MATA KULIAH
TAREKAT
|
DOSEN PENGASUH
Drs. H. Ahmad Zamani, M.Ag.
|
Beberapa Tarekat Besar di Indonesia
Oleh:
Saifurrahman : 1201421347
Muhammad Taberani
: 1201421339
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
JURUSAN TAFSIR HADIS
BANJARMASIN
2014
PENDAHULUAN
Proses
masuk Islamnya penduduk Nusantara kelihatannya sangat beragam. Perdagangan dan
aliansi politik dari para penguasa dan pedagang tidak diragukan lagi memainkan
peranan penting, disamping juga hubungan perkawinan. Umumnya semua proses Islamisasi
ini berjalan dengan damai.
Islam
yang dilihat dan diajarkan kepada penduduk Nusantara sangat diwarnai pemikiran
dan praktek sufi. Banyak pihak yang menyatakan bahwa inilah yang membuat Islam
begitu menarik bagi warga lokal, khususnya pesisir yang pertama kali didatangi.
Perkembangan sufisme merupakan salah satu faktor penting yang memudahkan dan
mensukseskan pengislaman di Indonesia. bahwa peranan sufi begitu besar dalam
Islamisasi, bukan saja karena beberapa guru-mubaligh sufi, tetapi para pedagang
yang menjadi anggota tarekat juga berperan, begitu pula dengan pengamal aliran
tasawuf tertentu.
Dari
sekian banyak tarekat yang masuk ke Indonesia, dalam makalah ini kami hanya
memuat beberapa tarekat besar yang masuk ke Indonesia, yaitu tarekat Qadiriyah,
Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syadziliyah, dan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
PEMBAHASAN
A.
Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah
adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu ‘Abd al-Qadir jilâni,[1]
yang terkenal dengan sebutan syekh ‘abd al-Qadir jilâni al-ghawsts
atau quthb al-awliya’. Beliau lahir di desa Naif kota Gilan tahun 470
H/1077 M, yaitu wilayah yang terletak 150 km timur laut baghdad. Syekh ‘Abd
Qadir meninggal di baghdad pada tahun 561H/1166M, makamnya sejak dulu hingga
sekarang tetap diziarahi khalayak ramai, dari segala penjuru dunia islam.
Dikalangan kaum sufi Syaikh ‘Abd Qadir diakui sebagai sosok yang menempati
hierarki mistik yang tertinggi (al-Ghawts al-A’zham) yang menduduki
tingkat kewalian tertinggi.[2]
1.
Aspek ajaran
Pada dasarnya
Syekh ‘Abd Al-Qadir jilâni tidak ada perbedaan yang mendasar dengan ajaran
pokok islam , terutama golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebab syeh ‘Abd
Al-Qadir adalah sangat menghargai para pendiri mazhab fiqih yang empat dan
teologi Asy’ariyah. Dia sangat menekan kan pada tauhid dan akhlak yang terpuji.
Menurut al-Sya’rani, bahwa bentuk dan karakter tarekat syekh ‘Abd al-Qadir
jilani adalah tauhid dan sedangkan pelaksanaannya tetap menempuh jalan syariat
lahir dan batin.
Menurut syekh ‘Ali
ibnu al-Hayti menilai bahwa tarekat syekh ‘Abd al-Qadir jilâni adalah pemurnian
akidah dengan meletakkkan diri pada sikap beribadah, sedangkan ‘Ady Ibn Musâfir
mengatakan bahwa karakter tarekat Qadiriyah adalah tunduk digaris keturunan
takdir dengan kesesuaian hati dan roh serta kesatuan lahir dan batin.memisahkan
diri dari kecendrungan nafsu, serta mengabaikan keinginan melihat manfaat,
mudarat, kedekatan maupun perasaan jauh.
