jadwal sholat

Minggu, 21 Desember 2014

'Athaf


PENDAHULUAN
Untuk menerjuni sesuatu ilmu apapun seseorang perlu mengetahui dasar-dasar umum dan ciri-ciri khasnya. Ia terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ilmu-ilmu tersebut dan ilmu-ilmu lain yang menunjang dan diperlukan dalam kadar yang dapat membantu mencapai tingkat ahli dalam didiplin ilmu tersebut, sehingga disaat memasuki detail permasalahannya, ia memilih dengan lengkap kunci pemecahannya. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir dalam memahami Al-Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman asas-asasnya, penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan rahasia-rahasianya.
Dalam makalah ini kami mencoba membahas mengenai salah satu kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir jika ingin menafsirkan Al-Qur’an yaitu ‘athaf, semoga makalah ini bisa diambil manfa’atnya bagi kita semua.







PEMBAHASAN
A.    Pengertian ‘Athaf
اَلْعَطْفُ هُوَ تَابِعٌ يَتَوَسَّطُ بيْنَهُ وَبَيْنَ مَتْبُوْعِهِ أحَدُ حُرُوفِ الْعَطْفِ
 Artimya: ‘Athaf ialah tabi’ yang dipisah dari matbu’nya oleh salah satu huruf
‘ataf[1]
Contoh :
رايت محمّدا وبكرا
Artinya : Aku telah melihat Muhammad dan Bakar.
Lafadz Bakar mengikuti kepada lafadz Zaid yang ditengah-tengahi oleh Wawu huruf ‘ataf. Lafadz Bakar (di-‘ataf-kan) sedangkan lafadz Muhammad yang di-‘ataf-inya (Ma’thuf ‘alaih).
Contoh lain seperti :
اكلت الرّزّ واللحم 
Artinya : Aku memakan nasi dan daging
اشتريت الدّفتر والقلم
Artinya : Aku telah membeli buku tulis dan pena[2]
B.     Macam-macam huruf ‘ataf
اَلْوَاوُ = Untuk menghubungkan (dan)
اَلْفَاءُ = Kemudian/lalu
ثُمَّ = kemudian
أَمْ  = atau (memilih atau membandingkan)
 أَوْ = atau (memilih salah satu)
لَكِنْ = tetapi
لا = Bukan/tidak
بَلْ = tetapi/bahkan
حتّى = hingga/bahkan[3]
Adapun contoh dari 9 huruf ‘ataf tersebut
1.      اَلْوَاو, Contoh:
جاء زيد و عمرو
Telah datang Zaid dan ‘Amr (bersamaan)
2.      اَلْفَاءُ, Contoh:
جاء زيد فعمرو
Telah datang Zaid lalu ‘Amr (berurutan)
3.      ثُمَّ , Contoh:
جاء زيد ثمّ عمرو
Telah datang Zaid kemudian ‘Amr (terselang lama)
4.      او , Contoh:
جاء زيد او عمرو
Zaid atau ‘Amr telah datang (diragukan)
5.    ام , Contoh:
جاء زيد ام عمرو                                                                    
Zaid atau ‘Amr telah datang (diragukan)
6.      بل , Contoh:
ما جاء زيد بل عمرو
Zaid tidak datang melainkan ‘Amr
7.      لكنّ , Contoh:
ما جاء زيد لكنّ عمرو
Zaid tidak datang tetapi ‘Amr (datang). (maksudnya sama dengan بل).
8.      لا , Contoh:
جاء زيد لا عمرو
Zaid telah datang, ‘Amr tidak.
9.      حتّى , Contoh:
اكلت السّمك حتّى رأسها
Aku telah memakan ikan hingga kepalanya.[4]
العتف امّا ذو بيان او نسق  +   والغرض الآن بيان ما سبق.
‘Athaf adakalanya untuk menjelaskan, atau merentetkan; tujuan dalam pembahasan ini adalah menjelaskan perihal ‘ataf bayan (‘ataf yang menjelaskan lafadz sebelumnya).

