه البخارى)
Artinya: “ sesungguhnya Amru bin Salamah
pernah mengimami dalam suatu kaumnya, sedang ia pada saat itu baru umur enam
atau tujuh tahun.”[8]
C. Fahmul Hadis
Dari dua masalah ini, hemat saya mereka masing
masing memiliki argumen yang menguatkan pendapat mereka, namun menurut saya
orang yang paling berhak menjadi imam shalat itu orang yang paling bagus bacaan
(Al-Qur’an) nya benar dan yang lebih memahami sunnah juga benar, karena menurut
saya orang yang memahami sunnah atau juga fiqih sudah tentu mereka lebih awal
beajar Al-Qur’an dulu sebelum belajar fiqih, mengenai tiga imam madzhab
(Maliki, Hanafi, dan Hambali) sepakat bahwa orang yang baligh tidak sah
bermakmum kepada anak kecil mumayyiz dalam shalat fardhu, saya juga membantah
ini, saya sepakat dengan pendapat dengan Imam Syafi’i yang membolehkan anak
kecil mumayyiz menjadi imam, karena fenomena sekarang banya sekali di Timur
Tengah orang baligh diimami anak kecil, tetapi anak kecil yang menjadi imam ini
bukan anak yang sembarangan karena dia sangat fasih dalam membaca Al-Qur’an,
dia juga hafal 30 juz Al-Qur’an biasanya, jadi menurut saya sah-sah saja sholat
yang diimami anak kecil yang mumayyiz.
KESIMPULAN
Dari beberapa hadis
diatas, dapat dipahami bahwa hadis ini masih kontroversi dari beberapa mazhab,
mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan lain sebagianya mengatakan bahwa hadis tersebut merupakan
dalil bagi orang yang berpendapat bahwa orang yang lebih tahu tentang
Al-Qur’an, lebih didahulukan menjadi imam daripada orang yang lebih mengerti
tentang hukum fiqih. Sedangkan Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan para sahabat,
mereka berpendapat bahwa orang yang paham agama harus didahulukan daripada
orang yang memiliki bacaan yang bagus, karena sesuatu yang dibutuhkan dalam hal
bacaan sudah pasti sama kaidahnya, sedangkan dalam masalah fikih tidak pasti.
Sebab, terkadang permasalahan dalm shalat yang tidak mudah diketahui
kebenarannya, kecuali bagi yang telah
memiliki pemahaman dalam masalah agama. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam
mengedepankan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu
dibandingkan shahabat-shahabat lainnya, padahal Nabi telah memberitahukan
bahwasanya ada shahabat lain yang lebih banyak dan bagus bacaannya dibandingkan
Abu Bakar.
Mengenai sah tidaknya
shalat berjamaah yang diimami anak kecil juga masih diperdebatan tiga imam
madzhab (Maliki, Hanafi, dan Hambali) sepakat bahwa orang yang baligh tidak sah
bermakmum kepada anak kecil mumayyiz dalam shalat fardhu. Syafi’iyah menyangkal
pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa orang yang baligh boleh bermakmum
kepada anak kecil mumayyiz dalam shalat fardhu, kecuali dalam shalat jum’at.
Dalam shalat jum’at disyaratkan agar imam adalah orang baligh.
Ketiga imam mazhab juga
sepakat bahwa dalam shalat nafilah, sah bagi orang baligh bermakmum kepada anak
kecil mumayyiz. Hanfiyah menyangkal pendapat ini dengan menyatakan bahwa orang
yang baligh tidak sah bermakmum kepada anak kecil secara mutlak, baik dalam
shalat fardhu maupun maupun shalat nafilah. Terakhir, anak kecil yang mumayyiz
sah menjadi imam shalat anak kecil.
DAFTAR PUSTAKA
An-Naisâburi, Imam Abi Husîn Muslim Bin Hajjâj
al-Qusairi, Shahîh Muslim, Juz V, Syârikah Diponegoro, Bandung, t.th.
Asy-Syaukani,
Nailul Authar (Himpunan Hadis-Hadis Hukum), Jilid II, Terj. Mu’mal
al-Hamidy, PT Bina Ilmu, Surabaya, t.th.
An-Nawawi, Imam, Al-Minhaj Syarh Sahih
Muslim Ibn Hajjaj, terj. Suharlan dan Darwis dengan judul, Syarah Sahih
Muslim, Jilid 6, Darus Sunnah Press,
Jakarta, 2010.
Al-Jaziry, Syeikh Abdurrahman, Kitab Shalat
Fikih Empat Mazhab (Mudah Memahami Fikih Dengan Metode Skema), PT Mizan
Publika, Bandung, 2010.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah 1-2,
Al-Ma’arif, Bandung, 1973.
Bigha, Musthafa Diibul, Ikhtisar
Hukum-Hukum Islam Praktis, CV Asy-Syifa, semarang 1994.
[1] Imam Abi Husîn Muslim Bin Hajjâj al-Qusairi an-Naisâburi, Shahîh Muslim,
Juz V, (Bandung: Syârikah Diponegoro, t.th), h. 141.
[2] Imam Abi Husîn Muslim Bin Hajjâj al-Qusairi an-Naisâburi, Shahîh
Muslim, Juz V, (Bandung: Syârikah Diponegoro, t.th), h. 142.
[3] Asy-Syaukani, Nailul Authar
(Himpunan Hadis-Hadis Hukum), Jilid II, Terj. Mu’mal al-Hamidy, (Surabaya:
PT Bina Ilmu, t.th.), h. 818.
[4] Imam an-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim Ibn Hajjaj, terj.
Suharlan dan Darwis dengan judul, Syarah Sahih Muslim, Jilid 6 (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010),
h.59-61.
[5] Syeikh Abdurrahman al-Jaziry, Kitab Shalat Fikih Empat Mazhab (Mudah
Memahami Fikih Dengan Metode Skema), (Bandung: PT Mizan Publika, 2010), h.
404-405.
[7] Musthafa Diibul Bigha, Ikhtisar Hukum-Hukum Islam Praktis,
(semarang: CV Asy-Syifa, 1994), h. 164.
0 komentar:
Posting Komentar