BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur`an sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu
menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada
eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah
terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi
umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Al-Qur`an tidak hanya berbicara
tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.
Al-Qur`an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang
sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah,
kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus
dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak
dirinci oleh Allah SWT, sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan
susunan kalimat yang singkat dan sarat makna.
Banyak ulama
tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al-Qur`an. Dari para ulama itu muncullah
berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan
al-Qur`an
secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka.
Namun,
dalam makalah ini, kami akan mencoba menjelaskan tentang corak-corak penafsiran, diantaranya: Tafsir bercorak Sufi, Tafsir bercorak Fiqhî, Tafsir bercorak Falsafî,
Tafsir bercorak Ilmî, Tafsir bercorak Adabî
Ijtimâ’î (sosial masyarakat), Tafsir
bercorak Lughawî, dan Tafsir bercorak Teologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Corak (al-Laun) Tafsir
Corak penafsiran
dalam literatur sejarah tafsir biasanya diistilahkan dalam bahasa Arab yaitu al-laun yang arti dasarnya warna.[1]
Corak penafsiran yang dimaksud di sini ialah nuansa khusus atau sifat khusus
yang memberikan warna tersendiri pada tafsir.[2]
Tafsir al-Qur`an
sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat
suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur`an
adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak
sebuah tafsir, di antara Para Ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada
yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode
(misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadis, ayat dengan kisah
Israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan
topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhî, falsafî, sufi dan
lain-lain).[3]
B. Macam-macam
Corak Penafsiran
Quraish Shihab,
mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain: corak
sastra bahasa, corak filsafat, corak teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, corak tasawuf, dan corak sastra budaya.[4]
Sedangkan disini kami menjelaskan ada tujuh corak penafsiran yang relatif digunakan para Mufasir dalam menafsirkan Al-Qur`an, walaupun seiring perkembangan ilmu
pengetahuan yang menyebabkan timbulnya corak-corak baru dalam ruang lingkup
penafsiran al-Qur`an, diantara tujuh corak
itu adalah:
1.
Tafsir bercorak sufi
Tafsir bercorak
sufi ialah tafsir dengan kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari apa
yang tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.[5]
Sedangkan tasawuf sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu:
a. Tasawuf teoritis, yakni tasawuf yang didasarkan atas
hasil pembahasan dan studi yang mendalam. Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf
lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan
mendalami al-Qur`an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf
mereka. Mereka menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak mengikuti
cara-cara untuk menta`wilkan ayat al-Qur`an dan menjelaskannya dengan
penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan
didukung oleh dalil Syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu
dalam bab perihal Isyarat. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama
sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah yang
dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang
ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan. Beberapa
tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, Lebih jauh Al-Alusy berkata: “Tidaklah
sepantasnya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam
mengingkari bahwa Al-Qur`an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh
Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang
dikehendaki”.
b. Tasawuf praktis, yakni tasawuf yang dihasilkan oleh
praktik gaya hidup zuhud dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah. Mereka
benar-benar menerapkan sikap di atas untuk hidup, mereka bersikap zuhud
di alam kehidupan dunia dan selalu bersiap diri menghadapi kehidupan di
akhirat.
Dari pembagian
kelompok tasawuf tersebut tampak mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf,
orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu
yang dianutnya.Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya
seperti fiqih, hadis dan tafsir. Pada masa ini pula
bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, dan
lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya
tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah
keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum dan yang lainnya.[6]
Perkembangan
pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran terhadap ayat-ayat
al-Qur’an memunculkan corak penafsiran sufi. Maka tidaklah mengherankan bila
corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal
sejak awal turunnya al-Qur`an kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang
dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur`an
melalui sumber-sumber Islam yang disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat, dan
pendapat kalangan Tabiin. [7]
Dalam perjalanannya,
tafsir ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
1) Tafsir Sûfî
Isyârî, yaitu penafsiran al-Qur`an dalam bentuk ta`wil, yakni
penafsiran yang bersifat batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya ketika
dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran yang batini dengan kenyataan
lahiriah.