فذو البيان تابع شبه الصفه   +  حقيقة القصد به منكشفة
‘Athaf bayan adalah tabi’ yang menyerupai sifat, dengan melaluinya makna yang dimaksud dapat terungkapkan.[5]
Contoh:
اقسم بالله ابو حفص عمر
Telah bersumpah kepada Allah, Abu Hafsh yaitu Umar.[6]
Lafadz Umar merupakan ‘athaf bayan karena berfungsi menjelaskan lafadz Abu Hafsh.
Mengingat ‘athaf bayan itu mirip dengan sifat, maka harus menyesuaikan diri dengan matbu’nya, perihal sama dengan naat. Untuk itu harus disesuaikan dengan matbu’nya baik dalam masalah ta’rif atau tankirnya, baik dalam masalah tadzkir atau ta-nits-nya, baik dalam hal ifrad, tatsniyah, atau jamaknya.
قد يكونان منكّرين كما يكونان معرّفين
Terkadang ‘Athaf dan ma’thuf kedua-duanya dalam bentuk nakirah, dan terkadang pula kedua-duanya dalam bentuk ma’rifah.
Sebagian besar ulama nahwu berpendapat, bahwa ‘athaf bayan dan matbu’nya kedua-duanya nakirah merupakan hal yang dilarang. Sedangkan segolongan ahli Nahwu diantaranya Ibnu Malik, berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan. Dengan demikian berarti keduanya memperbolehkan dalam bentuk nakirah, sebagaimana boleh keduanya dalam bentuk ma’rifah. Menurut suatu pendapat diantara contoh ‘athaf dan matbu’nya kedua duanya nakirah adalah firman Allah SWT:
* ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 ã@sWtB ¾ÍnÍqçR ;o4qs3ô±ÏJx. $pkŽÏù îy$t6óÁÏB ( ßy$t6óÁÏJø9$# Îû >py_%y`ã ( èpy_%y`9$# $pk¨Xr(x. Ò=x.öqx. AÍhߊ ßs%qム`ÏB ;otyfx© 7pŸ2t»t6B 7ptRqçG÷ƒy žw 7p§Ï%÷ŽŸ° Ÿwur 7p¨ŠÎ/óxî ߊ%s3tƒ $pkçJ÷ƒy âäûÓÅÓムöqs9ur óOs9 çmó¡|¡ôJs? Ö$tR 4 îqœR 4n?tã 9qçR 3 Ïöku ª!$# ¾ÍnÍqãZÏ9 `tB âä!$t±o 4 ÛUÎŽôØour ª!$# Ÿ@»sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇÌÎÈ  
Artinya:  “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nuur: 35)
`ÏiB ¾Ïmͬ!#uur æL©èygy_ 4s+ó¡ãƒur `ÏB &ä!$¨B 7ƒÏ|¹ ÇÊÏÈ  
Artinya: “di hadapannya ada Jahannam dan Dia akan diberi minuman dengan air nanah”. (Q.S. Ibrahim : 16)
Lafadz ptRqçG÷ƒy adalah ‘ataf bayan terhadap lafadz otyfx© dan lafadz ƒÏ|¹ adalah ‘athaf bayan bagi lafadz ä!$¨B.[7]
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya meng-‘ataf-kan kepada khabar (kalimat berita) kepada kalimat insya’ (bukan kalimat berita). Sebagian besar mereka tidak membolehkan seperti  Ibn Malik dan Ibn Ushfur[8], sedang golongan lain yang membolehkannya dengan mengambil contoh ayat وبشر المؤمنين (as-Shaff :13) yang di-‘athaf-kan pada bqãZÏB÷sè? yang terdapat dalam ayat sebelumnya
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ö@yd ö/ä39ߊr& 4n?tã ;ot»pgÏB /ä3ŠÉfZè? ô`ÏiB A>#xtã 8LìÏ9r& ÇÊÉÈ   tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur tbrßÎg»pgéBur Îû È@Î6y «!$# óOä3Ï9ºuqøBr'Î/ öNä3Å¡àÿRr&ur 4 ö/ä3Ï9ºsŒ ׎öyz ö/ä3©9 bÎ) ÷LäêZä. tbqçHs>÷ès? ÇÊÊÈ
Golongan yang tidak membolehkan mengatakan, lafadz bqãZÏB÷sè? semakna dengan آمنوا  dengan demikian ia adalah kalimat khabar yang bermakna insya’. Maka sah-lah meng-‘Athaf-kan kalimat insya’ وبسّر   kepadanya.[9]








KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa ‘Athaf ialah tabi’ yang dipisah dari matbu’nya oleh salah satu huruf.
Adapun huruf-huruf ‘athaf ada 9 yaitu:
اَلْوَاوُ = Untuk menghubungkan (dan),  اَلْفَاءُ = Kemudian/lalu, ثُمَّ = kemudian
أَمْ  = atau (memilih atau membandingkan),  أَوْ = atau (memilih salah satu)
لَكِنْ = tetapi, لا = Bukan/tidak, بَلْ = tetapi/bahkan, حتّى = hingga/bahkan.
‘Athaf adakalanya untuk menjelaskan, atau merentetkan, ‘athaf yang seperti ini disebut ‘athaf bayan. ‘Athaf bayan adalah tabi’ yang menyerupai sifat, dengan melaluinya makna yang dimaksud dapat terungkapkan.
Sebagian besar ulama nahwu berpendapat, bahwa ‘athaf bayan dan matbu’nya kedua-duanya nakirah merupakan hal yang dilarang. Sedangkan segolongan ahli berpendapat bahwa hal itu diperbolehkan. Ada lagi Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya meng-‘ataf-kan kepada khabar (kalimat berita) kepada kalimat insya’ (bukan kalimat berita).






DAFTAR PUSTAKA
al-Qattan, Manna Khalil, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, litera AntarNusa, Bogor, 2000.
Anwar, Moch., Ilmu Nahwu (Terjemah Matan Jurumiyah dan Imrithy), Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1997.
As- Suyuthi, Jalaluddin, al- Itqan fi Ulumil Qur’an, jilid II, Indika Pustaka, Surakarta, 2009.
bin Malik, Muhammad bin ‘Abdullah, Matan Alfiyyah, Terj. Moch. Anwar, Al-Ma’arif, Bandung, 1996.
Dayyab, Hifni Bek, dkk., Kaidah Tata Bahasa Arab, Darul Ulum Press, Jakarta, 1997.
Ibnu ‘Aqil, Bahauddin Abdullah, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar, CV Sinar Baru, Bandung 1992.
Sunarto, Ahmad, Kaidah-Kaidah Bahasa Arab (Terjemah Qawa’idul Lughah al-‘Arabiyah), Al-Hidayah, Surabaya, 1990.



[1] Hifni Bek Dayyab, dkk., Kaidah Tata Bahasa Arab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1997), h. 304.
[2] Moch. Anwar, Ilmu Nahwu (Terjemah Matan Jurumiyah dan Imrithy), (Bandung Sinar Baru Algesindo, 1997), h. 112.
[3] Ahmad Sunarto, Kaidah-Kaidah Bahasa Arab (Terjemah Qawa’idul Lughah al-‘Arabiyah), (Surabaya: Al-Hidayah, 1990), h. 136.
[4] Moch. Anwar, Ilmu Nahwu (Terjemah Matan Jurumiyah dan Imrithy)..., h. 112-113.
[5] Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: CV Sinar Baru, 1992), h. 652.
[6] Muhammad bin ‘Abdullah bin Malik, Matan Alfiyyah, Terj. Moch. Anwar, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), h. 283.
[7] Bahauddin Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, terj. Bahrun Abu Bakar..., h. 653.
[8] Jalaluddin As- Suyuthi, al- Itqan fi Ulumil Qur’an, jilid II, (Surakarta: Indika Pustaka, 2009), h. 81.
[9] Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (Bogor: litera AntarNusa, 2000), h. 293.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Saifurrahman El-Shahat 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .