jadwal sholat

Minggu, 21 Desember 2014

corak-corak tafsir


BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur`an  sebagai mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Al-Qur`an tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.
Al-Qur`an diturunkan  kepada  Nabi Muhammad  SAW  melalui  malaikat  Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah SWT, sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat makna.
Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran al-Qur`an. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan al-Qur`an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka.
Namun, dalam makalah ini, kami akan mencoba menjelaskan tentang corak-corak  penafsiran, diantaranya: Tafsir bercorak Sufi, Tafsir bercorak Fiqhî, Tafsir bercorak Falsafî, Tafsir bercorak Ilmî,  Tafsir bercorak Adabî Ijtimâ’î (sosial masyarakat), Tafsir bercorak Lughawî, dan Tafsir bercorak Teologi.









BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Corak (al-Laun) Tafsir
Corak penafsiran dalam literatur sejarah tafsir biasanya diistilahkan dalam bahasa Arab yaitu al-laun yang arti dasarnya warna.[1] Corak penafsiran yang dimaksud di sini ialah nuansa khusus atau sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir.[2]
Tafsir al-Qur`an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur`an adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di antara Para Ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode (misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadis, ayat  dengan  kisah Israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhî, falsafî, sufi dan lain-lain).[3]

B.       Macam-macam Corak Penafsiran
Quraish Shihab, mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain: corak sastra bahasa, corak filsafat, corak teologi, corak penafsiran ilmiah, corak  fiqih  atau  hukum, corak tasawuf,  dan corak sastra budaya.[4] Sedangkan disini kami menjelaskan ada tujuh corak penafsiran yang  relatif  digunakan  para  Mufasir dalam  menafsirkan  Al-Qur`an, walaupun seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan timbulnya corak-corak baru dalam ruang lingkup penafsiran al-Qur`an,  diantara tujuh corak itu adalah:





1.    Tafsir bercorak sufi
Tafsir bercorak sufi ialah tafsir dengan kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari apa yang tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.[5]
Sedangkan tasawuf sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu:
a.    Tasawuf  teoritis, yakni tasawuf yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi yang mendalam. Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-Qur`an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak mengikuti cara-cara untuk menta`wilkan ayat al-Qur`an dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil Syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal Isyarat. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah yang dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan. Beberapa tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, Lebih jauh Al-Alusy berkata: “Tidaklah sepantasnya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Al-Qur`an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki”.
b.    Tasawuf  praktis, yakni tasawuf yang dihasilkan oleh praktik gaya hidup zuhud dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah. Mereka benar-benar menerapkan sikap di atas untuk hidup, mereka  bersikap zuhud di alam kehidupan dunia dan selalu bersiap diri menghadapi kehidupan di akhirat.
Dari pembagian kelompok tasawuf tersebut tampak mulai adanya ketidakmurnian dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf dengan landasan ilmu yang dianutnya.Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh pada bidang lainnya seperti fiqih, hadis dan tafsir. Pada masa ini pula bermunculan istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, dan lain sebagainya. Dan sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum dan yang lainnya.[6]
Perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an memunculkan corak penafsiran sufi. Maka tidaklah mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Qur`an kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran al-Qur`an melalui sumber-sumber Islam yang disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin. [7]
Dalam perjalanannya, tafsir ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
1)   Tafsir Sûfî Isyârî, yaitu penafsiran al-Qur`an dalam bentuk ta`wil, yakni penafsiran yang bersifat batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya ketika dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran yang batini dengan kenyataan lahiriah.
2)   Tafsir Sûfî Nadzarî, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang diterapkan dalam penafsiran al-Qur`an. Sedangkan Tafsir Sûfî Isyârî tidak dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia dibangun atas dasar riyâdhah rûhiyyah, yaitu latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia mencapai tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya (inkisyaf).
Ada beberapa kriteria tafsir sufi yang diterima yaitu :
1)      Tidak menafikan penafsiran lahiriah
2)      Ada kesaksian syar’i yang menguatkan penafsiranya
3)      Tidak bertentangan dengan hukum dan akal
4)      Ada kesadaran bahwa Tafsir Isyârî itu  bukan satu – satunya yang di maksud Al Qur`an.
Salah satu contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah:
1)    Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, karya Sahl al-Tustarî (w.283 H); 
2)   Haqâ’iq al-Tafsīr,  karya Abu Abd al-Rahman al-Sulamî (w.412 H); 
3)   Lathâ’if al-Isyârah,  karya al-Qusyairi, dan 
4)   ‘Arâ’is al-Bayân fī Haqâ’iq al-Qur`ân,  karya al-Syirazî (w.606).[8]

2.    Tafsir bercorak fiqhî
Tafsir bercorak fiqhî ialah kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya, atau dengan kata lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha penafsiran.[9] Tafsir semacam ini seakan-akan melihat al-Qur`an sebagai kitab suci yang berisi ketentuan perundang-undangan, atau menganggap al-Qur`an sebagai kitab hukum.[10]
Bersamaan dengan lahirnya corak tafsir bil ma’tsûr, corak tafsir fiqhî  juga muncul pada saat yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di antara keduanya. Ini terjadi  lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di sini, keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur`an bisa muncul dengan cara melakukan penafsiran terhadapnya.
Pada awal Islam, ketika menemukan sebuah masalah, maka yang selalu dilakukan oleh para sahabat adalah mengembalikan permasalahannya kepada Nabi SAW. Dengan begitu, Nabi SAW kemudian memberikan jawaban. Jawaban-jawaban Nabi SAW ini digambarkan sebagai bentuk penafsiran bi al-ma’tsûr, yang dengan muatan penjelasan tentang hukum Islam dapat pula disebut dengan tafsir fiqhî. Oleh karena itu, boleh dikatakan pula bahwa tafsir fiqhî muncul dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya ijtihad,  yang hasilnya tentu saja sudah sangat banyak, dan diteruskan dari generasi ke generasi secara tulus sejak awal turunnya al-Qur’ān sampai masa penyusunan aliran-aliran hukum Islam menurut madzhab tertentu.
Pada masa pembentukan madzhab, beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin mengantarkan pada pembentukan hukum-hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Maka masing-masing Imam madzhab melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini berdasarkan sandaran al-Qur`an dan al-Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan itu, para imam memberikan keputusan hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di dalam hatinya, dan meyakini bahwa hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang benar, yang didasarkan pada dalil-dalil dan argumentasi.[11]
Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhî adalah karya-karya yang menampilkan pandangan fiqh yang cukup sektarian, ketika kita menemukan tafsir fiqhî sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para pendiri madzhab. Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis dengan membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut.[12]
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhî adalah,  Ahkâm al-Qur`an, karya al-Jassâs (w. 370 H); Ahkâm al-Qur`an,  karya Ibn al-‘Arabî (w. 543 H); dan  Al-Jâmi‘  li ahkâm al-Qur`an,  karya al-Qurtubî (w. 671 H).[13]
3.    Tafsir bercorak Falsafî
Tafsir bercorak falsafî ialah kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.[14] Dalam melakukan tafsir Falsafî, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama dengan Metode ta`wil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya yang sesuai dengan pandangan-pandangan filosofis. Dan yang kedua dengan Metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan pandangan-pandangan filosofis.
Tafsir Falsafî  berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan para ahli falsafî, seperti tafsir bi al-Ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai sebuah pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang tertuju pada  ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabî, ibn Sinâ, dan Ikhwân al-Shafâ. Menurut Al-Dzahabî, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Al-Qur`an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman. Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif, demikian juga tafsir  falsafî  yang cenderung hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi makna-makna yang tersembunyi,  yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa. 
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir  falsafî  ideal, sebuah konsep tafsir  falsafî yang  kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga  memberikan  perhatian  pada  realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks al-Qur`an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan.[15]
Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Mafâtih Al-Ghâib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H), al-Isyârat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), Rasail Ibn Sinâ, karya Ibn Sinâ (w. 370 H).[16]

4.    Tafsir bercorak ‘Ilmî
Tafsir bercorak ‘ilmî adalah kecenderungan menafsirkan al-Qur`an dengan memfokuskan penafsiran  pada  kajian bidang ilmu pengetahuan, yakni untuk menjelaskan  ayat-ayat yang berkaitan  dengan Ilmu dalam  al-Qur`an.[17]