Adapun ajaran spiritual
Syekh ‘Abd al-Qadir jilâni berakar pada konsep tentang dan pengalamannnya akan
Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu mitos teologi maupun abstraksi
logis, melainkan merupakan sebuah pribadi yang kehadiran-Nya merengkuh seluruh
pengalaman , etis intelektual, dan estetis
seorang manusia. Ia selalu merasakan bahwa Tuhan senantiasa hadir. Kesadaran
akan kehadiran Tuhan di segenap ufuk kehidupannnya merupakan tuntunan dan motif
bagi kebangunan hidup yang aktif sekaligus memberikan nilai transeden pada kehidupan.[3]
Dalam
pandangannnya, kehidupan yang termulia adalah kehidupan yang orang-orang
sepenuhnya membaktikan diri kepada Tuhan semata. Dan karena alasan ini pulalah
manusia dihadirkan Tuhan, seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an, “dan tidak
Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”(QS.
Al-Zariyat [51]:56). Semakin manusia berjuang “hidup demi Tuhan “, dirinya akan
semakin dekat dengan terwujudnya tujuan kehidupan ini. Seorang manusia harus
menyerahkan keghidupannya , bila mana ia berhasrat memburu kesadaran Ilahiah.
.”Eksistensi yang sadar Tuhan” memberikan kekuatan spirirtual pada manusia, ia
mengangkat pergulatan keras duniawi untuk memperoleh kesenangan hidup dan
keuntungan yang sedikit , menuju kebahagiaan dan kesenangan spiritual, dan
membuatnya akrab dengan sumber segala kekuatan.
Ajaran syekh ‘Abd
al-Qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu,
dia memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi.
Adapun beberapa ajaran tersebut adalah
taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, dan jujur.[4]
2.
Aspek Praktis
Diantara praktik
spiritual yang diadopsi oleh tarekat Qadiriyah adalah zikir (terutama
melantunkan ama’ Allah berulang-ulang). Praktik zikir ini dapat dilakukan
bersama-sama, dibaca dengan suara keras atau perlahan, sambil duduk membentuk
lingkaran setelah shalat, pada waktu subuh maupun malam hari. Jika seorang pengikut
sanggup melantunkan asma’ Allah empat ribu kali setiap harinya , tanpa
putus selama dua bulan, dapat diharapkan bahwa dirinya telah memiliki kualifikasi
untuk meraup pengalaman spiritual tertentu.[5]
Zikir adalah kunci
dan sekaligus menenpati posisi yang sangat penting dalam tradisi tarekat,
termasuk Tarekat Qadiriyah karena zikir bagaikan anak kunci yang mampu membuka
pintu gerbang dunia spiritual yang tidak terbatas. Apabila pintu hati telah
terbuka, muncullah dari dalamnya pikiran-poikiran yang arif untuk membuka mata
hati. Ketika mata hati telah terbuka, maka tampaklah sifat-sifat Allah melalui
mata hati itu. Kemudian maka hati akan melihat
refleksi (bayangan) kasih sayang kelembutan, keindahan dan kebaikan
Allah, dalam cermin hati yang bersih dan berkilauan.[6]
B.
Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri
tarekat naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad
bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi
al-Bukhari Naqsyabandi (717 H-1318M - 791 H-1389 M),[7] dilahirkan disebelah desa
Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari bukhara tempat lahir dari imam bukhari.
Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Setelah ia lahir segera
dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya dengan gembira. Ia
belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun. Kemudian ia
belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di
Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772/1371). Kulal adalah seorang
khalifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah ia pertama belajar tarekat
yang didirikannya. Selain itu Naqsyabandi pernah juga belajar pada seorang arif bernama al-Dikkirani selama
satu tahun.[8]
1.