2) Tafsir Sûfî
Nadzarî, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang diterapkan
dalam penafsiran al-Qur`an. Sedangkan Tafsir Sûfî Isyârî tidak
dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia dibangun atas dasar riyâdhah rûhiyyah, yaitu
latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia mencapai
tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya (inkisyaf).
Ada beberapa
kriteria tafsir sufi yang diterima yaitu :
1) Tidak
menafikan penafsiran lahiriah
2) Ada
kesaksian syar’i yang menguatkan penafsiranya
3) Tidak
bertentangan dengan hukum dan akal
4) Ada
kesadaran bahwa Tafsir Isyârî itu bukan satu – satunya yang
di maksud Al Qur`an.
Salah satu contoh
karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah:
1) Tafsîr
al-Qur`ân al-Karîm, karya Sahl al-Tustarî (w.283 H);
2) Haqâ’iq
al-Tafsīr, karya
Abu Abd al-Rahman al-Sulamî (w.412 H);
3) Lathâ’if
al-Isyârah, karya
al-Qusyairi, dan
2. Tafsir
bercorak fiqhî
Tafsir bercorak fiqhî
ialah kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya, atau dengan
kata lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah
menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha penafsiran.[9]
Tafsir semacam ini seakan-akan melihat al-Qur`an sebagai kitab suci yang berisi
ketentuan perundang-undangan, atau menganggap al-Qur`an sebagai kitab hukum.[10]
Bersamaan dengan
lahirnya corak tafsir bil ma’tsûr, corak tafsir fiqhî juga muncul pada saat yang bersamaan, melalui
penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di antara keduanya. Ini terjadi
lantaran kebanyakan masalah yang muncul
dan menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada
generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di sini,
keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur`an bisa muncul dengan cara melakukan
penafsiran terhadapnya.
Pada awal Islam,
ketika menemukan sebuah masalah, maka yang selalu dilakukan oleh para sahabat
adalah mengembalikan permasalahannya kepada Nabi SAW. Dengan begitu, Nabi SAW kemudian
memberikan jawaban. Jawaban-jawaban Nabi SAW ini digambarkan sebagai bentuk
penafsiran bi al-ma’tsûr, yang dengan muatan penjelasan tentang hukum Islam
dapat pula disebut dengan tafsir fiqhî. Oleh karena itu, boleh dikatakan
pula bahwa tafsir fiqhî muncul dan berkembang bersamaan dengan
berkembangnya ijtihad, yang hasilnya
tentu saja sudah sangat banyak, dan diteruskan dari generasi ke generasi secara
tulus sejak awal turunnya al-Qur’ān sampai masa penyusunan aliran-aliran hukum
Islam menurut madzhab tertentu.
Pada masa
pembentukan madzhab, beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin mengantarkan
pada pembentukan hukum-hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Maka
masing-masing Imam madzhab melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini
berdasarkan sandaran al-Qur`an dan al-Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad
lainnya. Dengan itu, para imam memberikan keputusan hukum yang telah melalui
pertimbangan pemikiran di dalam hatinya, dan meyakini bahwa hal yang dihasilkan
itu merupakan sesuatu yang benar, yang didasarkan pada dalil-dalil dan
argumentasi.[11]
Faktor yang cukup
mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhî adalah
karya-karya yang menampilkan pandangan fiqh yang cukup sektarian, ketika kita
menemukan tafsir fiqhî sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh
yang disusun oleh para pendiri madzhab. Meskipun begitu, ada pula sebagian yang
memberikan analisis dengan membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang
mereka anut.[12]
Di antara kitab-kitab
yang tergolong tafsir fiqhî adalah, Ahkâm al-Qur`an, karya
al-Jassâs (w. 370 H); Ahkâm al-Qur`an, karya Ibn al-‘Arabî
(w. 543 H); dan Al-Jâmi‘ li
ahkâm al-Qur`an, karya al-Qurtubî (w. 671 H).[13]
3. Tafsir
bercorak Falsafî
Tafsir bercorak falsafî
ialah kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir
dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada
akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.[14]
Dalam melakukan tafsir Falsafî, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
pertama dengan Metode ta`wil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya yang
sesuai dengan pandangan-pandangan filosofis. Dan yang kedua dengan Metode
pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan
pandangan-pandangan filosofis.
Tafsir Falsafî
berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran
atau pandangan para ahli falsafî, seperti tafsir bi al-Ra`y.
Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai sebuah pemikiran yang ditulis, bukan
pemikiran yang tertuju pada ayat. Seperti tafsir yang dilakukan
al-Farabî, ibn Sinâ, dan Ikhwân al-Shafâ. Menurut Al-Dzahabî, tafsir mereka ini
di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Al-Qur`an adalah
sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini
menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Sejarah telah mencatat
perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan
manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang
lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafî yang cenderung hanya berdasarkan logika
dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang
memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi
positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi makna-makna yang tersembunyi,
yang diangkat dari teks kitab suci untuk
dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan
budaya dan bahasa.
Dari pemahaman
tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya
terwujudnya tafsir falsafî ideal, sebuah konsep tafsir falsafî yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan
interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas
sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks al-Qur`an tidak
lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan.
Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang logis dan
proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan.[15]
Ada beberapa
kitab tafsir falsafi seperti, Mafâtih Al-Ghâib, karya Fakhr
al-Razi (w. 606 H), al-Isyârat, karya Imam al-Ghazali (w. 505
H), Rasail Ibn Sinâ, karya Ibn Sinâ (w. 370 H).[16]
4. Tafsir
bercorak ‘Ilmî
Tafsir bercorak ‘ilmî
adalah kecenderungan menafsirkan al-Qur`an dengan memfokuskan penafsiran pada
kajian bidang ilmu pengetahuan, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan Ilmu dalam al-Qur`an.[17]
Adapun definisi
tafsir bercorak ‘ilmî secara istilah menurut beberapa ulama di
antaranya:
Pertama, menurut
Husayn Al-Dzahabî, tafsir yang bercorak ‘Ilmî dalah tafsir yang
menetapkan istilah-istilah ilmu pengetahuan dalam penuturan al-Qur`an.[18]
Kedua, pendapat
dari ‘Abd Al-Majîd ‘Abd As-Salâm Al-Mahrasî juga memberikan batasan sama
terhadap tafsir bi al-Ilmî, yaitu: tafsir yang mufasirnya mencoba
menyingkap ibarat-ibarat dalam al-Qur`an yaitu mengenai beberapa pandangan
ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali
berbagai problem ilmu pengetahuan.[19]
Dan ketiga,
pendapat dari Yusuf al-Qardhawî seperti yang dikutip oleh A. Mufakhir Muhammad,
tafsir yang bercorak ‘Ilmî adalah penafsiran yang menggunakan perangkat
ilmu-ilmu kontemporer, realita-realita dan teorinya untuk menjelaskan sasaran
untuk menjelaskan sasaran dan makna al-Qur`an.[20]
Kajian tafsir ini
adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Alasan yang melahirkan
penafsiran bi al-‘Ilmî adalah karena seruan al-Qur`an pada dasarnya
adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal
dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk
merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai
ayat-ayat al-Qur`an ditutup dengan ungkapan-ungkapan, antara lain: “Telah kami
terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan
ungkapan: “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkpan: “Bagi
kaum yang berfikir”. Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan
makna-makna yang mendalam akan menunjukkan pada sebuah pandangan bagi pemerhati
kajian dan pemikiran khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam perintah
untuk mengungkap tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah. Belakangan,
pada abad ke-20 perkembangan tafsir bi al-ilmî semakin meluas dan semakin
diminati oleh berbagai kalangan. Banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa
ayat al-Qur`an melalui pendekatan ilmu pengetahuan modern. Tujuan utamanya
adalah untuk membuktikan mukjizat al-Qur`an dalam ranah keilmuwan sekaligus untuk
meyakinkan orang-orang non-muslim akan keagungan dan keunikan al-Qur`an.[21]
Meluasnya minat
terhadap corak tafsir bi al-‘Ilmî dikarenakan umat Islam merasa
tertinggal dari pada Barat dalam hal ilmu pengetahuannya. Umat Islam juga takut
penyakit pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang pernah dialami
Barat akan timbul di dunia mereka. Karenanya, umat Islam pun bangkit dan mulai
melakukan berbagai eksperimen ilmiah dengan mencari kesesuainnya dalam al-Qur`an.[22]
Al-Qur `an memang sangat terbuka untuk ditafsirkan
(multi interpretable) dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur`an
biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat
berpengaruh baginya. Selain itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufasir
untuk memahami al-Qur`an sesuai dengan
disiplin ilmu yang ditekuni sehingga meskipun objek kajiannya sama yaitu teks al-Qur`an, namun hasil penafsirannya
akan berbeda satu sama lain.
Quraish Shihab
menjelaskan bahwa berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan al-Qur`an
sesuai dengan teori-teori ilmiah ataupun penemuan baru. Kita dapat menggunakan
pendapat para ulama dan cendikiawan, hasil percobaan dan pengalaman ilmuwan,
mengasah otak dalam membantu mengadakan ta’ammul dan tadabbur
dalam membantu memahami arti ayat-ayat al-Qur`an tanpa mempercayai hipotesis
atau pantangan.[23]
Kajian tafsir
al-‘ilmi ini dapat diterima dan dibolehkan asalkan tidak ada pemaksaan terhadap
ayat-ayat al-Qur`an dan tidak memaksa diri secara berlebihan untuk menangkap
makna-makna ilmiah dari ayat tersebut. Pemilihan arti-arti ayat harus sesuai
dengan ketentuan bahasa dengan tetap mengutamakan pengambilan arti zhahirnya
selama tidak dilarang oleh ‘aql dan naql dan harus tetap berada
pada lingkaran kemungkinan-kemungkinan arti yang dikandung oleh lafaz dan ayat
tanpa melakukan pengurangan atau penambahan.[24]
Beberapa contoh
karya tafsir al-‘ilmi ini adalah:
1) Tafsir
al-Kabîr / Mafâtih Al-Ghâib (Fakhruddin Al-Râzi)
2) Al-Jawâhir
fi Tafsîr al-Qur`an al-Karîm (Thanthawî Jauhari)
3) Tafsir
al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah Syahatah)
Jadi, corak dan
keberagaman penafsiran al-Qur`an menunjukkan kekayaan khazanah pemikiran umat
Islam yang digali dari al-Qur`an. Namun, kita harus memiliki sikap yang kritis
dalam melihat produk-produk tafsir tersebut. Apakah ada penyimpangan dan hidden
interest di balik penafsirannya?, Apakah penafsirannya disertai dengan
argument yang kuat ? jika ya, maka kita harus menghormatinya, meskipun kita
tidak mengikutinya.[25]
5. Tafsir
bercorak Adabî Ijtimâ’î (sosial masyarakat)
Tafsir ini adalah
tafsir yang memiliki kecenderungan kepada persoalan sosial kemasyarakatan.
Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan
perkembangan kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung. Corak tafsir ini
berusaha memahami teks al-Qur`an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan
ungkapan-ungkapan al-Qur`an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna
yang dimaksud oleh al-Qur`an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan
menarik, kemudian berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur'an
yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi,
dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu
dan hanya sebatas kebutuhan.[26]
Metode Adabî Ijtimâ’î dalam segi keindahan (balâghah) bahasa dan
kemu’jizatan al-Qur`an, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh
al-Qur`an, berupaya mengungkapkan betapa al-Qur`an itu mengandung hukum-hukum
alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran
Alquran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat,
serta berupaya mempertemukan antara ajaran al-Qur`an dan teori-teori ilmiah
yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat, bahwa al-Qur`an itu adalah
Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan
kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan
dan keraguan yang dilontarkan terhadap al-Qur`an dengan argumen-argumen yang
kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti
lenyap.
Unsur yang
membentuk masyarakat ada tiga yakni: Manusia, alam dan hubungan atau interaksi
sosial. Unsur ketiga yang harus kita kaji untuk menemukan di manakah letak posisi
manusia dalam interaksi sosial, sesuai dengan konsepsi yang dikehendaki oleh al-Qur`an.
Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan (interdependensi)
satu sama lain dalam kehidupannya. Bertolak dari kebutuhan sosiologisnya itu,
seluruh manusia akan memiliki kecenderungan yang sama, yaitu membentuk kesatuan
sosial, yang pada akhirnya melahirkan sebuah Negara.