Adapun definisi tafsir bercorak ‘ilmî secara istilah menurut beberapa ulama di antaranya:
Pertama, menurut Husayn Al-Dzahabî,  tafsir  yang bercorak ‘Ilmî dalah tafsir yang menetapkan istilah-istilah ilmu pengetahuan dalam penuturan al-Qur`an.[18]
Kedua, pendapat dari ‘Abd Al-Majîd ‘Abd As-Salâm Al-Mahrasî juga memberikan batasan  sama terhadap tafsir bi al-Ilmî, yaitu: tafsir yang mufasirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat  dalam  al-Qur`an yaitu mengenai beberapa pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali berbagai problem ilmu pengetahuan.[19]
Dan ketiga, pendapat dari Yusuf al-Qardhawî seperti yang dikutip oleh A. Mufakhir Muhammad, tafsir yang bercorak ‘Ilmî adalah penafsiran yang menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer, realita-realita dan teorinya untuk menjelaskan sasaran untuk menjelaskan sasaran dan makna al-Qur`an.[20]
Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya. Alasan yang melahirkan penafsiran bi al-‘Ilmî adalah karena seruan al-Qur`an pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Qur`an ditutup dengan ungkapan-ungkapan, antara lain: “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan: “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkpan: “Bagi kaum yang berfikir”. Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna yang mendalam akan menunjukkan pada sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan pemikiran khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam perintah untuk mengungkap tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah. Belakangan, pada abad ke-20 perkembangan tafsir bi al-ilmî semakin meluas dan semakin diminati oleh berbagai kalangan. Banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat al-Qur`an melalui pendekatan ilmu pengetahuan modern. Tujuan utamanya adalah untuk membuktikan mukjizat al-Qur`an dalam ranah keilmuwan sekaligus untuk meyakinkan orang-orang non-muslim akan keagungan dan keunikan al-Qur`an.[21]
Meluasnya minat terhadap corak tafsir bi al-‘Ilmî dikarenakan umat Islam merasa tertinggal dari pada Barat dalam hal ilmu pengetahuannya. Umat Islam juga takut penyakit pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang pernah dialami Barat akan timbul di dunia mereka. Karenanya, umat Islam pun bangkit dan mulai melakukan berbagai eksperimen ilmiah dengan mencari kesesuainnya dalam al-Qur`an.[22]
Al-Qur `an memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi interpretable) dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur`an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur,  bahkan  situasi  politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Selain itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufasir untuk memahami  al-Qur`an sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuni sehingga meskipun objek kajiannya sama yaitu  teks al-Qur`an, namun hasil penafsirannya  akan berbeda satu sama lain.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa berpikir secara kontemporer tidak berarti menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan teori-teori ilmiah ataupun penemuan baru. Kita dapat menggunakan pendapat para ulama dan cendikiawan, hasil percobaan dan pengalaman ilmuwan, mengasah otak dalam membantu mengadakan ta’ammul dan tadabbur dalam membantu memahami arti ayat-ayat al-Qur`an tanpa mempercayai hipotesis atau pantangan.[23]
Kajian tafsir al-‘ilmi ini dapat diterima dan dibolehkan asalkan tidak ada pemaksaan terhadap ayat-ayat al-Qur`an dan tidak memaksa diri secara berlebihan untuk menangkap makna-makna ilmiah dari ayat tersebut. Pemilihan arti-arti ayat harus sesuai dengan ketentuan bahasa dengan tetap mengutamakan pengambilan arti zhahirnya selama tidak dilarang oleh ‘aql dan naql dan harus tetap berada pada lingkaran kemungkinan-kemungkinan arti yang dikandung oleh lafaz dan ayat tanpa melakukan pengurangan atau penambahan.[24]
Beberapa contoh karya tafsir al-‘ilmi ini adalah:
1)      Tafsir al-Kabîr / Mafâtih Al-Ghâib (Fakhruddin Al-Râzi)
2)      Al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur`an al-Karîm (Thanthawî  Jauhari)
3)      Tafsir al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah Syahatah)
Jadi, corak dan keberagaman penafsiran al-Qur`an menunjukkan kekayaan khazanah pemikiran umat Islam yang digali dari al-Qur`an. Namun, kita harus memiliki sikap yang kritis dalam melihat produk-produk tafsir tersebut. Apakah ada penyimpangan dan hidden interest di balik penafsirannya?, Apakah penafsirannya disertai dengan argument yang kuat ? jika ya, maka kita harus menghormatinya, meskipun kita tidak mengikutinya.[25]