Teknik dan Ritual Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah, seperti juga tarekat yang lainnya mempunyai beberapa tata cara
peribadatan, teknik spiritual, dan ritual tersendiri. Sebagai tarekat yang
terorganisir, Naqsyabandiyah mempunyai
sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, yang secara geografis penyebarannya
meliputi tiga benua. Hal ini berimplikasi pada warna dan tata cara Tarekat Naqsyabandiyah yang sangat bervariasi, menyesuaikan masa, kondisi, dan tempat
tumbuhnya. Adaptasi ini terjadi karena beberapa hal, di antaranya adalah karena
keadaan yang memang berubah, guru- guru yang berbeda memberi penekanan yang
berbeda dari asas yang sama, atau para pembaharu memperkenalkan sesuatu yang
lain dengan menghapuskan pola pikir tertentu. Walaupun mempunyai warna dan tata cara yang
bervariasi, namun tarekat ini mempunyai asas atau ajaran dasar yang sama,
sebagai acuan dan pegangan bagi para pengikutnya.
Ajaran dasar tersebut adalah:
1.
Husy dar dam, “sadar sewaktu
bernafas” Suatu latihan konsentrasi: di mana seseorang harus menjaga diri dari
kekhilafan dan kealpaan ketika keluar masuk nafas, supaya hati selalu merasakan
kehadiran Allah. Hal ini dikarenakan setiap keluar masuk nafas yang hadir
beserta Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih dekat
kepada Allah. Karena kalau orang lupa dan kurang perhatian berarti kematian
spiritual dan mengakibatkan orang akan jauh dari Allah.
2.
Nazhar bar qadam, “menjaga langkah”. Seorang murid yang sedang menjalani khalwat suluk, bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki. Dan
apabila duduk, tidak memandang ke kiri atau ke kanan. Sebab memandang kepada
aneka ragam ukiran dan warna dapat melalaikan orang dari mengingat Allah,
selain itu juga supaya tujuan-tujuan yang (rohaninya) tidak dikacaukan oleh
segala hal yang berada di sekelilingnya yang tidak relevan.
3.
Safar dar
wathan, “melakukan perjalanannya di tanah kelahirannya”. Maknanya adalah
melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk
ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai
makhluk yang mulia. Atau maknanya ialah berpindah dari sifat-sifat manusia yang
rendah kepada sifat-sifat malaikat yang terpuji.
4.
Khalwat dar anjuman, “sepi di tengah
keramaian”. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, sementara anjuman
dapat berarti perkumpulan tertentu. Berkhalwat terbagi pada dua bagian, yaitu:
a.
Khalwat lahir, yaitu orang yang bersuluk mengasingkan diri ke sebuah tempat
tersisih dari masyarakat ramai.
b. Khalwat batin, yakni mata hati menyaksikan rahasia kebesaran
Allah dalam pergaulan sesama makhluk.
5.
Yâd krad,
"ingat atau menyebut”. Ialah berzikir terus-menerus mengingat Allah, baik
zikir
ism al-dzât (menyebut
Allah), maupun zikir nafi itsbat
(menyebut La
Ildha illd Allah).
Bagi kaum Naqsyabandiyah zikir itu tidak
terbatas dilakukan secara berjemaah ataupun sendirian sesudah shalat, tetapi
harus terus-menerus supaya di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang
permanen.
6.
Bâz Gasht,
“kembali”, “memperbarui”. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan hati agar
tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur). Sesudah menghela
(melepaskan) nafas, orang yang berzikir itu kembali munajat dengan mengucapkan
kalimat yang mulia Ilâhi anta maqshûdi wa ridhaka mathlûbi
(“Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridhaan-Mu-lah yang
kuharapkan”). Sewaktu mengucapkan zikir, makna dari kalimah ini harus
senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang paling
halus kepada Allah semata. Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang
hakiki dan semua makhluk ini lenyap dari pandangannya. . Kitab pegangan Naqsyabandiyah kebanyakan mengajarkan sang murid untuk mengucapkan kalimah ini
dalam hati sebelum memulai zikir ism al'dzat dan
mengucapkannya sekali lagi di antara zikir tauhid yang berurutan.
7.
Nigâh Dasyt, “waspada”. Ialah setiap murid harus menjaga hati, pikiran,; dan perasaan
dari sesuatu walau sekejap ketika melakukan zikir tauhid, Hal ini bertujuan untuk mencegah agar pikiran
dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk
memelihara pikiran dan perilaku agar sesuai dengan makna kalimah tersebut.
Syaikh Abu Bakr al-Kattâni berkata: “Saya menjaga pintu hatiku
selama 40 tahun. Tidak kubukakan selain kepada Allah, sehingga jadilah! hatiku
tidak mengenal seseorang selain Allah”. Sebagian ulama tasawuf berkata: “Kujaga
hatiku sepuluh malam, maka dijaganya aku selama dua puluh tahun.”
8.
Yâd Dasyt,
“mengingat kembali”. Adalah tawajuh (menghadapkan diri) kepada nûr dzat Allah
Yang Maha Esa, tanpa berkata-kata. Pada hakikatnya menghadapkan diri dan
mencurahkan perhatian kepada nûr dzat Allah itu tiada lurus, kecuali sesudah fanâ (hilang kesadaran diri) yang sempurna. Tampaknya hal ini semula
dikaitkan pada pengalaman langsung Kesatuan dengan Yang Ada (wahdat
aLwujud). Ahmad Sirhindi
dan pengikut-pengikutnya bahkan mengemukakan dalil adanya tingkat yang lebih
tinggi, yakni seorang sufi sadar bahwa kesatuan (kemanunggalan) ini hanyalah
bersifat fenomenal, bukan ontologis (’wahdat al-syuhûd).
Adapun tiga
asas lainnya yang berasal dari Syaikh Baha’ al-Din Naqsyabandi adalah:
1.
Wuquf zamani,
“memeriksa penggunaan waktu”, yaitu orang yang bersuluk senantiasa selalu
mengamati dan memerhatikan dengan teratur keadaan dirinya setiap dua atau tiga
jam sekali. Apabila ternyata keadaannya terus-menerus sadar dan tenggelam dalam
zikir, dan melakukan yang terpuji, maka hendaklah ia bersyukur kepada-Nya.
Sebaliknya apabila keadaannya dalam alpa atau lalai dan melakukan perbuatan
dosa, maka harus segera minta ampun dan tobat kepada Allah, serta kembali
kepada kehadiran hati yang sempurna.
2.
Wuquf ‘adadi,
“memeriksa hitungan zikir”, yakni dengan penuh hati- hati (konsentrasi penuh)
memelihara bilangan ganjil pada zikir nafi- itsbât, 3
atau 5 sampai 21 kali.
3.
Wuquf qalbi, “menjaga
hati tetap terkontrol”. Kehadiran hati serta kebenaran tiada yang tersisa,
sehingga perhatian seseorang secara sempurna sejalan dengan zikir dan maknanya.
Selain kebenaran Allah dan tiada menyimpang dari makna dan perhatian zikir.
Lebih jauh dikatakan bahwa hati orang yang berzikir itu berhenti (wuqûf) menghadap Allah
dan bergumul dengan lafadz-lafadz dan makna zikir.[9]
Para penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan zikir sendiri- sendiri, tetapi bagi mereka
yang tempat tinggalnya berdekatan dengan Syaikh cenderung ikut serta secara
teratur dalam pertemuan-pertemuan, di mana zikir dilakukan secara berjemaah.
Zikir berjemaah ini di beberapa tempat biasa dilakukan dua kali dalam seminggu,
pada malam Jum’at dan malam Selasa. Namun ada juga yang melaksanakannya di tempat
lain pada siang hari seminggu sekali atau dalam jangka waktu yang lebih lama.
2.
Dzikir
Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai dua macam zikir:
A. Zikir lsm al-dzat,
artinya mengingat nama Yang Haqiqi dengan mengucapkan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan
kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Allah semata.
B. Zikir tauhid,
artinya mengingat keesaan. Zikir ini terdiri atas bacaan perlahan diiringi
dengan pengaturan nafas, kalimah lâ ilâha illa
Allâh, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui
tubuh. Caranya, (1) bunyi lâ digambar dari daerah pusar terus ke atas
sampai ke ubun-ubun; (2) bunyi ilâha
turun ke kanan dan berhenti di ujung bahukanan; (3) kata berikutnya illa dimulai dan turun
melewati bidang dada sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata
terakhir Allâh dihunjamkan sekuat tenaga. Orang yang sedang
berzikir membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah, dan memusnahkan
segala kotoran.
Selain dari dua
macam zikir di atas, pengikut Tarekat Naqsyabandiyah
mengenal zikir lathâ’if yang lebih tinggi tingkatannya. Zikir ini
mengharuskan pelaku zikir memusatkan kesadarannya dan membayangkan nama Allah
itu sampai bergetar dan memancarkan panas berturut-turut pada tujuh titik halus
pada tubuh.[10]
C. Tarekat
Syadziliyah
Secara lengkap
nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin ‘Abd. Al-Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya
mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi
Thalib, dan dengan demikian berarti juga keturunan Siti Fatimah, anak perempuan
Nabi Muhammad SAW. Al-Syadzili
sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut: ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abd.
Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad bin
Muhammad bin ‘Isa bin Muhammad bin Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib.
Dia dilahirkan
di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko. Adapun mengenai tahun
kelahiran al-Syadzili,[11] sebenarnya masih belum
ada kesepakatan. Beberapa penulis berbeda pendapat, antara lain sebagai
berikut: Sirajuddin Abu Hafsh menyebut tahun kelahirannya pada 591 H / 1069 M;
Ibn Sabbagh menyebut tahun kelahirannya pada 583 H / 1187 M; dan J. Spencer Trimingham mencatat tahun kelahiran al-Syadzili pada 593 H / 1196
M.[12]
Adapun
kitab-kitab tasawuf yang pernah dikaji oleh al-Syadzili dan dl kemudian hari ia
ajarkan kepada muridnya, antara lain: Ihyâ’ Ulûm al-Dîn karya
Abû Hâmid al-Ghazali, Qût al-Qulûb karya Abû Thâlib al- Makkî, Khatm al-Auliyâ’
karya al-Hâkim al-Tirmidzi, al-Mawâqif wa al- Mukhâthabah
karya Muhammad ‘Abd al-abbâr an-Nafri, al-Syifa’
karya Qadhi’iyah, al-Risâlah karya al-Qusyairi, al-Muharrar al-Wajiz
karya Ibn ‘Athiyah.[13]
1.
Pemikiran-pemikiran tarekat Syadziliyah antara lain:
a.
Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi
dunia mereka. Dalam hal ini pandangan mereka mengenai pakaian,makanan dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang
sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT. dan mengenal rahmat
ilahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa
syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada
kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya
sesuai petunjuk Allah dan rasul-Nya.
b.
Tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at Islam. Ia adalah salah
satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan al-Ghazalf,
yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, pelurusan
dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs), dan pembinaan moral (akhlaq), suatu tasawuf yang dinilai cukup moderat.
c.
Zuhud
tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud
adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan. Dunia yang dibenci
para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan
dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis,
dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan (al-la'b) dan senda gurau (al-lahw) yang akan
melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi.
d.
Tidak ada larangan bagi kaum salik
untuk menjadi milyuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada
harta yang dimilikinya. Seorang salik
boleh tetap mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan
jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan
tiada kesenangan berlebihan ketika harta datang. Sejalan dengan itu pula,
seorang salik tidak harus memakai baju lusuh yang tidak
berharga, yang akhirnya hanya akan menjatuhkan martabatnya. Dan konon dengan
konsepnya ini, banyak kalangan usahawan-usahawan tertarik menjadi pengikut
ajaran al-Syadzili.
e.
Berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan ummat,
berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak
orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Al-Syadzili menawarkan
tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa di samping berupaya mencari ‘langit’, juga harus
beraktivitas dalam realitas sosial di ‘bumi’ ini. Beraktivitas sosial demi
kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil kontemplasi.
f.
Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan
menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Tasawuf memiliki empat
aspek penting, yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT. senantiasa melakukan
perintah-perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsu serta berupaya selalu bersama
dan berkekalan dengan-Nya secara sungguh-sungguh.
g.
Dalam kaitannya dengan al-ma ‘rifah (gnosis), al-Syadzili
berpendapat bahwa ma‘rifah adalah salah satu tujuan ahli tarekat atau
tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua
jalan. Pertama, adalah mawâhib atau ‘ain al-jud
(sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya dengan tanpa usaha dan Dia
memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugerah tersebut. Kedua,
adalah makâsib atau badzi al-majhûd
yaitu ma‘rifah akan dapat diperoleh melalui usaha keras, melalui al-riyâdhah,
mulâzamah al-dzikr, mulâzamah al-wudlu, puasa, shalat sunnah dan
amal saleh lainnya.
Antara
al-Ghazali dan al-Syadzili di samping memiliki beberapa persamaan, juga
memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT Apabila al-Ghazali lebih menekankan pada riyâdhah
al-abdân atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan
adanya musyaqqah, misalnya bangun malam, lapar dan lain- llin. Maka al-Syadzili
lebih menekankan pada riyâdhah al-qulûb' tanpa menekankan adanya musyaqqah al-abdân, misalnya menekankan senang (al-farh), rela (al-ridhâ) dan selalu bersyukur (al-syukr) atas nikmat Allah.[14]
2.
Ajaran hidzib (doa dan zikir) Tarekat Sadziliyah
Hidzib yang
diajarkan tarekat syadziliyah jumlahnya cukup banyak dan setiap murid tidak
menerima hidzib yang sama karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi
ruhaniyah murid sendiri dan kebijaksanaan mursyid. Adapun Hidzib-hidzib
tersebut antara lain adalah : hizb al-asyfa’, hizb al kâfi atau al-
autâd, hizb al-bahr, hizb al-baladiyah atau al-birhattiyah, hizb
al-barr, hizb al-nashr, hizb al-mubaârak, hizb al salâmah, hizb al-nûr, dan
hizb al-hûjb. Hidzib-hidzib tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua
orang, kecuali telah mendapatkan izin atau ijazah dari mursyid atau seorang
murid yang ditunjuk oleh mursyid untuk mengijazakhannya.[15]
D.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Tareqat
Qadiriyah Naqsyabandiyah ialah sebuah tarekat gabungan dari tarekat Qadiriyah
dan tarekat Naqsyabandiyah (TQN). Terekat ini didirikan oleh Syaikh Akhmad Khatib Sambas (1802-1872)[16] yang dikenal sebagai
penulis kitab Fath al-‘Arifin, sambas adalah nama sebuah kota disebelah utara
pontianak, kalimantan barat. Syaikh Naquib al-‘Attas mengatakan bahwa TQN tampil sebagai sebuah tarekat gabungan
karena syaikh sambas adalah seorang syaikh dari kedua tarekat dan
mengajarkannya dalam satu persi yaitu mengajarkan dua jenis zikir sekaligus
yaitu zikir yang dibaca dengan keras (jahar) dalam tarekat Qadiriyah dan zikir
yang dilakukan di dalam hati (khafi) dalam tarekat Naqsyabandiyah.[17]
Adapun kitab
fath al-‘Arifin dianggap sebagai sumber ajaran tarekat ini kitab tersebut
ditulis dengan sangat singkat, namun padat, berisi ajaran-ajaran TQN secara
garis besar, yang merupakan gabungan dari unsur-unsur ajaran Qadiriyah dan Naqsyabandiyah
yaitu tata cara membai’at, sepuluh macam latha’if, kemudian beliau menjelaskan
tentang zikir dalam tarekat Qadiriyah, dan diteruskan dengan penjelasan tentang
zikir dalam Naqsabandiyah. Syaikh Sambas menerangkan tiga syarat yang harus
dipenuhi oleh orang yang sedang berjalan menuju Allah, yaitu zikir diam dalam
mengingat, merasa selalu di awasi Allah dalam hatinya dan pengabdian kepada
syaikh, kemudian diakhiri dengan penjelasan rinci tentang dua puluh macam
meditasi (muraqabah). Sebelum ditutup, kitab ini memuat silsilah beliu hingga
Rasulullah. Dan yang paling akhir pada bagian tulisan tersebut adalah tentang
khatam dari tarekat syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani.[18]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan beberapa macam tarekat besar yang masuk ke Indonesia
dapat disimpulkan
1.