Dilihat dari segi
sifatnya, hubungan sosial tersebut terbagi dua, yaitu: pertama hubungan
fungsional, hubungan ini adalah hubungan sosial yang lebih bertendensikan
kejasaan. Sedangkan yang kedua adalah hubungan
persaudaraan yang diikat kesamaan agama. ini adalah hubungan antara
manusia dengan sesamanya, berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan, gesekan kebudayaan
dan berbagai bidang kehidupan sosial lainnya. Dan pada hari akhir nanti Allah tidak
menanyai manusia mengenai pendapat para mufasir, dan tentang bagaimana mereka
memahami al-Qur`an. Tetapi ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang
Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur manusia. Kesimpulannya adalah
menjelaskan al-Qur`an kepada masyarakat luas dengan maknanya yang praktis,
bukan hanya untuk ulama yang professional. Masyarakat awam maupun ulama,
menyadari relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak
akan memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi
sehari-hari. Agar para ulama itu yakin, bahwa mereka seharusnya membiarkan al-Qur`an
berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan malah diperumit dengan penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang ada.[27]
Nuansa sosial
kemasyarakatan yang dimaksud di sini adalah tafsir yang menitik beratkan
penjelasan ayat al-Qur`an dari:
a. Segi
ketelitian redaksinya,
b. Kemudian
menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama
memaparkan tujuan-tujuan al-Qur`an yang menonjol pada tujuan utama yang
diuraikan Alquran, dan
c. Penafsiran
ayat dikaitkan dengan Sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Tafsir sosial
kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolah-olah
menjadikan al-Qur`an terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara
individu maupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan al-Qur`an sebagai petunjuk
dalam kehidupan manusia terlantar.
Para Pelopor Kitab
Tafsir Corak Adabî Ijtimâ’î
menginginkan penafsiran al-Qur`an
kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qur`ani sebagai jawaban
terhadap tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya mempertemukan
antara al-Qur`an dan Sains modern yang selalu berkembang dengan cepat dalam
batas yang wajar dan ditoleransi oleh Islam, dengan motivasi lebih menegaskan I’jâz
Ilmî al-Qur`an. Dalam bidang kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang
sangat dibanyak dipelajari adalah tafsir yang terbit pada abad ke-19 dan 20.[28]
Tokoh utama
corak adabî ijtimâ’î ini adalah Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya,
dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridhâ, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman,
Muhammad Arkoun.[29]
6. Tafsir
bercorak Lughawî
Tafsir bercorak
Lughawî adalah sebuah tafsir yang
cendrung kebidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi I’râb, Harakat,
Bacaan, Pembentukan kata, Susunan kalimat dan Kesusastraannya. Tafsir semacam
ini selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur`an juga menjelaskan
segi-segi kemu’jizatannya.[30]
Tafsir yang
tergolomg baru di dunia Arab ini, yakni sekitar abad ke-14 H, yang
diperkenalkan oleh Sayyid Quthb pada karyanya “ Fî Dhilâl al-Qur`an”. Selain
itu, dia pun menulis dua buah buku yang diberi judul: “al-Taswîr al-Fannî Fî
al-Qur`an” dan “Masyâhid al-Qiyâmat Fî al-Qur`an”. Kedua buku terakhir ini lebih kecil daripada
kitab karangannya yang pertama (Fî Dhilâl al-Qur`an). Akan tetapi,
ketiga kitab tersebut memiliki rûh (tujuan atau fungsi) yang sama yakni
berusaha untuk mencapai pemahaman corak atau kecendrungan sastra dalam
al-Qur`an. Tafsir bercorak Lughawî yang mengandung Adabî ini tetlepas
pemaparannya dari berbagai ungkapan yang berhubungan dengan kajian Nahwu,
aturan-aturan kebahasaan, istilah-istilah Balâghah, atau kajian-kajian lainnya
yang menjadi kecendrungan tafsir-tafsir lain.