5.    Tafsir bercorak Adabî  Ijtimâ’î (sosial masyarakat)
Tafsir ini adalah tafsir yang memiliki kecenderungan kepada persoalan sosial kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung. Corak tafsir ini berusaha memahami teks al-Qur`an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur`an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur`an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur'an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan.[26]
Metode Adabî  Ijtimâ’î dalam segi  keindahan (balâghah) bahasa dan kemu’jizatan al-Qur`an, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh al-Qur`an, berupaya mengungkapkan betapa al-Qur`an itu mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Alquran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran al-Qur`an dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat, bahwa al-Qur`an itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap al-Qur`an dengan argumen-argumen yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti lenyap.
Unsur yang membentuk masyarakat ada tiga yakni: Manusia, alam dan hubungan atau interaksi sosial. Unsur ketiga yang harus kita kaji untuk menemukan di manakah letak posisi manusia dalam interaksi sosial, sesuai dengan konsepsi yang dikehendaki oleh al-Qur`an. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan (interdependensi) satu sama lain dalam kehidupannya. Bertolak dari kebutuhan sosiologisnya itu, seluruh manusia akan memiliki kecenderungan yang sama, yaitu membentuk kesatuan sosial, yang pada akhirnya melahirkan sebuah Negara.
Dilihat dari segi sifatnya, hubungan sosial tersebut terbagi dua, yaitu: pertama hubungan fungsional, hubungan ini adalah hubungan sosial yang lebih bertendensikan kejasaan. Sedangkan yang  kedua adalah hubungan persaudaraan yang diikat kesamaan agama. ini adalah hubungan antara manusia dengan sesamanya, berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan, gesekan kebudayaan dan berbagai bidang kehidupan sosial lainnya. Dan  pada hari akhir nanti Allah tidak menanyai manusia mengenai pendapat para mufasir, dan tentang bagaimana mereka memahami al-Qur`an. Tetapi ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur manusia. Kesimpulannya adalah menjelaskan al-Qur`an kepada masyarakat luas dengan maknanya yang praktis, bukan hanya untuk ulama yang professional. Masyarakat awam maupun ulama, menyadari relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak akan memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Agar para ulama itu yakin, bahwa mereka seharusnya membiarkan al-Qur`an berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan malah diperumit dengan  penjelasan-penjelasan dan  keterangan-keterangan  yang  ada.[27]
Nuansa sosial kemasyarakatan yang dimaksud di sini adalah tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur`an dari:
a.       Segi ketelitian redaksinya,
b.      Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-tujuan al-Qur`an yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan Alquran, dan
c.       Penafsiran ayat dikaitkan dengan Sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolah-olah menjadikan al-Qur`an terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan al-Qur`an sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar.
Para Pelopor Kitab Tafsir Corak Adabî  Ijtimâ’î menginginkan penafsiran  al-Qur`an kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qur`ani sebagai jawaban terhadap tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya mempertemukan antara al-Qur`an dan Sains modern yang selalu berkembang dengan cepat dalam batas yang wajar dan ditoleransi oleh Islam, dengan motivasi lebih menegaskan I’jâz Ilmî al-Qur`an. Dalam bidang kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat dibanyak dipelajari adalah tafsir yang terbit pada abad ke-19 dan 20.[28]
Tokoh utama corak  adabî ijtimâ’î  ini  adalah  Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridhâ, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun.[29]   



6.    Tafsir bercorak Lughawî
Tafsir bercorak Lughawî adalah sebuah tafsir yang  cendrung kebidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi I’râb, Harakat, Bacaan, Pembentukan kata, Susunan kalimat dan Kesusastraannya. Tafsir semacam ini selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur`an juga menjelaskan segi-segi kemu’jizatannya.[30]
Tafsir yang tergolomg baru di dunia Arab ini, yakni sekitar abad ke-14 H, yang diperkenalkan oleh Sayyid Quthb pada karyanya “ Fî Dhilâl al-Qur`an”. Selain itu, dia pun menulis dua buah buku yang diberi judul: “al-Taswîr al-Fannî Fî al-Qur`an” dan “Masyâhid al-Qiyâmat Fî al-Qur`an”.  Kedua buku terakhir ini lebih kecil daripada kitab karangannya yang pertama (Fî Dhilâl al-Qur`an). Akan tetapi, ketiga kitab tersebut memiliki rûh (tujuan atau fungsi) yang sama yakni berusaha untuk mencapai pemahaman corak atau kecendrungan sastra dalam al-Qur`an. Tafsir bercorak Lughawî yang mengandung Adabî ini tetlepas pemaparannya dari berbagai ungkapan yang berhubungan dengan kajian Nahwu, aturan-aturan kebahasaan, istilah-istilah Balâghah, atau kajian-kajian lainnya yang menjadi kecendrungan tafsir-tafsir lain.
Sebagai contoh yang dikemukakan oleh Sayyid Quthb adalah Q.S. al-Hajj (22): 11;
z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ßç7÷ètƒ ©!$# 4n?tã 7$öym ( ÷bÎ*sù ¼çmt/$|¹r& îŽöyz ¨br'yJôÛ$# ¾ÏmÎ/ ( ÷bÎ)ur çm÷Ft/$|¹r& îpuZ÷FÏù |=n=s)R$# 4n?tã ¾ÏmÎgô_ur uŽÅ£yz $u÷R9$# notÅzFy$#ur 4 y7Ï9ºsŒ uqèd ãb#uŽô£ãø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÊÈ  

Artinya: “ Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi[980]; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang[981]. rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”.

Dalam tafsirannya, Sayyid Quthb menggambarkan seseorang yang sedang berada di tempat yang tinggi, kemudian dia mendekatinya, dan didapatinya sedang melakukan sembahyang. Akan tetapi orang tersebut tidak memiliki pijakan yang stabil sehingga tidak dapat menguasai dirinya, dia bergerak kesana kemari dan hampir jatuh, sementara saya, kata Sayyid Quthb, berada dihadapannya mengikuti gerakannya dengan nikmat. Demikianlah tafsir Lughawî yang mengandung Adabî yang dikemukakan Sayyi Quthb terhadap ayat diatas yang tentu saja dengan menggunakan tutur bahasa Arab yang indah disimak.[31]
               
7.     Tafsir bercorak Teologi (Kalâm)
Tafsir bercorak Teologi (Kalâm) ialah tafsir dengan kecendrungan pemikiran Kalâm, atau tafsir yang memiliki warna pemikiran kalâm. Tafsir semacam ini merupakan salah satu bentuk penafsiran al-Qur`an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok Teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang Teologi tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan tema-tema Teologis dibandingkan mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur`an. Salah satu kitab tafsir yang bercorak Teologi adalah Tafsir Mu’tazilah[32]

*     *     *     *     *













BAB III
PENUTUP
Dari  penjelasan di atas  dapat penulis simpulkan bahwa yang termasuk dalam  corak- corak tafsir tahlili adalah sebagai berikut :
Pertama, tafsir sufi,  ialah tafsir dengan kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari apa yang tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.
 Kedua, tafsir fiqhî, ialah kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya, atau dengan kata lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha penafsiran.
Ketiga, tafsir falsafî, ialah kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.
Keempat, tafsir Ilmî, adalah kecenderungan menafsirkan al-Qur`an dengan memfokuskan penafsiran pada kajian bidang ilmiah, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan alam. Atau tafsir yang memberikan hukum terhadap istilah alamiah dalam ibarat al-Qur`an.
Kelima, tafsir adabî  ijtimâ’î adalah tafsir yang memiliki kecenderungan kepada persoalan sosial kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung. Tafsir adabî ijtimâ’î merupakan corak tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia al-Qur’an. Di antara kitab tafsir yang bercorak  adabi ijtima’i adalah Tafsir al-Mannar karya Muhammad ’Abduh dan Rashid Rida.
            Keenam,  tafsir bercorak Lughawî  adalah  sebuah  tafsir  yang  cendrung kebidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi I’râb, Harakat, Bacaan, Pembentukan kata, Susunan kalimat dan Kesusastraannya. Tafsir semacam ini selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur`an juga menjelaskan segi-segi kemu’jizatannya
            Ketujuh, tafsir bercorak Teologi(Kalâm) ialah tafsir dengan kecendrungan pemikiran Kalâm, atau tafsir yang memiliki warna pemikiran kalâm. Tafsir semacam ini merupakan salah satu bentuk penafsiran al-Qur`an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok Teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang Teologi tertentu.
Demikianlah beberapa hal yang dapat disimpulkan mengenai pembahasan corak-corak tafsir. Sebagaiman yang dipahami dalam pejalananya selalu mengalami perkembangan sehingga dapat dipastikan kita akan menemui beraneka corak-corak penafsiran yang lain.

