Tarekat Qadiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama
pendirinya, yaitu ‘Abd al-Qadir jilâni Beliau lahir di desa Naif kota Gilan
tahun 470 H/1077 M, yaitu wilayah yang terletak 150 km timur laut baghdad.
Syekh ‘Abd Qadir meninggal di baghdad pada tahun 561H/1166M, makamnya sejak
dulu hingga sekarang tetap diziarahi khalayak ramai, dari segala penjuru dunia
islam.
2.
Tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan Muhammad bin Muhammad Baha’
al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi
(717 H-1318 M-791 H-1389 M), dilahirkan disebelah desa Qashrul Arifah, kurang
lebih 4 mil dari bukhara tempat lahir dari imam bukhari.
3.
Tarekat Syadziliyah yang didirikan oleh ‘Ali bin Abdullah bin ‘Abd. Al-Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya
mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan dengan demikian berarti juga keturunan
Siti Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Mengenai tahun kelahiran beliau masih
terjadi perbedaan pendapat.
4.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang
didirikan oleh Syaikh Akhmad
Khatib Sambas (1802-1872), beliau adalah Syaik dua tarekat, sehingga beliau
membuat tarekat dengan menggabungkan antara keduanya.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Humairi,
Muhammad Ibn Abi Qasim, Jejak-Jejak Wali Allah, Penerbit Erlangga, t.tp.,
t.th.
Bruinessen,
Martin Van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Mizan, Bandung,
1996.
Bruinessen,
Martin Van, Kitab kuning Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, 1995.
Jamil, Muhsin, Tarekat
dan Dinamika Sosial Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Mulyati, Sri,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
Prenada Media, Jakarta, 2004.
Nata , Abuddin, Akhlak Tasawuf,
Rajawali Press, Jakarta, 2012.
Thohir, Ajid, Gerakan Politik Kaum Tarekat, Pustaka Hidayah,
Bandung, 2002.
[1] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 273.
[2] Martin Van
Bruinessen, Kitab kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995),
h. 221.
[3] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2004), h. 36-37.
[4] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...,
h. 37.
[5] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...,
h. 44.
[6] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...,
h. 46.
[7] Muhsin Jamil, Tarekat
dan Dinamika Sosial Politik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 73.
[8] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...,
h.89-90.
[9] Martin Van
Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996),
h. 77-78.
[10] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...,
h. 106-107.
[11] Muhammad Ibn Abi Qasim al-Humairi, Jejak-Jejak Wali Allah,
(t.tp.: Penerbit Erlangga, t.th.), h. 2-3.
[12] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...,
h. 57-58.
[13] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...,
h. 59.
[14] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...,
h. 73-75.
[15] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...,
h. 81-82.
[16] Ajid Thohir, Gerakan
Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 28.
[17] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...,
h. 253.
[18] Sri Mulyati,
DKK, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...,
h. 258.
0 komentar:
Posting Komentar