Sebagai contoh
yang dikemukakan oleh Sayyid Quthb adalah Q.S. al-Hajj (22): 11;
z`ÏBur
Ĩ$¨Z9$# `tB ßç7÷èt ©!$# 4n?tã 7$öym
(
÷bÎ*sù ¼çmt/$|¹r& îöyz ¨br'yJôÛ$# ¾ÏmÎ/ (
÷bÎ)ur çm÷Ft/$|¹r& îpuZ÷FÏù |=n=s)R$# 4n?tã
¾ÏmÎgô_ur uÅ£yz
$u÷R9$#
notÅzFy$#ur 4 y7Ï9ºs
uqèd
ãb#uô£ãø9$#
ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÊÈ
Artinya:
“ Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di
tepi[980]; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu,
dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang[981].
rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang
nyata”.
Dalam
tafsirannya, Sayyid Quthb menggambarkan seseorang yang sedang berada di tempat
yang tinggi, kemudian dia mendekatinya, dan didapatinya sedang melakukan
sembahyang. Akan tetapi orang tersebut tidak memiliki pijakan yang stabil
sehingga tidak dapat menguasai dirinya, dia bergerak kesana kemari dan hampir
jatuh, sementara saya, kata Sayyid Quthb, berada dihadapannya mengikuti
gerakannya dengan nikmat. Demikianlah tafsir Lughawî
yang mengandung Adabî yang dikemukakan Sayyi Quthb terhadap
ayat diatas yang tentu saja dengan menggunakan tutur bahasa Arab yang indah
disimak.[31]
7.
Tafsir bercorak Teologi (Kalâm)
Tafsir bercorak Teologi (Kalâm) ialah tafsir dengan
kecendrungan pemikiran Kalâm, atau tafsir yang memiliki warna pemikiran kalâm.
Tafsir semacam ini merupakan salah satu bentuk penafsiran al-Qur`an yang tidak
hanya ditulis oleh simpatisan kelompok Teologis tertentu, tetapi lebih jauh
lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang Teologi
tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan
tema-tema Teologis dibandingkan mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur`an.
Salah satu kitab tafsir yang bercorak Teologi adalah Tafsir Mu’tazilah[32]
* * * * *
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan
di atas dapat penulis simpulkan bahwa yang termasuk
dalam corak- corak tafsir tahlili adalah sebagai berikut :
Pertama, tafsir sufi,
ialah tafsir dengan kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari apa yang
tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.
Kedua, tafsir fiqhî, ialah
kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya, atau dengan kata
lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah
menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha penafsiran.
Ketiga, tafsir falsafî, ialah
kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir
dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada
akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.
Keempat, tafsir Ilmî, adalah
kecenderungan menafsirkan al-Qur`an dengan memfokuskan penafsiran pada kajian
bidang ilmiah, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan alam.
Atau tafsir yang memberikan hukum terhadap istilah alamiah dalam ibarat al-Qur`an.
Kelima, tafsir adabî ijtimâ’î adalah tafsir yang memiliki
kecenderungan kepada persoalan sosial kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih
banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat yang sedang berlangsung. Tafsir adabî ijtimâ’î merupakan
corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada
al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia
al-Qur’an. Di antara kitab tafsir yang bercorak adabi ijtima’i adalah
Tafsir al-Mannar karya Muhammad
’Abduh dan Rashid Rida.
Keenam, tafsir bercorak Lughawî adalah sebuah
tafsir yang
cendrung kebidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi I’râb, Harakat,
Bacaan, Pembentukan kata, Susunan kalimat dan Kesusastraannya. Tafsir semacam
ini selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur`an juga menjelaskan
segi-segi kemu’jizatannya
Ketujuh,
tafsir bercorak Teologi(Kalâm) ialah tafsir dengan kecendrungan pemikiran
Kalâm, atau tafsir yang memiliki warna pemikiran kalâm. Tafsir semacam ini
merupakan salah satu bentuk penafsiran al-Qur`an yang tidak hanya ditulis oleh
simpatisan kelompok Teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir
yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang Teologi tertentu.
Demikianlah
beberapa hal yang dapat disimpulkan mengenai pembahasan corak-corak tafsir. Sebagaiman
yang dipahami dalam pejalananya selalu mengalami perkembangan sehingga dapat
dipastikan kita akan menemui beraneka corak-corak penafsiran yang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Dzahabî,
Muhammad Husein, al- Tafsîr wa
al-Mufassirûn. Nasyr: Tuzi’, 2005.
al-Dzahabî,
Muhammad Husein, al- Tafsîr wa
al-Mufassirûn. Maktabah Wahbah: Al-Qahirah, 2000, Juz II dan
III.
Al-Farmawî, Abd. Al-hay. Metode Tafsir Mawdhû’î. Jakarta: PT
RajaGraffindo Persada, 1994.
Al-Farmawî, Abd. Al-hay. Metode Tafsir Mawdhû’î. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996.
Amal, Taufik Adnan dkk. Tafsir Kontekstual al-Qur’an. Bandung:
Mîzan, 1990.
Anwar, Rosihon. Ilmu
Tafsir. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005.
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru
Ilmu Tafsir, Yogyakarta: pustaka pelajar, 2005.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung:
TAFAKUR, 2011.
Kholid, Abd. Kuliah Madzâhib al-Tafsir. IAIN Sunan
Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2003.
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran.
Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Mustaqim, Abdul. Aliran-Aliran Tafsir; Dari Periode Klasik hingga
Kontemporer. Yogyakarta: Kreasi Warna, 2005.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Muhammad, A. Mufakhir. Tafsir
‘Ilmi. Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2004.
Suryadilaga, Muhammad
Al-Fâtih dkk. Metodologi Ilmu Tafsir.
Yogyakarta:TERAS, 2010.
Shihab, M. Quraish. Membumikan
al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1992.
Shihab, M. Quraish. Membumikan
al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung:
Mizan, 1994.
Quthb, Sayyid. Fî
Dhilâl al-Qur`an. Kairo: Dâr al-Syurûq, 1945.
http://romziana.blogspot.com/2012/10/metode-dan-corak-tafsir.html.
di akses pada tanggal 2 nopember
2014.
[2]Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir; Dari
Periode Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Kreasi Warna, 2005), h. 69.
[5]Abd. Kholid, Kuliah Madzâhib al-Tafsir. (IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2003),
h. 56.
[6] http://romziana.blogspot.com/2012/10/metode-dan-corak-tafsir.html. di akses
pada 2 nopember
2014
[8] Abd. Al-hay Al Farmawî, Metode Tafsir
Mawdhû’î, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 18
[10]Taufik Adnan Amal, dkk. Tafsir Kontekstual
al-Qur’an, (Bandung: Mîzan, 1990), h. 24.
[12] Abd. Al-hay Al Farmawî, Metode Tafsir
Mawdhu’iy, h. 18
[15]http://romziana.blogspot.com/2012/10/metode-dan-corak-tafsir.html. di akses pada 2 nopember
2014
[18] Muhammad Husein al-Dzahabî, Tafsîr wa
al-Mufassirûn, (Maktabah Wahbah: Al-Qahirah, 2000), Juz II h.
349
[19] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan
Tafsir Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 108
[20] A. Mufakhir Muhammad, Tafsir
‘Ilmi, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2004), h. 3
[21] A. Mufakhir Muhammad, Tafsir ‘Ilmi., h. 81
[22] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 53
[23]M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an., h. 57
[24] ‘Abd Al-Hayy Al-Farmawî, Metode
Tafsir Mawdhû’î: (Jakarta: PT RajaGraffindo Persada, 1994) h. 27
[25] Abdul Mustaqim, Pergeseran
Epistimologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) h. 59
[26] Muhammad Husein al-Dzahabî, Tafsîr wa
al-Mufassirûn, Juz III,. h. 214.
[27] http://romziana.blogspot.com/2012/10/metode-dan-corak-tafsir.html. di Akses pada tanggal 2 nopember
2014
[28] Muhammad Husein al-Dzahabî, Tafsîr wa
al-Mufassirûn, Juz III,. h. 214
[30] http://romziana.blogspot.com/2012/10/metode-dan-corak-tafsir.html. di Akses pada tanggal 2 nopember
2014
[31] Sayyid Quthb, Fî Dhilâl al-Qur`an. (Kairo: Dâr al-Syurûq,
1945), h. 7
[32]Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir.,
h. 70
3 komentar:
Weew,, promosi beliau
Weew,, promosi beliau
Promosi apa bos
Posting Komentar