DAFTAR PUSTAKA
al-Dzahabî,  Muhammad  Husein, al- Tafsîr wa al-Mufassirûn. Nasyr: Tuzi’, 2005.
al-Dzahabî,  Muhammad  Husein, al- Tafsîr wa al-Mufassirûn. Maktabah Wahbah: Al-Qahirah, 2000,  Juz II dan  III.
Al-Farmawî, Abd. Al-hay.  Metode Tafsir Mawdhû’î. Jakarta: PT RajaGraffindo Persada, 1994.
Al-Farmawî, Abd. Al-hay.  Metode Tafsir Mawdhû’î. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Amal, Taufik Adnan dkk. Tafsir Kontekstual al-Qur’an. Bandung: Mîzan, 1990.
Anwar, Rosihon.  Ilmu Tafsir. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005.
Baidan, Nashruddin.  Wawasan  Baru  Ilmu Tafsir, Yogyakarta: pustaka pelajar, 2005.
Izzan, Ahmad.  Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: TAFAKUR, 2011.
Kholid, Abd. Kuliah Madzâhib al-Tafsir. IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2003.
Khaeruman,  Badri.  Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Mustaqim, Abdul. Aliran-Aliran Tafsir; Dari Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Kreasi Warna, 2005.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Muhammad, A. Mufakhir.  Tafsir ‘Ilmi. Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2004.
Suryadilaga, Muhammad  Al-Fâtih  dkk.  Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta:TERAS, 2010.
Shihab, M. Quraish.  Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1992.
Shihab, M. Quraish.  Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994.
Quthb, Sayyid.  Fî Dhilâl al-Qur`an. Kairo: Dâr al-Syurûq, 1945.



[1] Ahmad Izzan. Metodologi Ilmu Tafsir. (Bandung: TAFAKUR, 2011), h. 199
[2]Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir; Dari Periode Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Kreasi Warna, 2005), h. 69.
[3]Muhammad  Al-Fâtih  Suryadilaga dkk,  Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS, 2010), h.  12
[4] M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). h. 72.
[5]Abd. Kholid, Kuliah Madzâhib al-Tafsir. (IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2003),  h. 56.
[7] Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2005). h, 386

[8] Abd. Al-hay Al Farmawî, Metode Tafsir Mawdhû’î, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 18
[9]Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir,  h. 70
[10]Taufik Adnan Amal, dkk. Tafsir Kontekstual al-Qur’an, (Bandung: Mîzan, 1990), h. 24.
[11] Muhammad  Husein al-Dzahabî, al- Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Nasyr: Tuzi’, 2005), h. 99
[12] Abd. Al-hay Al Farmawî, Metode Tafsir Mawdhu’iy,  h. 18
[13] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2005) h, 169
[14]Muhammad  Husein al-Dzahabî, al- Tafsîr wa al-Mufassirûn,   h. 419.
[16] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,.  h, 170
[17]Abd.  Kholid, Kuliah Madzahib al-Tafsir., h. 69
[18] Muhammad Husein al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Maktabah Wahbah: Al-Qahirah, 2000),  Juz II  h. 349
[19] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2004),  h. 108
[20] A. Mufakhir Muhammad, Tafsir ‘Ilmi, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2004),  h. 3
[21] A. Mufakhir Muhammad, Tafsir ‘Ilmi.,  h. 81
[22] M. Quraish Shihab.  Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994),  h. 53
[23]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an., h. 57
[24] ‘Abd Al-Hayy Al-Farmawî, Metode Tafsir Mawdhû’î: (Jakarta: PT RajaGraffindo Persada, 1994)  h. 27
[25] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) h. 59
[26] Muhammad Husein al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz  III,. h. 214.
[28] Muhammad Husein al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz III,. h. 214
[29] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,.  h. 174
[31] Sayyid Quthb, Fî Dhilâl al-Qur`an. (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1945), h. 7
[32]Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir., h. 70

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Weew,, promosi beliau




Unknown mengatakan...

Weew,, promosi beliau




Saifurrahman mengatakan...

Promosi apa bos

Posting Komentar

 
Copyright Saifurrahman El-Shahat 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .